Segera setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch
Jerusalem Uskup Agung Sophronius, Khalifah Umar r.a dalam perjalanan pulang
menuju Madinah, singgah untuk mengimami
shalat di Jabiah. Pada kesempatan itu Khalifah Umar r.a menyampaikan khotbahnya
yang bersejarah. Sebagian dari khotbah tersebut antara lain sbb : “ Wahai kaum Muslimin, aku menasehatkan kepada engkau sekalian untuk
membaca al-Qur’an. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya. Reguklah isi ajaran
al-Qur’an itu. Kemudian amalkan apa yang diajarkan al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekedar ajaran teoritis, ia harus menjadi sikap hidup yang
wajib diamalkan. Al-Qur’an tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi belaka; ia terutama ditujukan
untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. Bangunlah
kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselama- tanmu. Bila mengikuti jalan yang lain engkau hanya akan mengundang
kehancuran”. Peristiwa
ini terjadi, lima tahun setelah wafatnya Nabi Saw, dan penyerahan kekuasaan
tersebut dilalui tanpa adanya pertumpahan darah.
Seperti disitir dalam isi khotbah tersebut,
bahwasanya isi al-Qur’an merupakan suatu ajaran bagi umat manusia, karenanya tidaklah
berlebihan bila kitab al-Qur’an merupakan juga kitab pelajaran,
sebagaimana telah diingatkan Allah melalui firmanNya: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka
adakah orang yang
mengambil pelajaran?” (QS.Al-
Qamar:17). Sesungguhnya orang-orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS.
Az-Zumar: 9). Jadi, bagi orang-orang yang tidak menerima al-Qur’an sebagai pelajaran, merekalah orang-orang yang enggan menggunakan
akal. “Dan bagi orang-orang tersebut, Allah telah menjanjikan akan menimpakan
kemurkaanNya“ (QS.Yunus:100).
Membaca, dengan bantuan
nalar-akal, adalah jalan untuk memperoleh ilmu, dengan ilmu, menjadikan manusia arif dan bijaksana. Betapa pentingnya ilmu
pengetahuan dalam pandangan al-Qur’an, mengingat sejak
pertama kali diturunkan, telah mendorong manusia agar membaca dan menulis
dengan menggunakan daya nalar dan alat panca inderanya (QS. Al-‘Alaq:1-5).
Tanpa ilmu, al-Qur’an tidak dapat dipahami. Semakin dalam dan luas ilmu pengetahuan
seseorang, semakin mudah baginya untuk memahami dan menangkap rahasia serta
isyarat al-Qur’an. Sehingga tidaklah perlu umat Islam sampai terbius oleh
doktrin-doktrin sekularisme, liberalisme dan isme-isme lainnya yang
dipropagandakan dimana-mana oleh orang yang telah jauh dari al-Qur’an.
Umat
Islam tempo dulu, pada zaman keemasannya, mereka menjadi obor kemanusiaan yang
dipertuan oleh blok timur dan barat, sebab mereka menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber asasi dalam mengatur hidup dan perjuangan
mereka. Sebaliknya ketika mereka tidak lagi berpedoman pada al-Qur’an, mereka menjadi lemah, mundur, statis, terpecah-belah dan akhirnya
menjadi umat-umat yang ‘merdeka tapi tidak berdaulat’. Formalitas merdeka,
namun dengan segala cara dibuat ketergantungan dalam segala aspek: politik,
ekonomi, sosial, budaya, kepemimpinan, persenjataan, pertahanan dan keamanan.
Akan hal ini, kembali kita
teringat pada saat seorang perwira polisi militer Inggris yang menyatakan
protes kepada Curzon (menlu Inggris saat itu) di gedung
Parlemen, perihal pengakuan Inggris atas kemerdekaan Turki. Curzon menjawab: ’utama persoalannya adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak akan
pernah bangkit lagi, karena kita telah menghancurkan kekuatan spiritual mereka,
yaitu khilafah dan Islam’.
Demikianlah yang terjadi, pada
saat-saat Barat akan mengakhiri sistim penjajahan fisik atas bangsa-bangsa
Timur (Muslim), sebelumnya mereka telah mempersiapkan berbagai sistem agar tetap dapat menguasai
belahan dunia tanpa adanya indikasi pelanggaran atas hak azazi manusia. Hal ini
juga terkait erat dengan perkembangan kapitalisme yang mendasarkan teori
evolusi dari Malthus dan Darwin, yang menyatakan bahwa kelas-kelas dalam
masyarakat itu perlu ada; perlu ada perang, sehingga perlu ada yang menjajah
dan ada yang dijajah.
