Kembali
kepada Al-Qur’an
Semboyan
“Kembali kepada Al-Qur’an”
sudah banyak didengungkan orang, semua sepakat, itulah formula yang akan dapat
mengangkat umat Islam dari ketertinggalannya, dan mengantarkan mereka kepada
suatu kebangkitan kembali yang didambakan. Tapi, sudahkah umat
Islam mengenal Kitab suci ini ? Atau sudah benarkah pengenalannya selama ini ?
Tanpa pengenalan yang benar, semboyan itu tidak akan punya arti apa-apa dan
tidak akan membawa kita kemana-mana.
Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
melalui perantaraan Malaikat Jibril dan selanjutnya untuk diteruskan kepada
seluruh umat manusia guna dijadikan petunjuk/pedoman dalam menempuh jalan
kehidupan yang di-ridhoi Allah, yakni jalan yang lurus.
Sebagai Kitab Allah, Al-Qur’an menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran
Islam. Dan diawal kelahirannya, umat Islam sangat komitmen dengan Al-Qur’an. Mereka bukan hanya menjunjung tinggi kitab Ilahi ini, namun mereka
mampu bersenyawa dan meng-aplikasikannya dalam keseharian. Dan, hasil yang
dicapai sungguh sangat optimal, mereka sanggup mencapai suatu batasan yang
agung di mata dunia dan dalam berbagai lapangan kehidupan.
Namun, generasi pelanjutnya
semakin kemari kian surut. Umat Islam sudah jauh dari Al-Qur’an. Al-Qur’an pun tinggal tulisan yang dihias warna-warni yang tak dipahami pesan-pesannya
untuk membangun pranata hidup dan peradaban. Akibatnya, muncullah berbagai
penyakit yang membuat keropos bangunan Islam. Mulai dari perpecahan, syubhat,
khianat, ketidakadilan, ketidakjujuran, salah urus, kemiskinan, runtuhnya nilai
etika dan estetika, beribadah salah kaprah, keterbelakangan
dan penyakit kronis lainnya. Nasib umat Islam di berbagai belahan dunia sama;
mereka dilecehkan….
dihinakan…. dinomorduakan... bahkan, ...
diluluhlantakkan!
Lalu apa solusinya ? Tidak
lain harus kembali kepada Al-Qur’an dan memahaminya
secara integral, menyeluruh dan sistematis, sebagaimana telah difirmankan Allah
Swt melalui 2
(dua) ayat-Nya masing-masing terjemahannya sbb:
* “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS.
An-Nahl : 44).
*
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang
didalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada
memahaminya ? ” (Q.S.
Anbiya : 10).
Dari kedua ayat
tersebut diatas, jelas bagi kita, bahwa telah diperintahkan kepada umat manusia
untuk dapat memahami isi Al-Qur’an dengan cara memikirkan, mempelajari,
serta menggali kandungan ayat-ayat Ilahi tersebut guna dijadikan pedoman dan
petunjuk bagi siapa saja yang menghendaki kemuliaan. Dan sekaligus mengaplikasikannya dalam keseharian, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun
bangsa yang mencakup segala aspek kehidupan manusia (ekonomi, politik, , seni, budaya, dan pendidikan).
Namun disinilah letak
persoalan yang kita hadapi, dimana Islam sebagai ‘Agama
Masjid’ senantiasa survive. Kendati, dalam tatanan bermasyarakat dan
berbangsa, Islam terus terombang-ambing,
mengalami kemunduran dan terpojokkan. Di Republik ini, sejak awal masa kemerdekaan,
oleh The founding father kita telah mulai dicanangkan, dimana
Negara Republik Indonesia akan dijadikan negara modern, melalui upaya ‘sekularisasi
dan pembaratan masyarakat Islam’. Hal ini sangat
terinspirasi oleh rekan seperjuangannya Kemal At Tatturk yang baru saja
memperoleh kemerdekaan Turki, dan juga telah berhasil menerapkan program
modernisasi di Negaranya. Dan kenyataannya saat ini, masyarakat Indonesia sudah
berhasil dengan sempurna memisahkan kehidupan beragama dari kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa. Dan yang lebih menakjubkan lagi, masyarakat
Indonesia telah berhasil pula menjadi lebih Barat dari bangsa Barat-nya sendiri. Ironis memang, di yang
mayoritas penduduknya adalah umat Islam dan memperoleh kemerdekaan melalui gema
suara takbir, namun spiritual tidak dijadikan bahan pertimbangan sebagai dasar pemikiran dalam pengelolaan
suatu
masyarakat bangsa. Apakah gerangan penyebab
tertolaknya upaya tersebut ? Allahhu a’lam!
Namun paling tidak kami
mencatat adanya beberapa penyebab, baik dari
intern umat Islam sendiri maupun dari fihak ekstern, antara lain:
- Dampak masa penjajahan
Snouck Hurgronje, yang merupakan peletak dasar kebijaksanaan Belanda mengenai Islam di Indonesia telah
berupaya agar Islam hanya menjadi “Agama masjid”, artinya agama sebagai ibadah kepada Tuhan semata. Akibatnya, kita
hanya sujud kepada Allah Swt di masjid, tetapi diluar masjid kita menjadi
pelaku maksiat yang ulung. Kebijaksanaan yang melatarbelakangi “politik netral-agama” itu diajukan karena Snouck
Hurgronje melihat bahwa musuh pemerintah Hindia Belanda itu bukanlah Islam
sebagai agama, melainkan Islam sebagai kekuatan atau doktrin politik.
- Pengaruh aliran politik dalam Islam
Masalah-masalah
politik dalam Islam pada mulanya berpangkal dari masalah penentuan pengganti Nabi
Muhammad Saw dalam urusan dan agama.
Dalam kaitan ini kemudian muncul beberapa aliran politik dalam Islam, yaitu
khawarij, suni, dan syi’ah. Aliran khawarij dan syi’ah menolak pendapat yang
mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan kehidupan bernegara.
Keduanya berpendirian bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia,
termasuk kehidupan bernegara. Sementara aliran suni berpendirian bahwa Islam
tidak ada hubungannya dengan . Nabi Muhammad Saw, sebagaimana rasul-rasul
sebelumnya, hanya berfungsi sebagai rasul, tidak sebagai kepala . Penduduk muslim Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, dan pada
umumnya mereka penganut Ahlusunah waljamaah (suni), bermazhab terutama Mazhab
Syafi’i.
- Pengaruh Pendidikan barat
Para Intelektual Muslim yang telah terkontaminasi oleh adigium yang mengatakan:
”Berikan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar dan apa yang menjadi
milik Tuhan kepada Tuhan.” Sedangkan, filsafat Islam menegaskan bahwa Kaisar dan apa yang menjadi
miliknya adalah milik Allah Swt. Dan apa yang ada di muka bumi dan alam jagat
raya ini merupakan milik-Nya jua. Islam adalah agama universal yang mengatur
segala sendi kehidupan manusia, yang mencakup akidah, ibadah, dan syariah serta
menetapkan prinsip-prinsip dasar yang menghasilkan syariah-syariah yang
mengatur kehidupan individu, keluarga, kondisi dan situasi masyarakat, dan relasi-relasi alam secara
konstruktif.
- Propaganda Sekularisme
Dalam memposisikan agama ke dalam filsafat politik sekuler, ada
perbedaan pendapat, diantaranya ada model sekuler Barat liberal yang menempatkan
agama bukan sebagai sesuatu yang tabu, tetapi juga bukan mendasar terhadap kebijakan . Urusan dijalankan secara terpisah dari pertimbangan
agama. Di Inggris misalnya, Kristen Anglikan menjadi agama dan raja atau ratu dianggap sebagai kepala Gereja
Anglikan. Meski demikian, agama tidak berperan dalam urusan . Di -negara Barat
lain, kurang lebih mengambil sikap yang sama. Negara tetap independen dari
gereja, dan merupakan dua domain yang
sama sekali berbeda dan tidak saling mencampuri. Sampai batas tertentu, model
Barat ini lebih dekat dengan filsafat politik sekuler. Dengan propaganda inilah
masyarakat Indonesia cenderung mengikuti perkembangan segala sesuatu yang
berasal dari Barat, termasuk perkembangan kehidupan beragama.
Dari -unsur tersebut
diataslah, sejak berdirinya Republik ini kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa kita sudah mulai terpisah dari kehidupan beragama.
Semakin jauh kita mengayuh biduk kenegaraan, semakin jauh pula tertinggalnya
kehidupan keagamaan kita. Sehingga apapun yang kita perbuat, hasil yang kita
peroleh adalah jauh dari apa yang kita harapkan, langkah apapun yang diambil
akan menimbulkan huru-hara, saling curiga, saling tuduh, saling fitnah, saling
hujat, bahkan saling bunuh dan pada akhirnya bermuara pada kerusuhan /
kehancuran. Kisah umat-umat terdahulu yang dipaparkan Al-Qur’an seharusnya dapat diambil contoh. Kaum Saba’, Tsamud, ‘Ad, Kan’an, Bani Israil dan Abu Jahal, termasuk serangkaian sosok sejarah yang
menjadi bukti secara alamiah bahwa mengingkari kebenaran akan berakhir dengan
keterpurukan. Allah telah menegaskan : “Barang siapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk
orang-orang kafir, zalim dan fasik” (QS Al-Ma’idah: 44,45, dan 47). Menurut ayat tersebut, orang yang enggan berhukum
menurut Allah disebabkan oleh tiga hal ;
karena tidak percaya (kufur), berdasarkan hawa nafsu dan nalar (logic) yang justru menganiaya / membohongi diri sendiri (zalim), dan mempercayai
kebenaran sebatas “lip-service” dan retorika belaka (fasik).
Para pakar tafsir menyebutkan
bahwa yang diturunkan Allah itu ada tiga : Al-Qur’an,
Sunnah, dan akal. Dua yang pertama wahyu, dan yang terakhir fitrah. Hadis Mu’adz bin Jabal yang terkenal itu mengisaratkan agar kita mendahulukan
Al-Qur’an, Sunnah, kemudian ijtihad. Mendahulukan nalar (logic) dengan segala keterbatasannya hanya berujung jalan buntu. Wahyu
menggariskan bahwa Islam menyelaraskan ajarannya sesuai dengan fitrah dan akal
manusia.
Sebagai agama fitrah, Islam
tidak hanya menyatakan ajarannya rasional, tetapi juga sangat spiritual (intuitif). Tanpa wahyu dan ketulusan, nalar itu tidak lebih
dari seonggok ego yang cendrung hedonis dan materialis dan menjerumuskan manusia pada perilaku yang lebih
sesat dari pada binatang (QS Al-A’raf : 179). Mungkin krisis bangsa ini terus terjadi karena kita selalu
segan, emoh, atau malu-malu mengakui Syariat Agama kita.
Kita mengabaikan Al-Qur’an. Kita terjebak dalam kemunafikan massal. Kita terus menggali kesalahan yang
sama. Kita terus mencari alternatif hukum berikut
berbagai justifikasi nalar. Sementara itu, kebenaran petunjuk kita kesampingkan. Kita ingin benar,
namun mengenyahkan kebenaran itu sendiri.
Dalam Islam, tindakan
melarikan diri dari kebenaran dikenal dengan istilah “berpaling”. Maka melalui surat Az-Zukhruf
ayat : 36, Allah telah mengingatkan kita : ”Barang siapa yang
berpaling dari Pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya syetan (yang
menyesatkan), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”. Apabila kita tak ingin syetan selalu menyertai kita, maka sudah
saatnya kita kembali memanfaatkan Al-Qur’an sebagai
pedoman/petunjuk jalan hidup kita, dengan terlebih dahulu mencermati ayat-ayat
yang terkait langsung dengan perintah penegakan syariat yang berkaitan dengan
agama kita sebagaimana ayat-ayat berikut ini :
*
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka
lakukan, maka janganlah
sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada
(agama) Tuhanmu” (Q.S. Al-Hajj : 67).
*
“Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S. Al- Jatsiyah : 18)
* ”Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi seluruh manusia,
petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang meyakini” (Q.S. Al-Jatsiyah : 20).
* “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan -hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ketempat kembali;.” (Q.S Al-Qashash:85).
* ”Jika mereka berpaling (dari yang
telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka ,
disebabkan dosa-dosa mereka”
(Q.S Al-Ma’idah : 49).
Musibah demi musibah yang melanda bangsa dan rakyat kita, baik musibah
yang secara alamiah maupun musibah
yang dari perbuatan manusia sendiri,
nampaknya mengharuskan kita untuk merenungi dan mawas diri. Dimana letak
kealpaan kita. Akui dengan jujur kesalahan kita, ketidaktahuan kita, kekeliruan
kita, yakinkan bahwa diatas segalanya ada Allah swt Yang Maha Menguasai alam
semesta raya ini. Apabila Dia mengatakan jadilah, maka ‘jadilah ia‘.
Pada saat penulis
sedang merenungi masalah ini, tiba-tiba saja teringat akan kisah-kisah /
contoh-contoh dari orang-orang terdahulu yang
difirmankan Allah melalui ayat-ayat Nya yang termuat
dalam surah Saba’ sebagai berikut :
- “ Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (Kekuasaan
Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun disebelah kanan dan
disebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) ”makanlah olehmu dari rezeki yang (Dianugerahkan) Tuhan-mu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhan-mu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (Q.S. Saba’ : 15).
-
“ Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun
mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
atsl dan sedikit pohon sidr” (Q.S. Saba’ :
16). (dari catatan kaki Kitab Al-Qur’an dan terjemahannya,
pohon Atsl adalah sejenis pohon cemara dan pohon Sidr adalah pohon bidara).
Apakah ayat-ayat tersebut memang dimaksudkan Allah untuk mengingatkan
umat berikutnya agar menjalani hidup berpribadi, berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa sesuai dengan apa yang
diinginkan dan diridhoi-Nya, termasuk bangsa dan negara kita
? Semoga kita tergolong bangsa yang Dikehendaki-Nya untuk selalu mendapat Petunjuk
dan Keampunan-Nya. Amien…!
Syari’at dalam Al-Qur’an bertujuan
mengarahkan perjalanan kehidupan manusia menuju kemaslahatan yang sesuai dengan
syari’at, membangun kehidupan masyarakat berlandaskan dasar yang paling lurus
serta cara yang paling sesuai, juga berorientasi pada sisi yang paling selamat
dan paling benar baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa
Al-Qur’an bukan hanya milik umat Islam saja, tetapi juga sebagai undang-undang
kehidupan bagi seluruh umat manusia di alam ini. Sebagaimana kesaksian dari
Goerge Sarton seorang ilmuwan dan sejarawan besar Amerika Serikat dalam
karyanya berjudul: ‘The Incubation of Western Cultuer in the Middle East’
menyatakan bahwa: “Ajaran Al-Qur’an meliputi seluruh aspek kehidupan,
nilai-nilai religi, ilmu pengetahuan, aturan perundang-undangan, tata laksana
kehidupan, bahasa, dan lain-lain. Intinya, tiada satu masalah kehidupan pun
yang tidak tersolusikan dalam Al-Qur’an”, lanjutnya. Hal ini lantaran isinya
yang bersifat kekal dan tetap, bernilai tinggi serta bersifat universal, karena
Al-Qur’an adalah kalam wahyu ilahi yang akan tetap abadi hingga di hari akhir
nanti.
Al-Qur’an berada pada tingkatan tertinggi
tidak hanya di kalangan orang mukmin dan pengikutnya saja. Ia tidak untuk
mengharap berkah, atau sebagai bacaan bagi arwah jenazah, dan pada beberapa
kesempatan yang berkaitan dengan ta’ziyah. Ia juga bukan hanya untuk bacaan
sehari-hari untuk dihafal dan memberikan kesenangan semata. Tapi ia jauh lebih
dari itu, ia berperan sebagai undang-undang beramal dan aplikasi, memperbaiki
akidah serta ajaran mengenai akhlak dan tingkah laku. Oleh karenanya, Allah Swt
mewajibkan hamba-Nya untuk mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an kemudian mengapli
kasikan hukum-hukum dan ajaran yang terdapat di dalamnya secara menyeluruh,
tidak hanya sebagian saja. Sebagaimana Allah Swt telah berfirman : “Kitaabun anzalnaahu ilaika mubaarakul li yaddabbaruu
aayaatihii wa li yatazakkara ulul-albaab” (QS. Shad : 29) , yang artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal pikiran”. Wassalam...!!
==@==
Oleh : Chairullah Idris
Email : Chairullah.idris@gmail.com