Senin, 07 Oktober 2013

ISLAM AGAMA PERTENGAHAN ...... Muslim, Ummatan Wasathan !



ISLAM  AGAMA PERTENGAHAN ......
           Muslim, Ummatan Wasathan !        
      
    Salah satu dari tiga poin resume “Deklarasi Jakarta” yang merupakan hasil dari Konferensi ‘Summit Of Word Muslim Leaders’, adalah: Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, bahwa Islam adalah Agama moderat (pertengahan) yang cinta damai, anti kekerasan, dan tidak anti kemajuan.
        Benar, bahwa Islam sangat menekankan prinsip keseimbangan. Ketika ide pertengahan diterapkan kepada manusia, maka ia memiliki konotasi keseimbangan, equilibrium dan keadilan. Konsekuensinya, identitas peradaban Islam dicirikan dengan perimbangan, equilibrium dan keadilan. Bahkan dengan itu pula Allah tegakkan pilar langit, sebagaimana firmanNya:  “...dan langit, Dia telah meninggikannya dan Dia letakkan neraca (keadilan). Agar supaya engkau tidak melampaui batas neraca itu.” (QS.Ar-Rahmaan:7-8).
        Sebagai  agama pertengahan, Islam tidak mematikan akal ataupun menuhankannya. Batas antara akal yang benar dan yang tidak adalah wahyu. Wahyu ibarat bingkai yang mengemas akal agar tidak jatuh ke salah satu titik ekstrim. Dengan keadialan ini Islam telah mengukir sejarah emas di pentas sejarah.
       Sejarah Yunani menjadi tonggak sejarah terpenting praktik penuhanan rasio. Para filsuf Yunani mencoba menjawab semua kegelisahan manusia dengan rasio. Mereka berfikir dan menurunkan teori-teori tentang teologi, rasa, sains, logika, alam, materi, jiwa, kesehatan, seni, etika, politik, hukum, dan sebagainya. Walau begitu, wajib di catat, budaya Yunani tidak otomatis bebas dari konsep dewa-dewi dan ritus-ritus yang dibuat-buat.
        Para pakar Islam di masa awal memang merupakan penerus ilmuwan Yunani, tetapi mereka mengisinya dengan ruh keislaman dan dari itu mereka ciptakan penemuan-penemuan baru yang orang mau tak mau mengakuinya sebagai ‘produk’ Islami karya pakar Muslim. Dan orang-orang barat tidak dapat mengklaim begitu saja bahwa mereka meneruskan kegiatan keilmuan mereka dengan menyedot ilmu orang-orang Yunani secara langsung. Mereka harus mengakui peranan pakar Islam sebagai pengembang dan pencipta.
        Pakar-pakar Muslim masa awal mampu mencapai keberhasilan karena pertama sekali mereka menghayati keislaman mereka dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an dan sunnah Rasul, mereka jadikan pangkal gerak hidup mereka sepenuhnya. Dengan begitu maka kiprah mereka akan sepenuhnya Islami.
       Adalah merupakan fakta yang tidak bisa dibantah bahwa Barat telah belajar banyak hal tentang agama-agama Timur melalui Islam. Islam berperan sebagai jembatan peradaban antara Barat dan Timur serta Utara dan Selatan. Kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Menjadi perekat antara pemeluk agama yang telah menjadikan “kehidupan dunia” bagai segala-galanya, tidak mempercayai lagi hari akhir serta menjadikan materi diatas segala-galanya, sedangkan pemeluk agama lainnya, telah menjadikan para pemeluknya sebagai rahib-rahib, dan tidak lagi memperdulikan kehidupan duniawi.           