Mengingat penjajahan secara
fisik telah dimulai pada abad ke-16, sedangkan
teori Malthus dan Darwin tercipta pada awal abad ke-19, maka yang
dimaksud dengan proses jajah-menjajah disini adalah upaya melalui sistem /
konsep / teori-teori antara lain: sekularisme, kapitalisme, modernisme,
hedonisme, materialisme, liberalisme, yang kesemuanya diciptakan dengan maksud
untuk mengangkat taraf kehidupan bangsa-bangsa tersebut, agar dapat menyerap
hasil produksi ( barang dan jasa ) yang di bangun Barat dalam rangka
revolusi industri dan reneisance. Serta, agar tetap dapat menguasai sumber daya
alam dan sumber daya manusia secara mudah dan murah.
Untuk itulah, ketika bangsa-bangsa Timur (Muslim) menjelang pengakuan
kemerdekaannya seperti; Mesir, Turki, Irak, Iran, Yordania, Libanon, Pakistan,
Aljazair, Syria, Maroko, Sudan termasuk Indonesia dan negara-negara lainnya,
serta-merta para pemimpin bangsa/negara yang telah dipersiapkan sebelum
kemerdekaannya, pada tahap awal segera mencanangkan program modernisasi dalam segala
hal, dimana modern dalam perspektif mereka adalah penerapan sekularisasi dan
pembaratan masyarakat Islam.
Akibatnya, kita tidak dapat
membayangkan, ada orang di rumah sendiri, di negara sendiri, negara yang
berdaulat, diultimatum untuk meninggalkan rumah dan negaranya beserta keluarga
dalam waktu 2x24 jam. Apakah memang demikian perilaku pihak yang mengaku
penegak demokrasi dan HAM ?
Mengapa
semua ini bisa terjadi ? Inilah
suatu pertanyaan besar dan sederhana, namun semua pihak di belahan dunia ini
belum mampu untuk menjawabnya secara tepat, apalagi untuk berbuat dan
bertindak.
Meskipun di benak
masing-masing pihak dapat mereka-reka jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, namun apa daya,
kita semua tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya dapat menyaksikan melalui
layar televisi, pembantaian habis-habisan atas mahluk-mahluk Allah yang tidak kita ketahui secara pasti apa dosa
dan kesalahan mereka. Nampak jelas disini ketidak-berdayaan kita semua,
sampai-sampai PBB-pun tunduk patuh
kepada negara agresor beserta sekutunya. Inilah tragedi kemanusiaan yang
terbesar pada abad dua puluhan, dimana semakin majunya zaman dan semakin
modernnya umat, namun semakin pula menunjukkan kesewenangan / kemunduran
peradaban kemanusiaan. Hal ini tampak jelas dan sangat memprihatinkan kita,
dimana saat ini justru telah terjadi pembelengguan alam fikiran disertai dengan
penjajahan fisik yang berlangsung secara simultan.
Ada terbesit sedikit
pertanyaan bagi kita kaum muslimin, khususnya para intelektual muslim dan para
tokoh agama, adakah andil kita dalam membesarkan dan mendigjayakan kaum agresor
tersebut, yang kemudian berbalik meluluh-lantakkan kita semua ? Hanya nurani kita
masing-masing lah yang dapat menjawabnya. Untuk itu, kini saat yang tepat bagi
kita semua, kembali merenung dan koreksi diri, apakah kita sudah berada pada
jalan yang dikehendaki dan diridhoi-Nya?
Sebagaimana pada bagian
akhir isi khotbah Khalifah Umar r.a, telah ditegaskan : ’Bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan
hidup bagi keselamatanmu. Bila mengikuti jalan yang lain, engkau hanya akan
mengundang kehancuran’. Jalan dimaksud tentunya adalah jalan yang lurus, dan untuk menempuh
jalan tersebut diperlukan peta / petunjuk yaitu al-Qur’an yang dapat dijadikan pedoman / landasan pijak dalam menyusun tata
kehidupan / tata nilai hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Jujur kita akui, bahwa al-Qur’an bukanlah buku yang
menghimpun seluruh teori ilmu pengetahuan, bukan pula ensklopedia yang memuat
seluruh jawaban ilmu yang dipersoalkan. Al-Qur’an
hanya meletakkan prinsip dasar ilmu pengetahuan dan prediksi-prediksi yang
mengandung motivasi eksplorasi ilmiah. Mengapa demikian ? Karena lebih dari itu
al-Qur’an adalah merupakan ‘Kitab Suci’ . Wassalaam !
==@==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar