Jumat, 03 Mei 2013

ISLAM Agama Peradaban Universal


ISLAM                                                                                           
Agama Peradaban Universal  


     “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.  Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih  mengetahui  tentang  siapa  yang  tersesat  dari  jalan-Nya  dan Dia-lah  yang lebih  mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS.An-Nahl: 125). 
       
      Kitab suci umat Islam, Al-Qur’an telah mendorong umatNya, baik secara langsung maupun tidak, untuk turut serta dalam aktivitas dialog peradaban. Kutipan ayat di atas merupakan salah satu contohnya. Adapun tujuan utama dialog peradaban, salah satunya adalah membimbing berbagai komunitas yang berbeda-beda agar bekerja mewujudkan kesejahteraan sosial secara umum, sebagaimana mereka juga dihadapkan oleh keadaan agar hidup berdampingan satu sama lain sekalipun dengan keyakinan spiritual, way of life keagamaan, dan ideologi politik yang berbeda-beda.                                                                                                                                                  Peradaban Islam adalah peradaban universal yang pertama kali dalam sejarah dunia. Berabad-abad sebelum Eropa menemukan kembali Plato dan Aristoteles serta unsur-unsur lain dari warisan Yunani–Romawi, Islam telah memberi kontribusi utama dan positif terhadap berkembangnya ide peradaban manusia universal melalui keterlibatannya dalam peradaban global yang konstruktif dengan dunia lainnya, baik dengan peradaban Timur tradisional, maupun Barat modern.
        Adalah fakta historis bahwa Islam telah  membangun peradaban  universal  kompre- hensif yang pertama kali dalam sejarah,  bahkan sekiranya kita mengikuti seluruh kreteria universalitas modern sekalipun.  Berbagai macam peradaban telah disaksikan dunia sebelum Islam datang. Setiap peradaban telah memberikan sumbangsih peradaban dengan kadar bilangan yang terdapat dalam bidang estetika kemanusiaan. Namun, seluruhnya terbenam di balik syahwat dan kelezatan sehingga menjadi semacam tirani dan bentuk kezaliman, terpasung dalam dinding kebinasaan para rahib. Lantas setelah itu datanglah peradaban yang bernuansa kemanusiaan, mewariskan apa yang paling mulia dalam sisi peradaban ini, menghadirkan untuk kita suatu peradaban yang mempunyai rasa, warna, dan aroma semerbak dimana masyarakat yang hidup dalam naungannya, penuh rasa aman dan bahagia.  Bukankah peradaban yang dibangun di Spanyol Muslim oleh Muslim, Yahudi dan Kristen yang berada di bawah bendera peradaban Islam merupakan peradaban universal ?  Fakta empiris pelaksanaan HAM dalam Islam juga dengan sangat bagus telah diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw ketika bermukim di Madinah.  Saat itu, dengan kehidupan yang meliputi beragam  suku, agama, budaya, dan strata sosial, beliau melindungi semua masyarakat dengan lahirnya Piagam Madinah. Piagam tersebut dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah. Fenomena tersebut sampai mengundang decak kagum dari seorang Robert N. Bellah yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM, terlampau modern untuk ukuran zaman itu.
       Demikian pula halnya dengan sejumlah pemikir Yahudi dan Kristen juga beranggapan sama.   Max Dimont, diantaranya, seorang ahli sejarah tentang pemikiran dan peradaban Yahudi menyatakan bahwa era keemasan Yahudi pada priode abad pertengahan bersesuaian dengan era keemasan Islam, yang dengan demikian meng isaratkan bahwa apa yang dibangun bersama-sama oleh Muslim, Yahudi dan lainnya dalam peradaban Islam benar-benar memiliki sifat universal.
        Disamping itu ada pula kesaksian dari Baron Carra de Vaux (1868-1939), orientalis dari lembaga seminari Katolik Prancis. Dalam karya monumentalnya berjudul ‘Les Penseurs de l’Islam’ (para pemikir Islam), ybs menjelaskan bahwa sejak abad ke-12 dan seterusnya, masyarakat barat  mulai  bangkit  dari tidur panjang (keterbelakangan).  Mereka mulai fokus kepada dunia keilmuwan, mulai menerjemahkan karya-karya hebat bangsa Arab (Islam) ke dalam bahasa Eropa seperti halnya bangsa Arab menerjemahkan karya-karya Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab.  Sungguh bangsa Arab adalah ‘agen of change’, bahkan jasa mereka sangat besar dalam menjembatani peradaban dan keilmuan masa lalu dengan peradaban masa kini.  Berkat kerja keras para ilmuwan Arab pula, manusia-manusia pada zaman ini mampu menciptakan karya-karya ilmiah baru. Satu hal yang dinafikan masyarakat barat atas kehebatan bangsa Arab, bangsa ini adalah manusia-manusia yang cinta ilmu dan memiliki mobilitas tinggi dalam bidang keilmuan, bangsa Arab juga merupakan duta peradaban Islam yang menerangi peradaban umat manusia secara universal, lanjutnya. Karena jasa bangsa Arab inilah, mereka masyarakat Eropa mampu bangkit dari keterpurukan panjang, uangkapnya lebih lanjut.
        Bila dalam perkembangannya,  beralihnya suatu peradaban ke peradaban yang lain dan meskipun sebagian besar orang-orang barat (non Muslim) berupaya mengecilkan ‘eksistensi dan peran peradaban Islam’ dalam memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan manusia, tidak demikian halnya bagi Wells, seorang pakar sejarah Inggris yang mengatakan, “Setiap agama apabila ajaran-ajarannya tidak sejalan dengan peradaban, maka campakkan dan buang jauh-jauh. Sesungguhnya agama yang benar yang pernah aku temukan berjalan seiring dengan irama peradaban, kemanapun peradaban berjalan, maka ia itu adalah Islam.  
        Barangsiapa menginginkan bukti, maka silahkan membaca Al-Qur’an berikut kandungannya yang berisi tentang teori-teori dan konsep-konsep ilmiah serta hukum-hukum sosial.  Hingga detik ini, Al-Qur’an adalah sumber inspirasi bagi para ilmuwan dan sastrawan.  Mustahil manusia bisa menciptakan karya seperti  Al-Qur’an karena  ia  adalah kalam Tuhan, bukan ciptaan manusia.  Ia sumber pengetahuan yang melahirkan metedologi berpikir, sumber hikmah, dan lahan yang tiada pernah habis bagi rujukan ilmu. Para penulis yang menjadikan Al-Qur’an sumber tulisannya, ia akan menjadi penulis hebat. Sedemikian itu kesaksian dari Marcel A. Boisard; seorang pemikir besar dan pakar hukum Prancis kontemporer yang termuat dalam karyanya berjudul ‘Humanism in Islam’ (sisi humanis ajaran  Islam) hal 52-53 yang dianggap sebagai karya yang banyak memberi kontribusi positif dalam meluruskan pemahaman keliru bangsa barat terhadap Islam.  
       Demikian pula pendapat seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia barat yang lahir di Skotlandia; William Montgomery Watt (1909-2006). Dia adalah pendeta yang cukup disegani di Gereja Episkopal Skotlandia dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerussalem. Ybs termasuk pemikir yang gencar menyuarakan ‘kerukunan’ atau sinergi peradaban antara peradaban Islam dengan peradaban barat. Karya-karyanya juga turut meluruskan kesalahan pemahaman manusia-manusia barat terhadap esensi  ajaran Islam. Dalam pengantar karyanya yang berjudul ‘The Influence of Islam on Medieval Europe’ , Watt memaparkan pengaruh peradaban Islam terhadap masyarakat Eropa. Dia mengatakan, ‘Saya tidak pernah sekalipun menganggap ekspansi kaum muslim ke ranah Eropa sebagai langkah impria- lisme seperti umumnya ekspansi yang dilakukan pihak-pihak nonmuslim. Namun, saya menganggap mereka—kaum muslim—sebagai pencerah peradaban yang melahirkan kesuksesan besar bagi  bangsa  Eropa. Setiap  orang  yang ada  di bumi  ini  berutang  budi kepada kaum muslim karena jasa besar mereka sebagai penyi’ar peradaban agung nan luhur, ungkapnya lebih lanjut.
        Disamping itu, ada pula seorang orientalis Prancis ternama; Gustave Le Bon (1841– 1921), dalam karyanya yang populer ‘ La Civilisation des Arabes ’ antara lain menyebutkan: ‘Realitas sejarah menunjukkan, tidak kurang dari satu abad setelah kaum muslim menduduki Spanyol, mereka berhasil menghidupkan Bumi yang mati—berkat kemajuan dunia pertanian dan perkebunan—memenuhi kota-kota di Spanyol dengan gedung-gedung indah, meramaikan dunia perniagaan, tidak saja perdagangan dalam negeri, tetapi juga perdagangan luar negeri. Menghidupkan semangat keilmuawan di berbagai disiplin ilmu, menerjemahkan kitab-kitab Yunani Kuno, membangun banyak universitas dan lembaga-lembaga kajian ilmiah. Oleh karena itu, Spanyol menjadi kiblat keilmuan dan peradaban bagi masyarakat Eropa yang berlangsung berabad-abad lamanya. Itulah risalah peradaban Islam yang termungkiri di ranah Eropa’, ungkap beliau.                
       Terkait hal itu, ada pula pengakuan dari seorang orientalis kelahiran Prancis yang juga pengajar kajian sejarah peradaban timur di Sorbone University;  melalui karyanya yang berjudul ‘Hestoire des Arabes’, LP Eugene Sedillot (1808-1875) memberikan kesak sian bahwa pengaruh peradaban Arab (Islam) menyentuh semua lini kehidupan dan semua dimensi peradaban Eropa modern. Oleh karena itu, kita harus jujur  mengakui   bahwa bangsa Arab adalah guru kita, pembelajaran yang didapatkan bangsa Eropa dari bangsa Arab pada abad pertengahan sungguh tidak ternilai harganya. Mereka telah mentransfer ilmu-ilmu Yunani Kuno dan memberinya anotasi sehingga kita bisa memahami peradaban ilmu Yunani kuno. Mereka banyak menciptakan teori-teori ilmiah sehingga kita mampu bangkit dari keterpurukan abad pertengahan. Mereka menciptakan metodologi berpikir dan teori ilmu logika sehingga kita bisa berpikir konstruktif. Mereka telah mewariskan kepada kita rumus-rumus keilmuan yang mengantar kita pada pencapaian kemajuan seperti yang ada sekarang ini dan akan terus berkembang pada masa yang akan datang.
       Memang, diantara hal yang menarik perhatian dari pergantian peradaban-peradaban adalah bahwa sesungguhnya peradaban yang datang belakangan berdiri di atas peradaban yang lama. Tidak ada suatu peradaban yang berangkat dari nol. Dari situ peradaban Islam memiliki pengaruh sangat besar terhadap peradaban Eropa modern yang datang setelahnya.  Pengaruh peradaban Islam terhadap Eropa mancakup banyak bidang dan mendominasi beberapa sisi hingga mencakup bermacam-macam level kehidupan di Eropa secara umum.
       Kenyataan ini diakui dan disampaikan pula oleh seorang ilmuwan peneliti berkebangsaan Jerman Dokter Piere Bormann yang mengatakan: “Keberhasilan umat Islam mewarnai dunia dalam segala bidang keilmuwan dan kebudayaan sangat jelas terlihat tanpa dapat disangkal lagi.  Bahkan keberhasilan kaum muslimin dalam bidang kedokteran, tidak seorangpun mampu mengingkarinya. Karena ini pulalah, saya terdorong untuk menulis buku berjudul “Kedokteran Islam pada Abad Pertengahan”. Dia menambahkan, “Demi ilmu, adalah faktor penting yang mendorong diriku menulis buku ini.  Meskipun aku pengikut agama Nasrani yang berkebangsaan Jerman, namun dalam khazanah intelektual, aku merasa banyak berhutang kepada kebudayaan dan Peradaban Islam”. Dan demikian pula pengakuan Rowelt Briffault, seorang sejarawan berkebangsaan Amerika dalam bukunya berjudul ‘Making of Humanity’ mengatakan, “Tidak satu pun kemajuan peradaban di Eropa kecuali secara meyakinkan dan pasti telah mengambil  dari  kemajuan   peradaban Islam dan sangatlah mungkin  kalau  tidak karena umat Islam,  peradaban  Eropa  modern  tidak  akan muncul  sama sekali”.
          Untuk itu sudah saatnya kita (kaum Muslimin dan komunitas Barat) mencermati pandangan yang diungkapkan oleh seorang Pangeran Charles dalam presentasi kajian keislaman yang disampaikan di Oxford University 27 Oktober 1993 antara lain menyebutkan: “Bila ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini”. 
       Ada dua hal pokok yang diungkap Pangeran Charles dalam pidatonya tersebut, pertama, mengenai utang kebudayaan / peradaban dan kedua, adalah ditutupinya sejarah yang diwarisi kepada mereka. Mengenai utang peradaban, jauh sebelumnya telah ada yang mengingatkan kita semua akan hal tersebut.  Dalam bukunya “Islam and the Arab”, Rom Landau (1899-1974), pemerhati masalah ketimuran di Inggris dan dosen luar biasa di Universitas Columbia serta guru besar di Lembaga Kajian Islam dan Afrika utara di San Francisco menyatakan: Sesungguhnya, peradaban barat sangat berhutang budi kepada peradaban Islam. Jasa besar kaum muslim terhadap bangsa barat, boleh dikatakan pada level yang orang barat tidak akan mampu membalas budi kebaikan, karena besarnya jasa Islam dan kaum muslim.  Dan demikian pula pendapat serupa juga disampaikan oleh Gulliver Costauray sejarawan Perancis melalui bukunya ’Hukum Sejarah’, yang menyebutkan: “Eropa berhutang kepada kondisi yang mem- berikan manfaat pada masa-masa pemikiran Arab.  Telah berlalu empat abad tanpa ada peradaban selain peradaban Arab yang mana para ilmuwan mereka merupakan para pengibar bendera peradabannya dengan sangat kuat”.  Demikian juga hal-nya dengan  Max Fantigo, dalam seminar peradaban Arab Islam di Universitas Bronx Town di Washington tahun 1953 dalam sambutannya antara lain mengatakan, ”Setiap apa yang terlihat di Barat mengukuhkan bahwa Barat telah berhutang kepada peradaban Arab Islam. Sesungguhnya methode riset modern yang pelaksanaannya didasarkan pada observasi, pengamatan dan uji coba, disamping segala sesuatu yang digunakan ilmuwan Eropa dewasa ini, itu tidak lain karena hasil interaksi ilmuwan Eropa dengan dunia Islam melalui Daulah Islam Arab di Andalusia (Spanyol)”, ungkapnya. Akan hal ini pula, Pemikir  Leopold Weiss, seorang Yahudi berkebangsaan Austria mengukuhkan peran Cordova dalam perintisan jalan menuju masa kebangkitan bagi barat. Ia mengatakan, ‘Kita tidak berlebihan ketika kita mengatakan bahwa zaman ilmiah modern yang sekarang kita hidup di dalamnya jalan pertama kali tidaklah dibuka di kota-kota Eropa. Akan tetapi, dibuka kantong-kantong Islam, di Damaskus,Baghdad, Kairo dan Cordova’.
        Untuk itu, tidaklah lengkap statement utang peradaban, apabila tidak disertai pernyataan seorang mantan president Amerika, Richard Nixon, dalam buku terakhirnya sebelum meninggal dunia “Seize the Moment, America Challenges in One Super Power World’, antara lain mengatakan, Barat berhutang besar kepada dunia Islam untuk Renaissance-nya. Adapun mengenai warisan sejarah yang ditutupi terhadap generasi berikutnya, Barat tentunya mesti menyadari, kemana mereka selama 1000 tahun?
        Alkisah, pada tahun 410 M, Alaric, raja Jerman dari suku Visigoth, menyerbu Roma dan menghancurkan kota besar itu dalam amukan yang berlangsung hanya tiga hari. Enam puluh enam tahun kemudian, Romulus Augustus, kaisar Romawi Barat terakhir digulingkan, dan pusat kekaisaran dipindahkan secara sepihak ke Konstanti- nopel.  Bersamaan dengan peristiwa ini, cahaya kehidupan menghilang dari peradaban dan dunia Barat tenggelam dalam zaman kegelapan--zaman tanpa ilmu, sastra atau bahkan kehidupan yang beradab. Baru 1000 tahun kemudian dunia Barat kembali menemukan ilmu-ilmu klasiknya melalui peradaban Arab (Islam) dan berakhirlah kegelapan dunia Barat dengan menyingsingnya fajar baru yang cerah dari munculnya zaman Renaissance.  Setidak-tidaknya seperti itulah ceritanya. Lalu dalam kurun waktu 1000 tahun tersebut apa yang sebenarnya terjadi? 
         Jika kita masuk mesin waktu menuju kurun pertengahan sekitar abad ke-10 Masehi dan terbang menyusuri kota-kota dunia Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan tercengang melihat perbedaan besar antara kedua belahan dunia itu. Kita akan melihat dunia yang penuh dengan kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan dunia lain yang primitif, tak mengenal ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat.  Dalam buku ‘ Sejarah Umum’ karya Lavis dan Rambou dijelaskan, Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga abad ke-10 M merupakan negeri tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu kasar tidak dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun di dataran rendah, berpintu sempit, tidak terkunci kokoh dan dinding serta temboknya tidak berjendela.  Kala itu Eropa penuh dengan hutan belantara. Sistem pertaniannya terke belakang.  Dari rawa-rawa di pinggiran kota, tersebar bau-bau busuk yang menyengat. Rumah-rumah di Paris dan London dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jerami dan bambu. Rumah-rumah itu tidak berventilasi dan tidak punya kamar-kamar yang teratur. Permadani sama sekali belum dikenal di kalangan mereka. Mereka juga tidak punya tikar, kecuali jerami-jerami yang ditebarkan di atas tanah. Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau busuk yang meresahkan. Satu keluarga semua anggotanya (laki-laki, perempuan dan anak-anak)  tidur  di satu kamar  bahkan
seringkali binatang piaraan dikumpulkan bersama mereka. Tempat tidur mereka berupa sekantung jerami yang di atasnya diberi sekantung bulu domba sebagai bantal. Jalan-jalan raya tidak ada saluran air, tidak ada batu-batu pengeras dan lampu. Begitu lah keadaan bangsa Barat pada abad pertengahan sampai abad ke-11 Masehi, menurut pengakuan para sejarawan mereka sendiri.
        Kenyataan bahwa hanya segelintir masyarakat Barat yang mengetahui dan menyadari akan utang kebudayaan dan peradaban tersebut, yang diakibatkan dari ditutupinya sejarah yang mereka warisi, disebut oleh Michael Hamilton Morgan dari Morgan Foundation of Peace sebagai “sejarah yang hilang”. Sejarawan Jack Goody lebih jauh lagi menyebutnya sebagai “pencurian sejarah”. Sesungguhnya, bangsa Arab bukan hanya menyelamatkan peradaban Yunani dari kepunahan dengan menyusun dan menatanya kembali kemudian menghadiahkannya kepada bangsa barat. Namun, mereka juga merupakan peletak dasar metode praktik dalam ilmu kimia, fisika, geometri, geografi, geologi, ilmu sosial, dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, bangsa Arab baik secara individu maupun kelompok juga telah berhasil menciptakan temuan-temuan baru di berbagai disiplin keilmuan. Akan tetapi, temuan-temuan brilian mereka dicuri dan diklaim sebagai hasil penemuan para pencurinya. Terkait hal ini, Montgomery Watt guru besar studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh  dalam pengantar bukunya berjudul: ‘The Influence of Islam on Medieval  Europe’ menyampaikan sebuah kenyataan yang tidak ditemukan pada diri masyarakat Eropa saat kebangkitan mereka (1100 M).  Saat bangsa Eropa bangkit dari tidur panjang mereka, banyak karya yang dihasilkan oleh anak bangsa ini, tetapi mereka sadur dari karya para pemikir Arab Islam tanpa menyebut literatur maupun menyebut penulis aslinya (plagiat).
        Bukan rahasia lagi, bahwa pencurian karya cipta terburuk pernah terjadi pada ilmuwan besar Islam semisal Ibnu Nafis, yang menemukan ‘Pulmonar Circulation’ (peredaran sel-sel darah kecil), yang telah dikemukakannya secara mendetil dalam kitabnya ‘Syarah Tasyrih Al-Qanun’. Kebenaran ini ditutup-tutupi pada masa yang cukup panjang, dan kemudian secara tiba-tiba penemuan tersebut dinisbatkan pada dokter Inggris William Harvey (1578-1657) yang membahas dan mengkaji masalah peredaran darah sesudah wafatnya Ibnu Nafis lebih dari tiga kurun generasi. Orang-orang terus menerus dalam prasangka yang seperti itu sampai terkuaklah faktanya oleh Dokter Muhyiddin At-Tathawi dari  Mesir setelah  menemukan naskah dari manuskrip kitab ‘Syarah Tasyrih Al-Qanun’ di perpustakaan Berlin dalam rangka menyiapkan disertasi doktornya di bidang ini pada tahun 1924 M.  Adapun fakta lainnya, adalah  apa yang diungkapkan oleh  Sigrid  Hunke (1913-1999),  orientalis terkemuka Jerman dalam bukunya berjudul “Allah ist Ganz Anders” antara lain menyebutkan: ‘Meski manuskrip-manuskrip Arab yang sangat berharga sengaja dibakar hangus oleh para ilmuwan barat setelah semuanya diterjemahkan dalam bahasa latin dan Eropa, jasa-jasa besar bangsa Arab tidak akan pernah bisa dimungkiri. Sejarah mencatat kehebatan keilmuan bangsa Arab. Sebaliknya sejarah juga mencatat perilaku licik dan keji mereka yang mencuri ilmu-ilmu bangsa Arab. Kenapa disebut pencuri? Karena mereka menyadur temuan-temuan ilmiah para ilmuwan Arab lalu menglkaim sebagai temuan diri mereka sendiri. Michael Claussius, misalnya, dia mengklaim diri penemu teori termodinamika, padahal jelas-jelas dia menyadur dari temuan ilmuwan Arab tanpa menyebut nama si penemu atau menyebut literatur rujukan yang sebenarnya’.  Fakta yang lain adalah apa yang kita dapati dalam buku Roger Bacon (ahli filsafat dari Inggris) yang berjudul ‘Cepus Majus’ dengan perincian yang sempurna, yaitu bagian kelima, tak lain hanyalah terjemahan secara harfiyah dari buku ‘Al-Manazhir’ karya Ibnu Haitsam. Hal itu tanpa menyebutkan sumber atau pengarang asli dari bab yang diterjemahkan. Demikian pula halnya dengan para ilmuwan barat lainnya juga melakukan hal yang sama.
         Oleh sebab itu, kiranya kita sepakat bahwa tidaklah perlu membanggakan diri sendiri dan mengklaim bahwa ilmu yang berkembang hingga saat ini adalah milik dan temuan pihak Barat secara absolut, sebagaimana yang disampaikan Girolamo Cardano seorang profesor terkenal dari Bologna pada tahun 1500-an, bahwa tidak ada agama yang memiliki monopoli atas sains atau filsafat.  Memang benar adanya, semua ilmu yang ada di seantero jagat ini adalah ilmu milik Allah Swt, sebagaimana disebutkan  oleh dr. H . Muhammad TH dalam bukunya berjudul ‘Kedudukan Ilmu Dalam Islam’ bahwa ‘Al-Qur’an merupakan refleksi dasar dari Ilmu Allah yang dibutuhkan manusia jika ia ingin berinterksi dengan sesama ciptaan-ciptaan Allah secara optimal’. Penjelasan ini didasarkannya pada Firman Allah, surat: Luqman ayat 27 yang berbunyi sbb: “Dan seandainya seluruh pohon yang ada di muka bumi dijadikan pena dan seluruh lautan menjadi tintanya, kemudian sesudah kering habis digunakan ditambahkan lagi tujuh lautan, niscaya tidak akan habis-habisnya, dituliskan ‘Ilmu Allah’.  Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
        Dengan demikian, layaklah kita bersepakat bahwa tidak satu peradaban-pun boleh mengklaim ilmu pengetahuan adalah milik mereka. Dalam sains, teknologi maupun filsafat sebagai misal, Islam pertama kali meminjam—dengan menyebut beberapa diantaranya yang terpenting—dari Yunani, cina, India, dan ilmu Persia, dan selanjutnya mengembangkan sains tersebut guna menghasilkan ilmu universal pertama dalam sejarah peradaban yang benar-benar bersifat global dari segi sifat maupun cakupannya dan kemudian memberi pengaruh yang besar terhadap lahirnya Renaisance Eropa dan lahirnya ilmu modern di Barat.
       Jadi seluruh umat manusia dimuka bumi ini, mempunyai andil dan sumbangan atas perjalanan peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dimaksud. Kemajuan dalam pemahaman kita tentang dunia ini terjadi pada saat para ilmuwan menyerap pengetahuan terbaru dalam bidang seperti fisika atau biologi kemudian memodifikasi dan mengembangkannya. Mereka bekerja seperti atlet lari estafet, menyerahkan tongkat pembelajaran dari satu ilmuwan ke ilmuwan lainnya. Sains modern, yang dianggap sebagai mahkota peradaban Barat modern, meraih tempatnya setelah beberapa kali pengoperan tongkat. Tongkat tersebut sampai ditangan ilmuwan Eropa dari para ilmuwan dunia non-Barat. Para ilmuwan non-Barat itu adalah termasuk mereka yang hidup di kebudayaan Islam dalam rentang waktu 800 tahun mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-16.
         Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwasanya ilmu pengetahuan di seantero jagad raya ini adalah kepunyaan Allah semata, maka Allah telah menggilirkan keikut- sertaan segenap umat manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban manusia. Hal ini telah dijanjikan Allah melalui firmanNya: “....; wa tilka al-ayyaamu nudaawi-luhaa bainan-naasi wa li ya’lama Allaahu allaziina aamanu; ..” (QS: Ali Imran:140) yang artinya: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)“. Realitas kehidupan menunjukkan bahwa dalam hidup ini ada kemajuan dan kemunduran, ada kemenangan dan kekalahan, demikian halnya dengan peradaban suatu bangsa juga mengalami pasang surut serupa.
        Jadi, kita umat Islam yang sedang mengalami kevakuman/stagnan, sangatlah tidak beralasan bila mendiskriditkan ajaran Agama yang seolah-olah menjadi penyebab kemunduran, dimana ajaran agama tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman modern saat ini,  jadi perlu di reformasi / disesuaikan. Sebagaimana pihak Barat dapat mencapai  kemajuan pesat, setelah mereka menyingkirkan segala sesuatu yang berbau agama dari kehidupan yang sebenarnya, yakni kehidupan duniawi, menurut mereka. Sehingga pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ‘Intelektual Muslim’ beramai-ramai ingin mengadakan pembaharuan dengan berbagai cara dan upaya agar agamanya menyingkir dari kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Mereka merasa malu dan inferior terhadap ajaran agamanya yang dianggap sudah usang.
        Di Indonesia misalnya, keinginan itu telah melahirkan kelompok atau pemikiran yang disebut Modernisme Islam, neo-modernisme, Islam and civil society, Post tradisionalisme Islam, Islam Liberal, Islam Moderat, Islam Realitas, Islam Humanis, dan masih banyak lagi. Semuanya berlomba-lomba menghadirkan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan nilai-nilai dan institusi liberal-Barat seolah-olah tidak pernah mengetahui pernah ada yang namanya peradaban Islam. Padahal, sebagaimana kita ketahui, pandangan tentang Islam dari sebagian komunitas barat sendiri seperti apa yang disampaikan oleh  seorang pemikir besar dan pakar hukum Prancis kontemporer:  Marcel A. Boisard, dalam bukunya berjudul ‘Humanism in Islam’ antara lain menyebutkan: “Nilai-nilai ajaran Al-Qur’an beserta tata laksana kehidupan yang disyariatkan Islam sangat relevan diterapkan pada zaman ini dan sangat pas diterapkan untuk membangun masyarakat ideal pada zaman modern ini, dan juga selaras dengan realitas kehidupan manusia serta sejalan dengan pranata kehidupan manusia sepan- jang masa”.  Demikian juga, Emile Dermenghem orientalis kelahiran Prancis melalui bukunya berjudul ’La Vie De Mohamet (Kehidupan Muhammad) antara lain menyatakan: “Apa yang dituturkan Muhammad—meski untuk merespons permasalahan manusia pada zamannya—sejatinya adalah nasihat untuk kemanusiaan universal, kapan pun dan dimana pun. Sebab, Kandungan Al-Qur’an selalu relevan dengan keadaan dan permasalahan umat manusia di altar kehidupan ini hingga hari Akhir kelak” ungkapnya lebih lanjut !
         Semoga melalui diskusi sederhana ini, kita dapat meraih kembali kemurnian ke-Islaman kita sebagaimana yang telah digambarkan oleh pihak-pihak non Muslim yang justru mampu melihat secara jernih betapa luhurnya ajaran murni dari Islam yang  mereka peroleh dari pembelajaran dan penelitian yang mendalam terhadap khazanah ke-Islaman. Memang bisa dimengerti, dari perjalanan sejarah umat Islam yang cukup panjang, telah banyak terjadi perubahan-perubahan persepsi yang membuat umat menjadi cenderung ekstrim ke kanan ataupun ekstrim ke kiri. Dimana semestinya umat Islam mengemban misinya sebagai “Ummatan Wasathan” satu dan lain mengingat konsep agama Islam sendiri sejak turunnya, merupakan agama Pertengahan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan serta menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sambil mempersiapkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
         Untuk itu, kita umat Islam harus bangkit meraih kembali kepercayaan diri agar kita bisa hidup sejajar/setara dengan bangsa manapun di jagat raya ini, karena apa saja yang telah diraih di abad modern ini tidak terlepas dari andil besar umat Islam didalamnya. Adalah juga Mulyadhi Kartanegara (Direktur Center for Islamic Philoso-phical Studies and Information/CIPSI) dan Juftazani dalam sebuah artikel di harian tebitan Ibukota, menyebutkan bahwa: Diakui atau tidak, jika Islam tidak muncul ke permukaan bumi di abad ketujuh Masehi maka tidak akan pernah ada, apa yang kita saksikan hari ini, seperti pesawat F- 18 Hornet, komputer, pesawat ulang-alik Challenger atau Soyuz, kulkas, listrik, mobil dan banyak lagi. Bahkan menurutnya, buku-buku filsafat, pada abad kedelapan yang bila tidak digali oleh sarjana-sarjana Muslim dan dipelajari penuh antusias, sampai hari ini boleh jadi masih berupa tumpukan-tumpukan perpustakaan yang sangat tak terurus. Jika naskah-naskah Yunani Kuno itu tak digali dan diselamatkan sarjana Muslim, buku-buku tersebut telah lama musnah. Tapi, sarjana Muslim di abad kedelapan telah membalikkan keadaan dengan mengeluarkannya dari tumpukan lumut dan batu-batu, bahkan mencerahkan kembali pemikiran Aritoteles,  Plato,  Plotinus, Ptolemi, Socrates, dan banyak lagi.    
         Demikian pula pendapat Profesor Zainuddin Sardar, penulis Muslim dari Inggris,   pada saat berkunjung ke Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (5/10/06) mengatakan bahwa, Islam telah berhasil mencapai sebuah kegemilangan dan menjadi acuan masyarakat dunia. Bahkan kemajuan yang dicapai Barat sejak Renaisance hingga sekarang merupakan kemajuan yang dipelajari dari umat Islam. Sebagai contoh:        George Sabila dari Columbia University, misalnya menunjukkan dalam bukunya       ‘Islamic Science and the making of the European Renaissance’ bagaimana ahli        astronomi Polandia Nicolaus Copernicus menggunakan hasil karya ahli astronomi Islam sebagai dasar dari penemuan barunya pada tahun 1514 bahwa, Bumi mengelilingi Matahari. Intinya, dapat dikatakan bahwa tak ada Barat tanpa Islam. Sebab pada kenyataannya, sejarah menunjukkan bahwa perkembangan peradaban Barat berdasar pada peradaban yang dikembangkan oleh umat Islam, ungkapnya.
        Yang terakhir,  penulis ingin menyampaikan  pandangan dari guru besar Universitas Ummul Qura Makkah Arab Saudi Prof Muhammad Jamil al-Khayyat seusai pembukaan seminar internasional “Islamisasi Sains” di Jakarta tanggal 13 Juli 2012. Beliau menjelaskan, Islam datang dengan ilmu, Allah Swt dalam kitab suci Al-Qur’an maupun melalui hadis Rasulullah Saw menyuruh umat Islam untuk mempelajari ilmu seluruhnya tanpa ada perbedaan. Islam itu agama ilmu, dalil untuk itu adalah firman Allah Swt lima ayat pertama pada surah ‘Al-Alaq’. Ayat-ayat tersebut, menurut al-Khayyat, menunjukkan bahwa ilmu adalah dasar dalam Islam. Allah Swt juga memberikan kedudukan yang sangat mulia kepada orang-orang yang berilmu. “Sungguh orang-orang yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya adalah ulama”. Ulama yang dimaksud disini ungkap beliau, adalah ahli pertanian, hewan, nabati, lingkungan, dan tambang. Jadi semua ini adalah ilmu Islam; Inilah yang ingin kita jelaskan melalui seminar internasional ini, bahwa Islam adalah Agama ilmu...!!!    Wassalam...


                                                                    ==@==