       Hal ini juga merupakan satu kesaksian dari  komunitas Barat,  sebagaimana yang disampaikan oleh David de Santillana (1845-1931) seorang orientalis berdarah Italia melalui  salah satu karyanya berjudul ‘ Hukum dan Masyarakat’, dalam satu bab menyatakan : “Ajaran Islam  meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaranNya. Bahkan lanjutnya, ajaran Al-Qur’an menuntun kembali kepada kepercayaan murni dan luhur, sebagaimana yang diajarkan para Nabi dan para kekasih Tuhan pada masa lalu (Nuh dan Ibrahim) yang dijauhi dan direduksi kaum Nasrani dan Yahudi. Ayat-ayat Al-Qur’an juga meluruskan semua paham salah yang mereka sebarkan serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran, sebagaimana yang telah disampaikan Nuh dan Ibrahim pada masa lalu.  Lebih lanjut beliau menggaris bawahi bahwa : Ayat-ayat Al-Qur’an juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran yang disampaikan Musa dan Isa”.
        Agama Islam datang menjadi penengah antara keduanya, tidak membenarkan orang hidup serba menahan diri, juga tidak membenarkan ‘ibahiyah’ atau hidup serba boleh; Dan juga tidak meninggalkan akhirat serta tidak mengabaikan duniawi, sebagaimana firman Allah berikut ini:  “Atas apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, carilah kebaha- giaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS.Al-Qashash:77). Islam datang menyapa manusia melalui akal yakni penggunaan rasio dan intuisi secara bersamaan. Dan dengan ke-universalannya; Dia mengatur segala sendi kehidupan manusia.  Islam juga merupakan agama yang bersumber dari Tuhan, dan berorientasi pada manusia. Dan sebagai agama yang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin) serta untuk kedamaian, umat manusia merasa ‘ditantang’ untuk mampu merespons persoalan kemanusiaan yang tengah menjadi harapan besar umat manusia pada masa kini.
        Adalah takdir Islam untuk menjadi “bangsa tengah” bukan hanya dalam pengertian geografis, tetapi juga dalam pengertian teologi, budaya dan peradaban. Dan sisi makna literalnya, kata  “wasathan”  mengacu kepada lokasi geografis dunia Muslim yang berada di pertengahan, antara Cina, Korea, dan Jepang pada sisi timur dan Eropa pada sisi barat; antara Rusia di bagian utara dan sub-sahara Afrika dan Australia di bagian selatan. Yang dimaksud dengan “Dunia Muslim” adalah bagian bumi yang mayoritas ditempati oleh masyarakat pemeluk agama Islam, yang terbentang dari Maroko di ujung barat hingga Merauke (Indonesia) di ujung timur, Rusia di bagian utara hingga Comoro di lautan India di bagian selatan. Singkat kata, secara geografis, dunia Muslim merupakan jembatan antara Timur dan Barat. Juga antara Utara dan Selatan.
       Gagasan Islam sebagai “bangsa tengah” bukan merupakan pemikiran yang muncul belakangan atau penemuan belakangan yang muncul setelah Islam menjadi suatu kerajaan, suatu agama dunia, dan peradaban dunia. Gagasan ini bisa ditemukan dalam kitab suci Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an masih diwahyukan secara parsial di Makkah, ketika pula komunitas dan negara Muslim pertama di Madinah belum berdiri, Allah telah menggambarkan keimanan baru, dan para pengikutnya disebut sebagai “ummatan wasathan”, yang berarti ‘bangsa atau komunitas tengah’ atau orang-orang yang mengambil jalan tengah.

Umat pertengahan (Ummatan Wasathan)
        “Wa kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatal li takuunuu syuhadaa ’a’alan naasi;....” yang artinya: “ Demikian Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (QS.Al-Baqarah: 143).  Menurut Yusuf Qardhawi, umat pertengahan adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, bersikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
      Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula selalu bersikap proporsional (I’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf). Tidak melampaui batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan juga tidak bertele-tele (tanathu), serta tidak mempersulit diri (tasydid). Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrim seperti fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, memperberat yang tidak pada tempatnya, sikap kasar dan keras dalam berdakwah, berburuk sangka atau memandang orang lain dengan ’kacamata hitam’.
        Dengan demikian, sebagai umat pertengahan umat tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam segala hal, termasuk ibadah ritual (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) serta dalam peperangan sekalipun (QS.Al-Baqarah: 190). Tidak membesar-besarkan masalah kecil, mendahulukan yang lebih penting ketimbang yang kurang penting, berbicara seperlunya serta tidak terlalu panjang membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
         Rasulullah Saw bersabda, “Hindarkanlah darimu sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya “ (HR Ahmad, Nasa‘I, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah Bin Abbas).  Meneladani golongan yang selamat adalah golongan Rasulullah Saw, karena Rasulullah Saw telah bersabda: “Golongan yang selamat dariNya hanya satu; para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah siapakah mereka? Nabi Saw bersabda ”Ahlus sunnah wal jama’ah” Sahabat bertanya kembali siapakah golongan tersebut ?  Nabi bersabda : ” Apa yang aku dan para sahabatku tempuh” (HR. Tirmidzi). Mereka tidak pernah mengambil dunia untuk dunia tetapi untuk agama. Mereka tidak pernah meninggalkan dan menghindari dunia secara total. Mereka tidak pernah terjebak ke dalam tafrith  (berlebih-lebihan) ataupun ifrath (sangat kurang) dalam sesuatu. Tetapi mereka senantiasa seimbang yaitu adil dan pertengahan antara dua sisi yang merupakan perkara paling dicintai Allah.
        Bila kita meyakini akan hadis tersebut diatas, kiranya sudah sepatutnya kita kembali meneladani apa yang Rasul beserta para sahabatnya laksanakan. Periode Rasulullah Saw, yakni suatu masa ketika Rasul masih hidup, pastilah ajaran Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat benar dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan tidak menyimpang sedikitpun. Khususnya oleh pribadi Rasul Saw sebagai suri-teladan yang terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahiah. Juga oleh para sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasulullah Saw.
       Amaliah Rasulullah Saw, mustahil jika sampai menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Karena amaliah inilah yang bakal di teladani oleh para sahabat dan umat berikutnya. Namun priode berikutnya, Islam seakan-akan telah berhenti sebagai kekuatan pemersatu umat dan bahkan merana dan menjadi tawanan di tangan pemeluknya. Inilah di antara tragedi yang memilukan yang masih berlangsung di depan pelupuk mata kita semua. Apa yang diingatkan Rasul berabad-abad yang lalu kembali kita rasakan benar sekarang ini; Berkata Rasul : ” Ya Tuhan-ku, sesungguhnya kaumku telah mengabaikan Al-Qur’an ini ” .
         Pertanyaannya adalah : Apakah kotak-kotak sunni, syi’i, khawarij, dan sub-sub yang lahir dari rahim mereka yang telah banyak menumpahkan darah sesama Muslim dalam bilangan abad sampai hari ini, adalah sesuatu yang sah dilihat dalam perspektif Al-Qur’an? Bukankah semuanya adalah buatan sejarah yang tidak boleh ‘diberhalakan’, sebab di masa Rasul kotak-kotak itu tidak pernah muncul ! Hal ini tentunya karena di masa itu Rasul dan para sahabatnya, masih berpegang teguh terhadap firman Allah berikut ini : “...dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Rum : 31-32).
        Semua orang kiranya sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian, kerukunan, persamaan, dan keadilan. Kekerasan (kecuali dalam hal perang fisik dan mempertahankan aqidah), diskriminasi, adalah larangan Tuhan. Dalam hal teologi, Tuhan adalah satu, Nabi Muhammad adalah sebagai media antara manusia dan Tuhan, Rasul dan Al-Qur’an merupakan sumber Hukum, ajaran, dan moral, baik di ranah teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik temu diantara pemahaman kita yang berbeda-beda tentang Islam;  Sebagaimana juga pernah diungkap oleh Dr. Mahathir Mohamad pada suatu kesempatan di KTT OKI ke-10 di Malaysia sbb: “ Selama kurang lebih 1.400 tahun, pemahaman Islam, ajaran yang satu, tapi diartikan berbeda-beda oleh umat Islam sendiri”. Semoga di hari-hari mendatang, kita di persatukan kembali oleh Allah Swt dalam satu wadah “Ummatan wasathan”.  InsyaAllah...!!!

                                                                       ==@==











Rabu, 31 Juli 2013

Upaya memperoleh HIDAYAH ALLAH



    
     Setelah sekian tahun bangsa ini mengembara entah kemana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi kabur, ajaran adat berubah menjelma kepingan kaca yang susah disambung kembali. Untuk pulang kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk kembali ke Hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan hidayah (petunjuk) Allah yang dapat mengembalikan ini semua.
       Oleh sebab itu kejarlah hidayah Allah, karena dari sanalah “pertolongan Allah” akan sampai kepada kita, bukankah fase-fase kehidupan kita selama ini semuanya merupakan pertolongan Allah ?
       Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah kita dapat memperoleh hidayah Allah tersebut. Apa wujudnya dan siapa yang berhak memperolehnya? Mengingat tidak semua orang dapat menerima petunjuk dan hidayah dari Allah, sebab petujuk dan hidayah itu hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang dicintaiNya saja sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang terjemahannya kira-kira sbb: “Sesungguhnya Allah Swt memberikan harta kepada orang yang Ia cintai dan orang yang tidak Ia cintai, tetapi tidaklah Ia memberikan agama (hidayah) selain kepada orang yang Ia cintai saja”. Penjelasan Rasul tersebut, nampak erat kaitannya dengan firman Allah yang menyebutkan: “Fa yuzillullaahu many-yashaaa-‘u wa yahdii many- yashaa’, wa huwal- ‘aziizul-hakiim” yang artinya ‘maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi Petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana’ (QS. Ibrahim: 4).
        Bey Arifin dalam karyanya berjudul ‘Mengenal Tuhan’ menyebutkan, orang-orang yang jalan pemikirannya benar, sehingga tindak perbuatanya benar dan baik, orang ini dikatakan mendapat hidayah (petunjuk) dari Allah. Sedang orang yang jalan pemikirannya salah, sehingga tindak perbuatannya salah dan jahat, berarti tidak mendapat petunjuk dari Allah, tetapi mendapat petunjuk atau pengaruh dari syaitan atau iblis. Pendapat tersebut tentunya tidak terlepas dari firman Allah yang menyebutkan: “Many yahdil-laahu fahuwal-muhtadii, wa many-yuzlil fa-‘ulaaa-‘ikahumul-khaasiruun”, yang artinya, ‘Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang berada di jalan yang benar; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf: 178).
        Dari uraian ringkas diatas, dapatlah kita ketahui betapa tinggi nilai petunjuk atau hidayah dari Allah itu. Nikmat pemberian Allah yang paling penting dan paling tinggi nilainya yang diberikan Allah kepada kita manusia, bukanlah nikmat/pemberian berupa makanan dan minuman, harta kekayaan maupun pangkat tinggi, tetapi adalah nikmat atau pemberian berupa hidayah atau petunjuk. Oleh sebab itu, yang harus kita cari dalam hidup ini utamanya adalah petunjuk (hidayah) dari Allah, di samping tentunya kita mencari harta kekayaan atau pangkat/jabatan. Apa artinya kekayaan atau pangkat bila hidup kita tersesat, bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan.
        Karenanya, rasulullah Saw dan orang-orang beriman setiap saat dari kehidupan mereka selalu bermunajat dan bermohon, agar Allah selalu memberikan petunjuk-petunjukNya. Antara lain do’a yang dipanjatkan dalam sehari semalam minimal tujuh belas kali dengan ucapan: “Ihdinas shiraathal-Mustaqiim” : ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’. Ihdinaa (tunjukilah kami), terambil dari kata hidayaat yang mengandung makna bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Dari buku kamus Al-Qur’an karya Hasanain Muhammad Makhluf, ayat 6 surat Al-Faatihah tersebut ditafsirkan juga sebagai: “Berilah kami hidayah (petunjuk) untuk tetap berada pada jalan yang benar dan tidak bengkok, yaitu al-Islam”. Tafsir ini sejalan pula dengan penegasan Allah melalui surat Az-Zumar ayat 23 yang artinya : “Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu (Al-Qur’an) Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya;....”. Lebih lanjut Allah melengkapi penegasan-Nya :  “Dan barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberiNya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas Jalan yang lurus” (QS. Al-An’am: 39). Dengan demikian, ‘Ihdinas shiraathal-Mustaqiim’ tidak lain adalah permohoman kepada Allah Swt agar kiranya diberikan kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an sebagai petunjuk/pedoman dalam rangka mengimani serta mengamalkan ajaran agama yang benar, yakni al-Islam (Jalan yang lurus).
        Dengan mengacu pada ayat 185 surat Al-Baqarah yang menerangkan : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”. Dari penggalan ayat tersebut, dapat kita simak adanya dua hal pokok masing-masing yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan hal lain adalah Al-Qur’an merupakan penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut. Sebagaimana pendapat sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang saling terkait, dapat saling menjelaskan satu sama lainnya. Maka keberadaan tuntunan do’a ‘Ihdinas Shiraathal-Mustaqiim’ kiranya tidak terlepas dari janji Allah kepada hamba-Nya yang tertuang dalam surat Al-Baqarah 269  yang artinya : “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari Firman Allah)”. Sebagaimana kita pahami, selain memberikan hidayah agama, Allah Swt juga memberikan kepada hamba-Nya berupa hidayah garizah (naluri), hidayah hawasi (indera), dan hidayah akal. Keempat hidayah ini bagaikan jalan raya yang dibentangkan di hadapan manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
         Sehubungan dengan itu, apabila seseorang sudah merasa mendapat petunjuk dari Allah, kita masih harus selalu berdo’a agar hati kita jangan sampai membelok dari petunjuk Allah tersebut, mengingat tidak sedikit manusia yang sebenarnya sudah mendapat hidayah (petunjuk) dari Allah, tetapi hatinya lalu membelok dari hidayah itu. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman dan selalu beramal shaleh merasa tidak takut bila kehilangan harta dan jiwa, tetapi mereka sangat takut bila kehilangan hidayah Allah. Dan untuk itu telah ada tuntunan do’a yang harus selalu kita panjatkan : “Rabbana la tuzigh qulubana ba’da izh hadaitana, wa hablana min ladunka rahmatan innaka antal wahhab” (QS. Ali-Imran : 8).

Siapa berhak memperoleh Hidayah
        Akal adalah satu senjata atau kekuatan pemberian Allah yang amat berharga yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama yang sudah dewasa, kecuali bagi yang kurang waras. Dengan dibantu panca indera, akal dapat membedakan antara hitam dan putih, tinggi dan rendah, buruk dan baik, merugikan dan menguntungkan. Bahkan, dengan akal pula manusia sudah berhasil menciptakan alat-alat teknik yang modern dan super canggih sekalipun. Namun sangat disayangkan, kecanggihan teknologi tersebut bukan dimanfaat- kan untuk kemaslahatan (kesejahteraan dan kedamaian) umat manusia secara keseluruhan, namun digunakan untuk membunuh, menzholimi, menjajah serta menguras kekayaan alam bangsa lain secara mudah dan murah. