Sabtu, 06 Maret 2021

Modernisasi Masyarakat Islam

MODERNISASI  Masyarakat Islam

                                           (Salah Alamat)

 

      Dalam kehidupan  manusia modern, hampir seluruh energi terkuras untuk pemenuhan hasrat-hasrat kebutuhan, seperti: harta-benda, gaya hidup- konsumerisme, kekuasaan, seksualitas, dan lain sebagainya. Pemenuhan hasrat kebutuhan tersebut sejalan dengan etika hedonisme; bahwa segala sesuatu yang membawa kenikmatan adalah baik. Norma dan moralitas masyarakat dilanda krisis, krisis moralitas dalam masyarakat modern dewasa ini membuat pusat gravitasi kehidupan manusia bergeser pada pemenuhan hasrat libido ekonomi. Ruang moralitas dan spiritualitas dalam setiap manusia mengalami kekosongan. Karena, manusia modern begitu sedikit meluangkan waktu untuk berefleksi tentang tujuan dirinya diciptakan dalam kehidupan, dan jarang sekali mengingat Sang Pencipta. Sehingga memunculkan pertanyaan, apakah benar, untuk menuju masyarakat  modern, harus mengorbankan / meminggirkan agama yang ditengarai sebagai penyebab terhambatnya proses modernisasi?

       Memang benar adanya...! Dari sejarah perjalanan umat Kristiani pada masa-masa abad pertengahan dimana mereka sedang menuju kebangkitan dari masa kegelapan yang cukup lama (abad V—XV), maka terjadilah pemisahan antara kehidupan beragama dengan kehidupan duniawi (pemerintahan) dengan adegium : “Berikan hak Tuhan kepada Tuhan, dan berikanlah hak Kaisar kepada Kaisar”. Hal inilah yang memastikan bahwa kelompok agama tidak mencampuri urusan negara, dan juga memastikan negara tidak mencampuri urusan agama, yang lazim juga kita sebut sebagai kehidupan Sekular. Etika sekular inilah yang dijadikan dasar dari modernisasi, dimana agama harus menyingkir dari semua urusan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga, dipertegas oleh ahli teori modernis Amerika Serikat asal Jerman (1959), Hans Hofmann sebagai berikut: “Modernisme adalah gerakan filosofis, yang bersama dengan tren budaya dan perubahan, muncul dari skala luas dan jauh transformasi dalam masyarakat Barat pada abad ke-20, akhir abad 19 dan awal. Diantara faktor-faktor yang berbentuk modernisme adalah pengembangan masyarakat industri modern dan pertumbuhan yang cepat dari sebuah kota”. Modernisme juga menolak kepastian pencerahan pemikiran, dan banyak modernis menolak keyakinan agama.  Sangat masuk akal, dan dapat diterima nalar logis serta sangat bisa dipahami, bila umat Kristiani saat itu harus melaksanakan pemisahan agama dari ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat para pemuka agama Kristen saat itu tidak memperbolehkan adanya transfer ilmu pengetahuan. Karena mereka mengira hal itu bisa mengotori agama,dasar-dasar dan ajaran-ajarannya. Mereka membenci kehidupan duniawi, mereka menikmati kehidupan Rabbaniyah/Rahib-rahib dan kebanyakan tinggal di goa-goa sarat dengan ritual pemujaan. Maka dari itu dewan gereja menolak para ilmuwan pada waktu itu. Mereka mengekskusi, mengintimidasi, dan mengekstradisi ribuan para ilmuwan, diantaranya Copernicus, Gradano, dan Galileo. Keangkuhan dewan gereja itulah yang menjadi penyebab terpisahnya agama dari kehidupan dan negara atau kekuasaan yang berkuasa pada saat itu. Dan untuk menunjang kebangkitan (Rainessance) itulah, mereka membutuhkan: Sekularisme, Hedonisme, Materialisme, Liberalisme dan isme-isme lainnya guna menuju masyarakat Barat modern seperti sekarang ini.

 

Bagaimana dengan Islam ?

        Islam lahir di abad ke -VII. Agama Islam datang dengan Muhammad saw sebagai Nabi/Rasul dan penganjurnya. Islam meniupkan angin baru bagi dunia, yang antara lain ajarannya juga mengandung perbaikan terhadap masalah kehidupan duniawi. Islam mengatur bagaimana sebenarnya menyikapi kehidu- pan duniawi sebagaimana yang dikehendaki dan diridhoi oleh-Nya, untuk kemudian akan dipertanggung-jawabkan kepada Allah sang Pencipta di akhirat kelak. Itulah sebabnya wahyu yang turun pertama berupa perintah: “bacalah” merupakan lima ayat pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril. Proses baca dan tulis itulah yang menunjukkan bahwa ilmu adalah dasar dalam Islam, ujar guru besar Universitas Ummul Qura Makkah Arab Saudi Prof. Muhammad Jamil Al-Khayyat seusai pembukaan seminar internasional “Islamisasi Sains” di Jakarta pada bulan Juli 2012 lalu. Jadi Islam datang dengan ilmu, Allah Swt dalam kitab suci Al-Qur’an maupun melalui hadist Rasulullah saw menyuruh ummat Islam untuk mempelajari ilmu seluruhnya tanpa ada perbedaan. Islam itu agama ilmu, dalil untuk itu adalah firman Allah  lima ayat pertama dalam surah “Al-Alaq”.       

       Salah satu fase penting yang secara simbolis sering disebut sebagai mencerminkan corak misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah saat beliau ber-takhannuts atau melakukan meditasi di Hira, sebuah gua diluar kota Mekah. Setelah Nabi mendapatkan wahyu pada 610 M, beliau tidak tinggal disana, menikmati meditasi yang soliter, menjauhkan diri dari masyarakat. Sebaliknya, Ia kembali ke kota, mendakwahkan ajaran, dan melakukan ‘transformasi sosial’. Adalah fakta historis bahwa Islam telah  membangun peradaban universal komprehensif yang pertama kali dalam sejarah, bahkan sekiranya kita mengikuti seluruh kreteria universalitas modern sekalipun. Berbagai macam peradaban telah disaksikan dunia sebelum Islam datang. Setiap peradaban telah memberikan sumbangsih peradaban dengan kadar bilangan yang terdapat dalam bidang estetika kemanusiaan. Namun, seluruhnya terbenam di balik syahwat dan kelezatan sehingga menjadi semacam tirani dan bentuk kezaliman, terpasung dalam dinding kebinasaan para rahib. Lantas setelah itu datanglah peradaban yang bernuansa kemanusiaan, mewariskan apa yang paling mulia dalam sisi peradaban ini, menghadirkan untuk kita suatu peradaban yang mempunyai rasa, warna, dan aroma semerbak dimana masyarakat yang hidup dalam naungannya, penuh rasa aman dan bahagia.  Bukankah peradaban yang dibangun di Spanyol Muslim oleh Muslim, Yahudi dan Kristen yang berada di bawah bendera peradaban Islam merupakan peradaban universal? Fakta empiris pelaksanaan HAM dalam Islam juga dengan sangat bagus telah diteladankan oleh Nabi Muhammad saw ketika bermukim di Madinah. Saat itu, dengan kehidupan yang meliputi beragam suku, agama, budaya, dan strata sosial, beliau melindungi semua masyarakat dengan lahirnya ‘Piagam Madinah’. Piagam tersebut dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah. Fenomena tersebut sampai mengundang decak kagum dari seorang Robert N. Bellah yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.

         Disamping misi ‘membangun peradaban’, Islam juga melaksanakan At-Taqaddumiyah (kemajuan), bila di komunitas Barat biasa disebut dengan modernitas. Hal tersebut dapat kita simak dari pengakuan salah seorang orientalis Perancis ternama; Gustave Le Bon (1841– 1921), dalam karyanya yang populer ‘ La Civilisation des Arabes ’ antara lain menyebutkan: “Realitas sejarah menunjukkan, tidak kurang dari satu abad setelah kaum muslim menduduki Spanyol, mereka berhasil menghidupkan bumi yang mati berkat kemajuan dunia pertanian dan perkebunan. Mereka juga  memenuhi kota-kota di Spanyol dengan gedung-gedung indah, meramaikan dunia perniagaan, tidak saja perdagangan dalam negeri, tetapi juga perdagangan luar negeri. Menghidupkan semangat keilmuwan di berbagai disiplin ilmu, menterjemahkan kitab-kitab Yunani Kuno, membangun banyak universitas dan lembaga-lembaga kajian ilmiah. Oleh karena itu, Spanyol menjadi kiblat keilmuan dan peradaban bagi masyarakat Eropa yang berlangsung berabad-abad lamanya. Itulah risalah peradaban Islam yang terpungkiri di ranah Eropa”, ungkap beliau.                

         Demikian juga, Emile Dermenghem orientalis kelahiran Perancis melalui bukunya berjudul La Vie De Mohamet (Kehidupan Muhammad) antara lain menyatakan: “Apa yang dituturkan Muhammad—meski untuk merespon permasalahan manusia pada zamannya—sejatinya adalah nasihat untuk kemanusiaan universal, kapan pun dan dimana pun. Sebab, kandungan Al-Qur’an selalu relevan dengan keadaan dan permasalahan umat manusia di altar kehidupan ini, hingga hari akhir kelak” ungkapnya lebih lanjut!  Barangsiapa menginginkan bukti, maka silahkan membaca Al-Qur’an berikut kandungannya  yang  berisi  tentang teori-teori dan konsep-konsep ilmiah serta hukum-hukum sosial. Hingga detik ini, Al-Qur’an adalah sumber inspirasi bagi para ilmuwan dan sastrawan.  Mustahil manusia bisa menciptakan karya seperti Al-Qur’an karena ia  adalah kalam Tuhan, bukan ciptaan manusia. Ia sumber pengetahuan yang melahirkan metedologi berpikir, sumber hikmah, dan lahan yang tiada pernah habis bagi rujukan ilmu. Para penulis yang menjadikan Al-Qur’an sumber tulisannya, ia akan menjadi penulis hebat. Sedemikian itu kesaksian dari Marcel A. Boisard; seorang pemikir besar dan pakar hukum Perancis kontem- porer yang termuat dalam karyanya berjudul ‘Humanism in Islam’ (Sisi humanis ajaran  Islam) hal 52-53 yang dianggap sebagai karya yang banyak memberi kontribusi positif dalam meluruskan pemahaman keliru bangsa Barat terhadap Islam. Lain pula hal-nya dengan Max Fantigo, dalam seminar peradaban Arab Islam di Universitas Bronx Town di Washington tahun 1953 dalam sambutannya antara lain mengatakan, ”Setiap apa yang terlihat di Barat mengukuhkan bahwa Barat telah berhutang kepada peradaban Arab Islam. Sesungguhnya methode riset modern yang pelaksanaannya didasarkan pada observasi, pengamatan dan uji coba, disamping segala sesuatu yang digunakan ilmuwan Eropa dewasa ini, itu tidak lain karena hasil interaksi ilmuwan Eropa dengan dunia Islam melalui Daulah Islam Arab di Andalusia (Spanyol)”, ungkapnya. Akan hal ini pula, Pemikir  Leopold Weiss, seorang Yahudi berkebangsaan Austria mengukuhkan peran Cordova dalam perintisan jalan menuju masa kebangkitan bagi Barat. Ia mengatakan, ‘Kita tidak berlebihan ketika kita mengatakan bahwa zaman ilmiah modern yang sekarang kita hidup di dalamnya jalan pertama kali tidaklah dibuka di kota-kota Eropa. Akan tetapi, dibuka di kantong-kantong Islam, Damaskus, Baghdad, Kairo dan Cordova’.

        Dari data dan fakta serta penjelasan para ahli/ilmuwan Barat tersebut diatas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa Islam itu turun dengan membawa misi membangun ‘peradaban baru’ yang juga lazim disebut pihak Barat sebagai modernisasi. Sangat tidak masuk akal, bila Islam atau ummat Islam, baik pada  masa-masa awal kebangkitan Barat maupun setelah mendapat- kan kemerdekaan, lepas dari cengkraman para penjajah ataupun setelahnya, melakukan modernisasi terhadap masyarakat Islam, karena sejatinya Islam itulah modernisasi yang  sebenarnya dan yang pertama. Betapa tidak, Allah Swt menciptakan manusia selain untuk mengabdikan diri kepada-Nya, juga dijadikan sebagai khalifah-khalifahNya di muka bumi (QS.35:39). Sebagai khalifah, manusia mempunyai dua tugas dan kewajiban pokok yaitu: (1) Mewujudkan kemakmuran hidup manusia (QS. 11: 61), (2) Mewujudkan kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia (QS.13: 28). Untuk keperluan itu, Allah telah menempatkan manusia dimuka bumi dan telah disediakan sumber penghidupan baginya (QS.7:10), makaBekerjalah kamu, Allah beserta Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (QS. 9:105). Untuk itu Allah telah melimpahkan rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kita malam dan siang, supaya kita beristirahat pada malam itu dan supaya kita mencari sebagian dari Karunia-Nya pada siang hari (QS. 28:73). Kemudian lebih lanjut Allah mengingatkan manusia, bahwa tugas dan kewajiban tersebut hanya akan dapat dicapai / dilaksanakan dengan baik oleh manusia melalui perjuangan yang sebenar-benarnya / sungguh-sungguh (QS. 22: 78), serta pengorbanan yang besar disegala bidang (QS. 9: 20-21). Jadi, Islam tidaklah  pernah mengajarkan umat-Nya meninggalkan kehidupan dunia. Capailah kemajuan yang setinggi-tingginya didunia ini, ambillah dan bongkarlah segala kekayaan yang tersembunyi di dalam bumi, tiada dilarang, tetapi hendaklah digunakan semuanya itu untuk manfaat kemanusiaan bagi keseluruhan, jangan hanya untuk kesenangan suatu kelompok atau golongan saja dan diperoleh dengan cara-cara yang tidak diridhoi Allah Swt. Hal larangan untuk meninggalkan kehidupan dunia bagi umat Islam dapat kita temukan dalam Firman Allah berikut ini: “Wabtagi fi maa aataakallaahud-daaral-aakhirata wa laa tansa nasiibaka minad-dun-yaa“ (QS. 28:77), yang artinya: “Atas apa yang  telah dianugerah- kan  Allah  kepadamu, carilah kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi ”.  Dengan perkataan lain, Islam adalah agama yang konprehensif mencakup kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana diungkapkan oleh  David de Santillana (1845-1931), seorang orientalis berdarah Italia melalui  salah satu karyanya berjudul ‘ Hukum dan Masyarakat’, dalam satu bab menyatakan : “Ajaran Islam  meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaranNya. Bahkan lanjutnya, ajaran Al-Qur’an menuntun kembali kepada kepercayaan murni dan luhur, sebagaimana yang diajarkan para Nabi dan para kekasih Tuhan pada masa lalu (Nuh dan Ibrahim) yang dijauhi dan direduksi kaum Nasrani dan Yahudi. Ayat-ayat Al-Qur’an juga meluruskan semua paham salah yang mereka sebarkan serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran, sebagaimana yang telah disampaikan Nuh dan Ibrahim pada masa lalu. Lebih lanjut beliau meng- garis bawahi bahwa : Ayat-ayat Al-Qur’an juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran yang disampaikan Musa dan Isa”.

        Agama Islam datang menjadi penengah antara keduanya, tidak membenar- kan orang hidup serba menahan diri, juga tidak membenarkan ‘ibahiyah’ atau hidup serba boleh; Dan juga tidak meninggalkan akhirat serta tidak mengabai- kan duniawi. Islam datang menyapa manusia melalui akal yakni penggunaan rasio dan intuisi secara bersamaan. Dan dengan ke-universalannya; Dia mengatur segala sendi kehidupan manusia. Islam juga merupakan agama yang bersumber dari Tuhan, dan berorientasi pada manusia. Dan sebagai agama yang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin) serta untuk kedamaian, umat manusia merasa ‘ditantang’ untuk mampu merespon persoalan kemanusiaan yang tengah menjadi harapan besar umat manusia pada masa kini. Namun apa yang terjadi...??

 

Modernisasi  atau  Westernisasi ?

        Di dunia kontemporer, kebanyakan masyarakat modern telah menjadi masyarakat Barat. Meskipun  modernisasi tidaklah sama dengan Westernisasi. Jepang, Singapore, Saudi Arabia, Turki dan Iran adalah masyarakat modern, kaya tetapi mereka jelas bukan Barat. Anggapan orang Barat bahwa orang lain yang memodernisasi harus menjadi ‘seperti-kita’ adalah arogansi Barat yang di dalamnya menggambarkan adanya benturan peradaban.

       Tarik menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan modernitas. Tuduhan semacam ini sudah kerap kita dengar, bahkan tokoh-tokoh Islam-pun berlomba-lomba menghadirkan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan nilai-nilai dan institusi liberal-Barat, hanya sekedar untuk menghindar dari tuduhan kalangan Barat yang melukiskan Islam sebagai kelompok kepala batu, lebih gemar pada jalan kekerasan, dan stempel teroris.

       Di Indonesia misalnya, keinginan itu telah melahirkan kelompok atau pemikiran yang disebut modernisme Islam, neo-modernisme, Islam and civil society, post-tradisionalisme Islam, Islam Liberal, Islam Pluralis, Islam Moderat, Islam Realitas, Islam Humanis, dan masih banyak lagi. Semuanya berlomba-lomba menghadirkan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan nilai-nilai dan institusi liberal-Barat.

        Sejatinya para tokoh-tokoh yang mendiklairkan diri sebagai Intelektual/ Cendekiawan Muslim tersebut tidak perlu harus ‘kebakaran jenggot’. Mari sama-sama kita kembali pada sumber utama ajaran Islam yang sebenarnya, yakni Al-Qur’an!  Disana akan kita ketemukan bahwa kesejatian makna modern itu ada pada Islam. Hal tersebut dapat kita urai dengan meminjam jargon/ terminologi modern yang di-diklair pihak Barat sejak munculnya abad Renaisans (abad XIV-XVI), dimana modernisasi diartikan sebagi “suatu proses implementasi nilai-nilai universal seperti berfikir dan berperilaku rasional, menghargai waktu, efisien, serta berorientasi ke masa depan (future oriented)”.

     Berfikir dan berperilaku rasional, dapat kita temui pada beberapa ayat-ayat yang berupa perintah Allah agar manusia menggunakan akal pikirannya, diantaranya: (QS. Al-Hasyr: 21; An-Nahl: 44; Al-Hadid: 17; Al-Jatsiyah: 13; Az-Zumar: 42; Al-Baqarah: 269; Az-Zumar: 9/18; Yusuf: 111; Ar-Ra’d: 19; Al-Baqarah: 171). Bahkan bila manusia tidak berkehendak mempergunakan akalnya, maka Allah akan menimpakan kemurkaan kepada orang-orang tersebut (Yunus: 100).

     Menghargai waktu, dapat disimak dari surat Al-Ashr (waktu Ashar) ayat: 1-3 yang pokok-pokok isinya menerangkan bahwa semua manusia berada dalam keadaan merugi, apabila tidak mengisi waktunya dengan perbuatan-perbuatan baik. Jadi surat ini menegaskan bahwa manusia yang tidak dapat menghargai waktu dengan sebaik-baiknya, termasuk golongan yang merugi.

     Efisien;  sebagai umat pertengahan, Islam telah membekalinya dengan pola kehidupan yang tidak berlebihan, tidak boros, dan tepat guna (lihat QS. Al-Isra’: 26, 27, 29).

     Orientasi ke masa depan; Melalui surat Al-Hasyr: 18 “Allah telah mengingatkan orang-orang yang beriman, agar bertaqwa dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok”.

        Dengan tidak bermaksud mempersamakan ajaran Islam terhadap paham Barat melalui Al-Qur’an sebagai pembandingnya, nampak jelas bagi kita bahwa apa yang menjadi unsur modernitas tersebut sebenarnya berasal dari Islam. Tidak berlebihan kiranya penulis meyakini akan hal tersebut, karena pada abad ke XII, tepatnya pada tahun 1141 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Robert of Chester (Robert Ketton) seorang pendeta berkebangsaan Inggris yang ahli Matematika, Astronomi, dan ahli Kimia yang juga tinggal di Spanyol dimana yang bersangkutan menjadi saksi atas kejayaan/kekuasaan Islam disana. Dan juga tidak ketinggalan pada abad ke-XIII seorang cendekiawan Oxford;  Roger Bacon sampai-sampai menyarankan kepada Paus Clementus IV untuk melansir sebuah proyek raksasa menyusun encyclopedia ilmu pengetahuan yang di Eropa dianggap sebagai sesuatu yang baru. Menurutnya, Barat perlu mengusahakan penterjemahan secara besar-besaran ilmu pengetahuan berbahasa Arab kalau Barat ingin menyaingi Islam, dan untuk itu mereka merasa perlu untuk mempelajari Bahasa Arab dan Islam.

        Dan salah satu indikasi kuat lainnya adalah statement dari William Montogomery Watt dalam bukunya, Islamic Fundamentalism and Modernity (1998) yang menyatakan: “Keengganan ulama untuk belajar dari Barat, dalam hal ini berarti bahwa mereka tidak mampu membantu orang-orang Muslim lainnya yang tengah dihadapkan pada keragu-raguan dalam agama mereka”. Kalimat ini menyiratkan adanya pengakuan akan hal tersebut, benar adanya.

       Masyarakat kita, sejak awal telah menerima modernisme dan modernisasi sebagai sebuah proses sekularisasi dan westernisasi. Hal tersebut terkait erat dengan tersisihnya ‘Piagam Jakarta’ dari persada Nusantara, dengan di sertai pengenalan konsep modernisme dan modernisasi yang oleh Ahmad Suhelmi, MA dalam bukunya berjudul ‘Polemik negara Islam’ disebutkan bahwa, modernisasi dalam perspektif Soekarno adalah Sekularisasi dan Pembaratan Masyarakat Islam.

       Implementasi paradigma modernisme dan modernisasi secara serampangan (tanpa sikap kritis) telah melahirkan malapetaka kemanusiaan tragis bagi dunia non-Barat, termasuk dunia Islam seperti Indonesia. Gejala modernisasi versi Barat telah mencerabut (uprooted) akar-akar tradisi budaya masyarakat Islam yang telah hidup selama berabad-abad. Agar tak terhanyut lebih jauh pada modernitas Barat, umat Islam harus mampu memahami secara mendalam dan komprehesif prinsip dasar Islam seperti iman, syariat, tauhid dan sebagianya. Modernitas tak harus selalu diukur melalui budaya dari Barat yang tak semua positif. Modernitas yang Islami tetap ada, hanya saja, modernitas yang Islami itu akan tercapai dengan syarat kaum Muslim mau kembali kepada mabadi’ Islam (prinsip-prinsip dalam Islam) yang jelas berbeda dengan prinsip Barat.

     Dalam konteks individu, hal itu berarti seorang intelektual Muslim bisa menjadi sangat modern, bahkan kosmopolitan tanpa harus menjadi Barat (westernised); mengikuti perilaku dan pola berpikir Barat yang asing dari tradisi budaya bangsa dan agamanya.

 

Peradaban Timur (Islam) dan Barat

      Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam penggalan sejarah, peradaban Islam pernah mengalami puncak kejayaannya dan menjadi kiblat bagi peradaban dan kebudayaan dunia. Islam dan para pemeluknya mampu memperlihatkan kepada dunia mengenai bagaimana ajaran-ajarannya yang sejati. Masa-masa inilah yang kemudian sering disebut sebagai ‘zaman keemasan Islam’  (The Golden Age Of Islam).

     Pada masa itu tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu pengetahuan umum atau pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan agama sebagaimana sekarang ini. Semua ilmu pengetahuan yang membawa kemaslahatan umat manusia dipelajari dan dikembangkan, misalnya mulai dari matematika, fisika, kimia, astrologi, asrtonomi, geografi, filsafat, hingga sastra dan budaya.

       Sejak Renaissans; Abad Pencerahan (Enlightenment), dan Revolusi Industri, yang terjadi di Eropa dan Amerika, peradaban Barat memimpin kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Prestasi Barat ini bukan semata-mata hasil pekerjaan orang Barat sendiri, tapi melalui proses panjang interaksi antar peradaban melalui migrasi, perjalanan, perdagangan, penyebaran pengaruh budaya, dan perkembangan ilmu pengeta- huan. Kebudayaan Timur banyak menyumbang pada peradaban Barat sekarang. Misalnya dengan penemuan dan ilmunya, Khawarizmi, ahli matematika Islam yang juga melahirkan aljabar, jelas ikut menyumbang proses Renaissans dan Revolusi Industri di Barat. Intinya, apa yang terjadi di Barat hari ini, merupakan proses panjang globalisasi antara peradaban.

     Cuplikan latar belakang ini perlu digarisbawahi agar kita tak terjebak pada dikotomi Barat dan Timur dalam menuntut ilmu atau belajar dari negeri lain. Prinsipnya, dalam menuntut ilmu kita harus belajar dari peradaban yang satu ke peradaban yang lain saling mengisi dan saling mengkritisi.

       Pemisahan ‘Barat’ dan ‘bukan Barat’ sebenarnya lebih merupakan kecen- derungan peradaban Barat mendefinisikan dirinya sebagai peradaban yang lebih tinggi ketimbang belahan dunia lain. Pengelompokan Islam sebagai golongan moderat-liberal dan fundamentalis-radikal merupakan dua stigma palsu yang diciptakan dunia ‘Barat’. Pembagian ini sebelumnya tidak di kenal dalam dunia Islam sebelum media massa ‘Barat’ memenangkan perang pemikiran dalam benak umat Islam. Benturan peradaban dunia Barat dan Islam seperti yang pernah diekspose oleh Samuel Huntington, saat ini seperti menemukan realitasnya. Benturan ini merupakan keniscayaan historis yang pernah diabadikan dalam sejarah Perang Salib.

     Sikap Islam sendiri, dalam menghadapi peradaban Barat yang bercorak materialisme, haruslah memposisikan dirinya sebagai filter (dan pengawas) bagi lajunya peradaban, mengingatkan atas bahayanya berpegang pada materialisme saja (tanpa ditopang dengan faham spiritualisme). Karena Islam mempunyai landasan sendiri dalam membangun peradaban, yaitu berpegang pada ruh (spiritual) dan maadah (material) secara bersamaan. Islam juga mengusung pemikiran-pemikiran yang dapat membangkitkan kemaslahatan, moralitas yang tinggi dan mulia, serta berpegang pada akidah yang benar.

      Agaknya, dapat dikatakan bahwa sains dan peradaban Islam tak mungkin lahir tanpa Al-Qur’an sebagai sumber motivasi dan inspirasinya. Karena itu Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam perkembangan dan kemajuan sains serta peradaban Islam. Puncak kemajuan sains pada waktu itu berada di tangan umat Islam. Dari tangan mereka kemudian berpindah ke Dunia Barat seperti yang kita saksikan sekarang.

     Agar umat Islam zaman kini dapat meraih kembali kemajuan dalam bidang sains dan peradaban, maka mengambil kembali ruh dan semangat Al-Qur’an merupakan suatu keharusan/keniscayaan. Insya Allah..!!!

 

 Oleh: Chairullah Idris

 

= & =


 


 

Sabtu, 24 September 2016

UMMATAN WASATHAN



Ummatan Wasathan
    
     Ya Tuhan kami,...sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat Rumah Engkau (Baitullah) yang di hormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).
   
      Setelah Nabi Ibrahim As sampai pada suatu bukit yang bernama ’Kida’, sekembalinya dari mengantar Siti Hajar dan anaknya Ismail ke lembah Makkah, disitulah Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah Swt sebagaimana tertera pada Qs. Ibrahim: 37 diatas. Dan do’a tersebut, kini telah terkabul. Sebagian dari umat di dunia ini telah cenderung hatinya kepada ajaran yang dibawa Nabi Besar Muhammad Saw sebagai titisan/keturunan dari Nabi Ismail As.
       Dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang, Islam telah dianut oleh kurang lebih 1,2 miliar manusia di belahan dunia. Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki tradisi pembaruan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Kondisi dunia Islam saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, geliat untuk menjalankan syariah Islam merebak di sepanjang nusantara, di sisi lain kehidupan hedonisme dan materialisme menyerap habis-habisan budaya Barat yang berujung pada sekular dan liberalnya pola hidup kaum muslimin. Dalam kenyataan sehari-hari, umat Islam tidak satu suara dalam menjawab berbagai persoalan zaman. Kecenderungan untuk berbeda-beda antar berbagai kelompok ini, sebenarnya lebih merupakan respons yang berbeda dalam memahami ajaran-ajaran dasar agama Islam.
       Bila dalam kenyataan, beralihnya suatu peradaban ke peradaban yang lain, dan umat Islam saat ini sedang dalam keadaan yang memperhatinkan, bukanlah faktor penyebabnya adalah ajaran/agama yang dianut tersebut, sehingga dipandang perlu untuk di reformasi atau diperbarui, ini rasanya kesalahan besar yang tidak mendasar. Karena, sejatinya Islam itulah modernitas. Secara histori Islam hadir untuk memperbarui, meluruskan bahkan merupakan bentuk kesempurnaan bagi agama sebelumnya. Hal ini bukan hanya diakui oleh setiap umat Islam, tapi... seorang Muslim Pakistan misalnya pernah menulis : “Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal”.
      Kemunduran umat Islam saat ini sebenarnya tidak terlepas dari perjalanan sejarah umat-umat terdahulu yang telah menjadikan umatnya beralih ekstrim ke kanan atau ke kiri, dimana semestinya umat Islam harus mengemban misinya sebagai “ummatan wasathan”, umat yang meyakini kepada ke-Esaan Allah; umat yang adil dalam segala hal/ segala urusan; umat yang tidak mematikan akal ataupun menuhankannya; umat yang memandang agamanya dari sisi rasionalitas dan sisi transendental; umat yang berpandangan hidup paripurna, yang memberikan perhatian kepada aspek-aspek materi sama baiknya dengan perhatiannya terhadap aspek-aspek spiritual; umat yang dalam membelanjakan hartanya, tidak melampaui batas (berlebih-lebihan) dan tidak pula sangat kikir; umat yang dalam berjalanpun diperintahkan agar sederhana; umat yang menjadikan ‘wahyu’ sebagai petunjuk/pedoman dalam menggunakan akal pikiran guna mengarungi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak; serta umat yang telah diperintahkan Allah untuk memikirkan tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah : 219-220).
     Jadi, sangat tidak beralasan bagi sebagian pihak yang menganggap bahwa agama Islam adalah agama ukhrawi semata dan untuk itu perlu di ‘duniawi’kan, atau lebih populer dengan istilah men ‘sekuler’ kan agama Islam. Pihak-pihak inilah yang terindikasi adanya kesalahan /kekeliruan dalam menerima, menyerap serta menginterpretasikan Islam kedalam kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan kelompok / komunitasnya. Islam lahir dengan satu persepsi bahwa manusia cenderung mencintai dunia, sebagaimana tergambar dengan jelas pada firman Allah berikut ini : “sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia” (QS.Al-Qiyaamah :20), “dan meninggalkan (kehidupan) akhirat” (QS. Al-Qiyaamah: 21). Untuk itulah Allah kemudian meridhoi Islam sebagai ad-Dien bagi Nabi Muhammad SAW beserta kaumnya untuk membimbing manusia dalam mengarungi kehidupan dunianya dan mempersiapkan kehidupan akhirat kelak secara berkeseimbangan. Diantara beberapa petunjuk atas hal tersebut, salah satunya dapat kita simak surat Al-Qashash ayat 77 berikut ini: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan)negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi,...”. Upaya tersebut sebelumnya telah dirintis oleh Rasul-Rasul terdahulu, namun setiap Nabi (Rasul) tersebut diturunkan, umat-umatnya menghianati mereka sebagaimana firman Allah berikut ini: “demi Allah, sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan, menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka dihari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih” (QS. An-Nahl : 36).
     Al-Qur’an telah menyampaikan pula bahwa agama tauhid adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Namun apa yang terjadi pada umat-umat terdahulu adalah mengadakan sembahan-sembahan lain selain Allah, disamping juga telah menjadikan dunia satu-satunya tujuan hidup mereka.
    Karena orientasi keduaniawiannya, manusia seringkali melupakan kehidupan akhirat. Karena cara pandangannya yang positivistik, manusia menafikan sesuatu yang bersifat rohaniah. Karena prasangkanya akan hidup abadi di dunia, manusia meninggalkan sesuatu yang bersifat spiritual. Manusia seringkali melupakan nilai-nilai luhur ajaran agama. Oleh karenanya terbentuklah manusia-manusia beragama tapi tidak beriman, padahal Al-Qur’an telah mengingatkan kita bahwa: ”orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa, bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat kelak” (QS. Yunus : 63-64).
     Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman, oleh Al-Qur’an dibedakan sebagaimana ayat berikut ini: “Orang-orang Arab badwi itu berkata, ‘Kami sudah beriman’. Katakanlah (kepada mereka) ‘Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah Islam’. Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu” (QS. Al-Hujurat: 14). Benar apa yang dikatakan Ibnu Atha’illah dalam kitabnya Al-Hikam, ‘Allah tidak bertempat di ruang yang tinggi, maupun di ruang yang rendah. Allah tidak berada di langit atau di bumi. Allah berada di dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman. Alangkah indahnya! Jika si hamba mencari Allah, maka carilah ia di sana’. Menjadi jelaslah bagi kita apa yang didefinisikan Al-Qur’an melalui surat Al-Anfaal ayat 2 yang artinya : sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
    Dan pengertian iman itu sendiri menurut ‘catatan kaki’ Al-Qur’an dan terjemahannya, adalah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Adapun tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang di kehendaki oleh iman itu.


Kesimpulan (analogous)
        
       Pada hakikatnya, manusia tercipta dari dua unsur yang berbeda, yaitu unsur bumi, unsur tanah yang rendah, dan unsur langit yang tinggi. Allah menciptakan manusia dari segenggam tanah kering yang berbau busuk. Itulah yang kemudian menjelma sebagai fisik manusia dengan segala macam ketertarikannya kepada dunia dan hal-hal yang berbau materi. Tak heran bila manusia butuh makan, minum, berhubungan seks, dan lainnya.
     Di sela-sela proses penciptaan itu berlangsung, Allah pun meniupkan ruh-Nya ke dalam wujud manusia tersebut hingga ia memiliki kecenderungan untuk “melangit”, menuju hal-hal spiritual. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi yang tidak bisa diukur dilaboratorium sekalipun. Dimensi inilah yang mengantarkan manusia pada keindahan, pengorbanan, pemujaan, rasa cinta, kesetiaan, kenikmatan beribadah, dan lainnya. Hingga akhirnya, manusia menuju suatu realitas Mahasempurna, yang gaib, tanpa batas, tanpa akhir, dan tanpa cacat. Itulah Allah Rabbul’alamin.
     Kualitas seorang manusia sangat di tentukan oleh interaksi kedua unsur tersebut. Apabila daya tarik unsur bumi lebih kuat, maka manusia tak akan jauh beda dengan binatang bahkan lebih buas atau lebih bodoh darinya. Ia akan sekuat tenaga mencari sebanyak mungkin materi, dengan mengabaikan suara hati. Tapi bila unsur langit lebih kuat tarikannya, maka manusia akan menjadi “malaikat” yang terlahir di dunia. Walaupun demikian, tanpa adanya jasad atau keinginan yang bersifat materi, ia tidak akan dianggap manusia.
     Idealnya, harus terdapat keseimbangan interaksi di antara keduanya, dengan posisi daya tarik unsur langit berada di atas unsur bumi. Mengapa demikian? Karena kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah ‘makhluk bumi’ melainkan ‘makhluk langit’ ungkap Thielhard de Chardin, seorang filosof Prancis. Hakikatnya, kita adalah makhluk langit yang diturunkan Allah ke bumi untuk menguji seberapa besar keimanan kita kepada-Nya serta menjalankan misinya sebagai ‘umat pertengahan’ sebagaimana firman Allah berikut ini: Wa kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatan,...” (QS. Al-Baqarah: 143). Allahu a’lam bis shawab !


=&=
By: Chairullah Idris


Minggu, 05 April 2015

ISLAM & HAM



  Sulit kita membayangkan, ada orang di rumah sendiri, di negara sendiri, negara yang berdaulat, diultimatum untuk meninggalkan rumah dan negaranya beserta keluarga dalam waktu 2x24 jam. Apakah memang demikian perilaku pihak yang mengaku penegak demokrasi dan HAM ? Mengapa semua ini bisa terjadi ?  Inilah suatu pertanyaan besar dan sederhana, namun semua pihak di belahan dunia ini belum  mampu untuk menjawabnya secara tepat dan jujur, apalagi untuk berbuat dan bertindak.
      Meskipun di benak masing-masing pihak dapat mereka-reka jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, namun  apa daya, kita  semua  tidak  bisa  berbuat  apa-apa. Kita hanya dapat menyaksikan melalui layar televisi, pembantaian habis-habisan atas mahluk-mahluk Allah yang tidak kita ketahui secara pasti apa dosa dan kesalahan mereka. Nampak jelas disini ketidak-berdayaan kita semua, sampai-sampai PBB-pun tunduk patuh kepada negara agresor beserta sekutunya.  Inilah  tragedi kemanusiaan yang  terbesar pada abad kini, dimana semakin majunya zaman dan semakin modernnya umat, namun semakin pula menunjukkan kesewenangan / kemunduran peradaban kemanusiaan.
    Berbicara masalah kemanusiaan, tidaklah dapat dipisahkan begitu saja dari masalah keagamaan, khususnya agama Islam.  Islam adalah Ad-Dien yang sempurna. Agama yang tidak sekedar mengatur bagaimana caranya beribadah kepada Al-Khalik   tetapi sekaligus menjawab problematika kehidupan manusia, termasuk didalamnya masalah HAM dan lingkungan-hidup serta bagaimana menciptakan keseimbangan   ekosistem yang ada dalam kehidupan. Agama Islam membina kehidupan manusia yang di awali dengan tauhid. Ilmu tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan dan kepercayaan agama melalui akal fikiran, disamping kemantapan hati yang didasarkan pada wahyu. Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, serta mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram antara sesamanya. Wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk menunaikan kewajiban seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kebaikan dan  keikhlasan.
    Untuk mencapai kehidupan yang damai, tenteram antara sesamanya, dibutuhkan kesadaran yang tinggi akan rasa persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Meskipun ketiga idiom tersebut berasal dari al-Quran, namun tak urung pula pihak Barat-lah yang telah mengklaim bahwa pemikiran tentang Hak Azazi Manusia (HAM) tersebut diilhami oleh Revolusi Perancis yang pecah pada tanggal 5 Mei 1789 di kota Versailles dengan slogan: liberte, egalite et fraternite . 
    Diskursus HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup memang tidak pernah usai. Semua konsep dan tata nilai di tawarkan untuk di nilai, manakah yang lebih handal. Faktanya, semua mengakui bahwa pendekar dan pejuang HAM yang ada relatif terhegemoni oleh tata nilai Barat sebagai fihak yang mengklaim sebagai cikal bakal HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup itu sendiri. Belum pernah ada solusi alternatif cerdas ditawarkan, atau kalaupun ada tetapi selalu dipandang sinis dan penuh dengan nuansa kecurigaan tak beralasan. Terlebih lagi apabila konsep dan tata nilai itu datang dari komunitas Islam, maka yang muncul adalah Islam Phobia sebelum terlebih dahulu betul-betul meneliti dan mengkajinya.      
    Padahal bila kita berkenan mengkaji dan meneliti secara seksama dan lebih mendalam atas kandungan al-Quran, khususnya ayat-ayat yang menghantarkan kita ke alam Demokrasi, HAM dan Lingkungan Hidup, maka tidaklah akan terjadi kesimpangsiuran pemahaman antar sesama umat Islam maupun terhadap pihak Barat yang jelas-jelas telah mengadopsi paham / ajaran Islam dan menyatakan bahwa temuan-temuan tersebut adalah berasal dari mereka, sehingga umat Islam sendiri  terpecah menjadi dua kelompok besar masing-masing yang menganggap bahwa konsep HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup adalah murni berasal dari Barat sehingga apa saja yang terkait dengan ketiga topik tersebut adalah haram hukumnya, sedangkan yang lain adalah kelompok yang sebenarnya mengetahui keberadaan konsep-konsep tersebut berasal dari Islam, namun karena yang mendiklair secara resmi adalah fihak barat dan juga sudah terlanjur menganggap semua yang datang dari Barat adalah baik, maka kelompok ini adalah yang mengagungkan dan menerapkan secara penuh konsep-konsep tersebut sebagai produk Barat yang dibanggakan.
    Agar selisih paham tersebut tidak membawa pengaruh lebih jauh yang tidak bermanfaat bagi kita semua, kiranya perlu kita kaji bersama hal-hal yang mendasari penegakan HAM dari perspektif Islam, pertama ayat 183 surat Asy-Syuara yang menyatakan : Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan jangan lah kamu merajalela dimuka bumi dengan membuat kerusakan; kedua  ayat 33 surat Al-Araf yang berbunyi : Tuhan-ku hanya mengharamkan; perbuatan keji, perbuatan dosa, melanggar Hak Manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui; ketiga adalah praktek penerapannya di dalam kehidupan bernegara yang diawali dalam Konstitusi Madinah. Sebagai suatu kontrak sosial, untuk pertama kalinya penyebutan dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter dengan ciri utamanya yakni pengakuan terhadap hak-hak azazi tanpa diskriminasi, baik Muslim maupun Yahudi dan semua pendukung konstitusi tersebut. 
    Menjadi jelas permasalahannya, dan mudah-mudahan dapat terjawab pertanyaan besar dan sederhana tersebut di atas, tidak lain hanya karena mereka telah mengadopsi konsep ajaran Islam dan mempublikasikan konsep tersebut adalah murni temuan mereka. Jadi mereka tidak tahu dan tidak mampu untuk menerapkan serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, mengingat konsep yang satu dengan konsep yang lainnya amat bertentangan dan sulit untuk diterapkan secara bersamaan. Dan semakin jelas lagi bahwa, globalisasi HAM hanya merupakan agenda penting bagi kaum kapitalis dalam rangka serangan kebudayaan / peradaban terhadap umat Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Dr.Sami Sholeh Wakil : Imperialisme barat mempropagandakan keseluruh dunia terhadap pandangan hidupnya yang dikemas dalam HAM dan bergerak terhadap negara-negara agar menegakkan pandangan ini dengan methode pelaksanaan Imperialisme. Sekedar bukti konkrit, setelah meng-ultimatum dan meluluh-lantakkan, kemudian mengendalikannya melalui kekuasaan pendudukan yang pada gilirannya mengeluarkan larangan untuk mendirikan negara Islam. Sungguh memilukan memang, Barat dengan segala propagandanya tidak akan pernah berhenti berusaha agar kaum muslimin selalu jauh dari ajaran yang sebenarnya (baca : QS.Al-Baqarah:120).
    Untuk itu, kini saat yang tepat bagi kita kaum Muslimin kembali merenung dan koreksi diri, apakah kita sudah berada pada jalan yang dikehendaki dan diridhoi-Nya ?. Sebagaimana pada bagian akhir isi khotbahnya yang bersejarah, Khalifah Umar r.a,   dalam perjalanan pulang menuju Madinah, singgah sejenak di Jabiah setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius, menyebutkan: Al-Quran tidak membawa pesan-pesan ukhrawi belaka, ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. Bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselamatanmu. Bila mengikuti jalan yang yang lain engkau hanya akan mengundang kehancuran. Jalan yang dimaksud tentunya adalah jalan yang lurus, dan untuk menempuh jalan tersebut diperlukan peta / petunjuk yaitu al-Quran yang dapat dijadikan pedoman / landasan pijak dalam menyusun tata kehidupan / tata nilai hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.    
    Jujur kita akui, bahwa al-Quran bukanlah buku yang menghimpun seluruh teori ilmu pengetahuan, bukan pula ensklopedia yang memuat seluruh jawaban ilmu yang dipersoalkan. Al-Quran hanya meletakkan prinsip dasar ilmu pengetahuan dan prediksi-prediksi yang mengandung motivasi eksplorasi ilmiah. Mengapa demikian ? Karena lebih dari itu al-Quran adalah merupakan Kitab Suci.   Wassalaam ! 


                                                                              ===@===