Selasa, 20 November 2012

MEMETIK PELAJARAN DARI AL-QUR'AN


       

    Segera setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius, Khalifah Umar r.a dalam perjalanan pulang menuju  Madinah, singgah untuk mengimami shalat di Jabiah. Pada kesempatan itu Khalifah Umar r.a menyampaikan khotbahnya yang bersejarah. Sebagian dari khotbah tersebut antara lain sbb : Wahai kaum Muslimin, aku menasehatkan kepada engkau sekalian untuk membaca al-Quran. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya. Reguklah isi ajaran al-Quran itu. Kemudian amalkan apa yang diajarkan al-Quran. Al-Quran bukan sekedar ajaran teoritis, ia harus menjadi sikap hidup yang wajib diamalkan. Al-Quran tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi belaka; ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. Bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselama- tanmu. Bila mengikuti jalan yang lain engkau hanya akan mengundang kehancuran”.                    Peristiwa ini terjadi, lima tahun setelah wafatnya Nabi Saw, dan penyerahan kekuasaan tersebut dilalui tanpa adanya pertumpahan darah.
    Seperti disitir dalam isi khotbah tersebut, bahwasanya isi al-Quran merupakan suatu ajaran bagi umat manusia, karenanya tidaklah berlebihan bila kitab al-Quran merupakan juga kitab pelajaran, sebagaimana telah diingatkan Allah melalui firmanNya: Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran,     maka adakah orang yang mengambil pelajaran?(QS.Al- Qamar:17). Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran(QS. Az-Zumar: 9). Jadi, bagi orang-orang yang tidak menerima al-Quran sebagai pelajaran, merekalah orang-orang yang enggan menggunakan akal. Dan bagi orang-orang tersebut, Allah telah menjanjikan akan menimpakan kemurkaanNya (QS.Yunus:100).     
    Membaca, dengan bantuan nalar-akal, adalah jalan untuk memperoleh ilmu, dengan ilmu, menjadikan manusia arif dan bijaksana. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Quran, mengingat sejak pertama kali diturunkan, telah mendorong manusia agar membaca dan menulis dengan menggunakan daya nalar dan alat panca inderanya (QS. Al-Alaq:1-5).
        Tanpa ilmu, al-Quran tidak dapat dipahami. Semakin dalam dan luas ilmu pengetahuan seseorang, semakin mudah baginya untuk memahami dan menangkap rahasia serta isyarat al-Quran. Sehingga tidaklah perlu umat Islam sampai terbius oleh doktrin-doktrin sekularisme, liberalisme dan isme-isme lainnya yang dipropagandakan dimana-mana oleh orang yang telah jauh dari al-Quran. 
    Umat Islam tempo dulu, pada zaman keemasannya, mereka menjadi obor kemanusiaan yang dipertuan oleh blok timur dan barat, sebab mereka menjadikan al-Quran sebagai satu-satunya sumber asasi dalam mengatur hidup dan perjuangan mereka. Sebaliknya ketika mereka tidak lagi berpedoman pada al-Quran, mereka menjadi lemah, mundur, statis, terpecah-belah dan akhirnya menjadi umat-umat yang merdeka tapi tidak berdaulat. Formalitas merdeka, namun dengan segala cara dibuat ketergantungan dalam segala aspek: politik, ekonomi, sosial, budaya, kepemimpinan, persenjataan, pertahanan  dan  keamanan.
    Akan hal ini, kembali kita teringat pada saat seorang perwira polisi militer Inggris yang menyatakan protes kepada Curzon (menlu Inggris saat itu) di gedung Parlemen, perihal pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Curzon menjawab: utama persoalannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu khilafah dan Islam.          
    Demikianlah yang terjadi, pada saat-saat Barat akan mengakhiri sistim penjajahan fisik atas bangsa-bangsa Timur (Muslim), sebelumnya mereka telah mempersiapkan  berbagai sistem agar tetap dapat menguasai belahan dunia tanpa adanya indikasi pelanggaran atas hak azazi manusia. Hal ini juga terkait erat dengan perkembangan kapitalisme yang mendasarkan teori evolusi dari Malthus dan Darwin, yang menyatakan bahwa kelas-kelas dalam masyarakat itu perlu ada; perlu ada perang, sehingga perlu ada yang menjajah dan ada yang dijajah.
    Mengingat penjajahan secara fisik telah dimulai pada abad ke-16, sedangkan  teori Malthus dan Darwin tercipta pada awal abad ke-19, maka yang dimaksud dengan proses jajah-menjajah disini adalah upaya melalui sistem / konsep / teori-teori antara lain: sekularisme, kapitalisme, modernisme, hedonisme, materialisme, liberalisme, yang kesemuanya diciptakan dengan maksud untuk mengangkat taraf kehidupan bangsa-bangsa tersebut, agar dapat menyerap hasil produksi ( barang  dan  jasa ) yang di bangun Barat dalam rangka revolusi industri dan reneisance. Serta, agar tetap dapat menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia secara mudah dan murah.   
     Untuk itulah, ketika bangsa-bangsa Timur (Muslim) menjelang pengakuan kemerdekaannya seperti; Mesir, Turki, Irak, Iran, Yordania, Libanon, Pakistan, Aljazair, Syria, Maroko, Sudan termasuk Indonesia dan negara-negara lainnya, serta-merta para pemimpin bangsa/negara yang telah dipersiapkan sebelum kemerdekaannya, pada tahap awal segera mencanangkan program modernisasi dalam segala hal, dimana modern dalam perspektif mereka adalah penerapan sekularisasi dan pembaratan masyarakat Islam.  
    Akibatnya, kita tidak dapat membayangkan, ada orang di rumah sendiri, di negara sendiri, negara yang berdaulat, diultimatum untuk meninggalkan rumah dan negaranya beserta keluarga dalam waktu 2x24 jam. Apakah memang demikian perilaku pihak yang mengaku penegak demokrasi dan HAM ?         
    Mengapa semua ini bisa terjadi ? Inilah suatu pertanyaan besar dan sederhana, namun semua pihak di belahan dunia ini belum mampu untuk menjawabnya secara tepat, apalagi untuk berbuat dan bertindak. 
    Meskipun di benak masing-masing pihak dapat mereka-reka jawaban atas  pertanyaan tersebut diatas, namun apa daya, kita semua tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya dapat menyaksikan melalui layar televisi, pembantaian habis-habisan atas mahluk-mahluk Allah  yang tidak kita ketahui secara pasti apa dosa dan kesalahan mereka. Nampak jelas disini ketidak-berdayaan kita semua, sampai-sampai PBB-pun  tunduk patuh kepada negara agresor beserta sekutunya. Inilah tragedi kemanusiaan yang terbesar pada abad dua puluhan, dimana semakin majunya zaman dan semakin modernnya umat, namun semakin pula menunjukkan kesewenangan / kemunduran peradaban kemanusiaan. Hal ini tampak jelas dan sangat memprihatinkan kita, dimana saat ini justru telah terjadi pembelengguan alam fikiran disertai dengan penjajahan fisik yang berlangsung secara simultan.     
    Ada terbesit sedikit pertanyaan bagi kita kaum muslimin, khususnya para intelektual muslim dan para tokoh agama, adakah andil kita dalam membesarkan dan mendigjayakan kaum agresor tersebut, yang kemudian berbalik meluluh-lantakkan kita semua ?  Hanya nurani kita masing-masing lah yang dapat menjawabnya. Untuk itu, kini saat yang tepat bagi kita semua, kembali merenung dan koreksi diri, apakah kita sudah berada pada jalan yang dikehendaki dan diridhoi-Nya?
       Sebagaimana pada bagian akhir isi khotbah Khalifah Umar r.a, telah ditegaskan : Bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselamatanmu. Bila mengikuti jalan yang lain, engkau hanya akan mengundang   kehancuran’. Jalan dimaksud tentunya adalah jalan yang lurus, dan untuk menempuh jalan tersebut diperlukan peta / petunjuk yaitu al-Quran yang dapat dijadikan pedoman / landasan pijak dalam menyusun tata kehidupan / tata nilai hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jujur kita akui, bahwa al-Quran bukanlah buku yang menghimpun seluruh teori ilmu pengetahuan, bukan pula ensklopedia yang memuat seluruh jawaban ilmu yang dipersoalkan. Al-Quran hanya meletakkan prinsip dasar ilmu pengetahuan dan prediksi-prediksi yang mengandung motivasi eksplorasi ilmiah. Mengapa demikian ? Karena lebih dari itu al-Quran adalah merupakan Kitab Suci . Wassalaam  ! 


                        ==@== 























 





   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar