ISLAM AGAMA PERTENGAHAN
......
Muslim, Ummatan Wasathan !
Salah satu dari tiga poin
resume “Deklarasi Jakarta” yang merupakan hasil dari Konferensi ‘Summit Of Word
Muslim Leaders’, adalah: Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian
dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati
kehidupan dan martabat manusia. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, bahwa
Islam adalah Agama moderat (pertengahan) yang cinta damai, anti kekerasan, dan
tidak anti kemajuan.
Benar, bahwa Islam sangat menekankan prinsip
keseimbangan. Ketika ide pertengahan diterapkan kepada manusia, maka ia
memiliki konotasi keseimbangan, equilibrium dan keadilan. Konsekuensinya,
identitas peradaban Islam dicirikan dengan perimbangan, equilibrium dan
keadilan. Bahkan dengan itu pula Allah tegakkan pilar langit, sebagaimana
firmanNya: “...dan langit, Dia telah
meninggikannya dan Dia letakkan neraca (keadilan). Agar supaya engkau tidak
melampaui batas neraca itu.” (QS.Ar-Rahmaan:7-8).
Sebagai agama pertengahan, Islam tidak mematikan akal
ataupun menuhankannya. Batas antara akal yang benar dan yang tidak adalah
wahyu. Wahyu ibarat bingkai yang mengemas akal agar tidak jatuh ke salah satu
titik ekstrim. Dengan keadialan ini Islam telah mengukir sejarah emas di pentas
sejarah.
Sejarah Yunani menjadi tonggak sejarah
terpenting praktik penuhanan rasio. Para filsuf Yunani mencoba menjawab semua
kegelisahan manusia dengan rasio. Mereka berfikir dan menurunkan teori-teori
tentang teologi, rasa, sains, logika, alam, materi, jiwa, kesehatan, seni,
etika, politik, hukum, dan sebagainya. Walau begitu, wajib di catat, budaya
Yunani tidak otomatis bebas dari konsep dewa-dewi dan ritus-ritus yang
dibuat-buat.
Para pakar Islam di masa awal memang
merupakan penerus ilmuwan Yunani, tetapi mereka mengisinya dengan ruh keislaman
dan dari itu mereka ciptakan penemuan-penemuan baru yang orang mau tak mau
mengakuinya sebagai ‘produk’ Islami karya pakar Muslim. Dan orang-orang barat
tidak dapat mengklaim begitu saja bahwa mereka meneruskan kegiatan keilmuan
mereka dengan menyedot ilmu orang-orang Yunani secara langsung. Mereka harus
mengakui peranan pakar Islam sebagai pengembang dan pencipta.
Pakar-pakar Muslim masa awal mampu mencapai
keberhasilan karena pertama sekali mereka menghayati keislaman mereka dengan
sebaik-baiknya. Al-Qur’an dan sunnah Rasul, mereka jadikan pangkal gerak hidup
mereka sepenuhnya. Dengan begitu maka kiprah mereka akan sepenuhnya Islami.
Adalah merupakan fakta yang tidak bisa
dibantah bahwa Barat telah belajar banyak hal tentang agama-agama Timur melalui
Islam. Islam berperan sebagai jembatan peradaban antara Barat dan Timur serta
Utara dan Selatan. Kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan
agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Menjadi perekat antara
pemeluk agama yang telah menjadikan “kehidupan dunia” bagai segala-galanya,
tidak mempercayai lagi hari akhir serta menjadikan materi diatas
segala-galanya, sedangkan pemeluk agama lainnya, telah menjadikan para
pemeluknya sebagai rahib-rahib, dan tidak lagi memperdulikan kehidupan duniawi.
Hal
ini juga merupakan satu kesaksian dari komunitas
Barat, sebagaimana yang disampaikan oleh
David de Santillana (1845-1931) seorang orientalis berdarah Italia melalui salah satu karyanya berjudul ‘ Hukum dan
Masyarakat’, dalam satu bab menyatakan : “Ajaran Islam meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu
yang telah tereduksi dari jalur kebenaranNya. Bahkan lanjutnya, ajaran
Al-Qur’an menuntun kembali kepada kepercayaan murni dan luhur, sebagaimana yang
diajarkan para Nabi dan para kekasih Tuhan pada masa lalu (Nuh dan Ibrahim)
yang dijauhi dan direduksi kaum Nasrani dan Yahudi. Ayat-ayat Al-Qur’an juga
meluruskan semua paham salah yang mereka sebarkan serta mengembalikannya kepada
kemurnian ajaran, sebagaimana yang telah disampaikan Nuh dan Ibrahim pada masa
lalu. Lebih lanjut beliau menggaris
bawahi bahwa : Ayat-ayat Al-Qur’an juga mengoreksi dan meluruskan paham salah
yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci
yang diajarkan Musa dan Isa serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran yang
disampaikan Musa dan Isa”.
Agama
Islam datang menjadi penengah antara keduanya, tidak membenarkan orang hidup
serba menahan diri, juga tidak membenarkan ‘ibahiyah’ atau hidup serba boleh;
Dan juga tidak meninggalkan akhirat serta tidak mengabaikan duniawi,
sebagaimana firman Allah berikut ini: “Atas
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, carilah kebaha- giaan negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
(QS.Al-Qashash:77). Islam datang menyapa manusia melalui akal yakni penggunaan rasio
dan intuisi secara bersamaan. Dan dengan ke-universalannya; Dia mengatur segala
sendi kehidupan manusia. Islam juga
merupakan agama yang bersumber dari Tuhan, dan berorientasi pada manusia. Dan
sebagai agama yang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin)
serta untuk kedamaian, umat manusia merasa ‘ditantang’ untuk mampu merespons
persoalan kemanusiaan yang tengah menjadi harapan besar umat manusia pada masa
kini.
Adalah takdir Islam untuk menjadi “bangsa
tengah” bukan hanya dalam pengertian geografis, tetapi juga dalam pengertian
teologi, budaya dan peradaban. Dan sisi makna literalnya, kata “wasathan” mengacu kepada lokasi geografis dunia Muslim
yang berada di pertengahan, antara Cina, Korea, dan Jepang pada sisi timur dan Eropa
pada sisi barat; antara Rusia di bagian utara dan sub-sahara Afrika dan
Australia di bagian selatan. Yang dimaksud dengan “Dunia Muslim” adalah bagian
bumi yang mayoritas ditempati oleh masyarakat pemeluk agama Islam, yang
terbentang dari Maroko di ujung barat hingga Merauke (Indonesia) di ujung
timur, Rusia di bagian utara hingga Comoro di lautan India di bagian selatan.
Singkat kata, secara geografis, dunia Muslim merupakan jembatan antara Timur
dan Barat. Juga antara Utara dan Selatan.
Gagasan Islam sebagai “bangsa tengah” bukan
merupakan pemikiran yang muncul belakangan atau penemuan belakangan yang muncul
setelah Islam menjadi suatu kerajaan, suatu agama dunia, dan peradaban dunia.
Gagasan ini bisa ditemukan dalam kitab suci Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an.
Ketika Al-Qur’an masih diwahyukan secara parsial di Makkah, ketika pula
komunitas dan negara Muslim pertama di Madinah belum berdiri, Allah telah menggambarkan
keimanan baru, dan para pengikutnya disebut sebagai “ummatan wasathan”, yang
berarti ‘bangsa atau komunitas tengah’ atau orang-orang yang mengambil jalan
tengah.
Umat pertengahan (Ummatan Wasathan)
“Wa
kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatal li takuunuu syuhadaa ’a’alan naasi;....”
yang artinya: “ Demikian Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (QS.Al-Baqarah: 143). Menurut Yusuf Qardhawi, umat pertengahan
adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan
tengah, bersikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap
kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
Mengambil
jalan tengah dapat dimaknai pula selalu bersikap proporsional (I’tidal), tidak
berlebih-lebihan (israf). Tidak melampaui batas (ghuluw), tidak sok pintar atau
sok konsekuen dan juga tidak bertele-tele (tanathu), serta tidak mempersulit
diri (tasydid). Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal
ekstrim seperti fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui
pendapat-pendapat lain, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah,
memperberat yang tidak pada tempatnya, sikap kasar dan keras dalam berdakwah,
berburuk sangka atau memandang orang lain dengan ’kacamata hitam’.
Dengan
demikian, sebagai umat pertengahan umat tidak berlebih-lebihan atau melampaui
batas dalam segala hal, termasuk ibadah ritual (misalnya sampai meninggalkan
kehidupan duniawi) serta dalam peperangan sekalipun (QS.Al-Baqarah: 190). Tidak
membesar-besarkan masalah kecil, mendahulukan yang lebih penting ketimbang yang
kurang penting, berbicara seperlunya serta tidak terlalu panjang membaca
ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
Rasulullah
Saw bersabda, “Hindarkanlah darimu sikap melampaui batas dalam agama, karena
sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya “ (HR Ahmad, Nasa‘I,
Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah Bin Abbas). Meneladani golongan yang selamat adalah
golongan Rasulullah Saw, karena Rasulullah Saw telah bersabda: “Golongan yang
selamat dariNya hanya satu; para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah siapakah
mereka? Nabi Saw bersabda ”Ahlus sunnah wal jama’ah” Sahabat bertanya kembali
siapakah golongan tersebut ? Nabi
bersabda : ” Apa yang aku dan para sahabatku tempuh” (HR. Tirmidzi). Mereka
tidak pernah mengambil dunia untuk dunia tetapi untuk agama. Mereka tidak
pernah meninggalkan dan menghindari dunia secara total. Mereka tidak pernah
terjebak ke dalam tafrith
(berlebih-lebihan) ataupun ifrath (sangat kurang) dalam sesuatu. Tetapi
mereka senantiasa seimbang yaitu adil dan pertengahan antara dua sisi yang
merupakan perkara paling dicintai Allah.
Bila
kita meyakini akan hadis tersebut diatas, kiranya sudah sepatutnya kita kembali
meneladani apa yang Rasul beserta para sahabatnya laksanakan. Periode
Rasulullah Saw, yakni suatu masa ketika Rasul masih hidup, pastilah ajaran
Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat benar dengan petunjuk Al-Qur’an
dan Al-Sunnah dan tidak menyimpang sedikitpun. Khususnya oleh pribadi Rasul Saw
sebagai suri-teladan yang terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahiah. Juga
oleh para sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasulullah Saw.
Amaliah
Rasulullah Saw, mustahil jika sampai menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Karena
amaliah inilah yang bakal di teladani oleh para sahabat dan umat berikutnya. Namun
priode berikutnya, Islam seakan-akan telah berhenti sebagai kekuatan pemersatu
umat dan bahkan merana dan menjadi tawanan di tangan pemeluknya. Inilah di
antara tragedi yang memilukan yang masih berlangsung di depan pelupuk mata kita
semua. Apa yang diingatkan Rasul berabad-abad yang lalu kembali kita rasakan
benar sekarang ini; Berkata Rasul : ” Ya Tuhan-ku, sesungguhnya kaumku telah
mengabaikan Al-Qur’an ini ” .
Pertanyaannya adalah : Apakah kotak-kotak
sunni, syi’i, khawarij, dan sub-sub yang lahir dari rahim mereka yang telah
banyak menumpahkan darah sesama Muslim dalam bilangan abad sampai hari ini,
adalah sesuatu yang sah dilihat dalam perspektif Al-Qur’an? Bukankah semuanya
adalah buatan sejarah yang tidak boleh ‘diberhalakan’, sebab di masa Rasul
kotak-kotak itu tidak pernah muncul ! Hal ini tentunya karena di masa itu Rasul
dan para sahabatnya, masih berpegang teguh terhadap firman Allah berikut ini :
“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Rum :
31-32).
Semua
orang kiranya sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian, kerukunan,
persamaan, dan keadilan. Kekerasan (kecuali dalam hal perang fisik dan
mempertahankan aqidah), diskriminasi, adalah larangan Tuhan. Dalam hal teologi,
Tuhan adalah satu, Nabi Muhammad adalah sebagai media antara manusia dan Tuhan,
Rasul dan Al-Qur’an merupakan sumber Hukum, ajaran, dan moral, baik di ranah
teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik temu diantara pemahaman
kita yang berbeda-beda tentang Islam; Sebagaimana
juga pernah diungkap oleh Dr. Mahathir Mohamad pada suatu kesempatan di KTT OKI
ke-10 di Malaysia sbb: “ Selama kurang lebih 1.400 tahun, pemahaman Islam, ajaran
yang satu, tapi diartikan berbeda-beda oleh umat Islam sendiri”. Semoga di
hari-hari mendatang, kita di persatukan kembali oleh Allah Swt dalam satu wadah
“Ummatan wasathan”. InsyaAllah...!!!
==@==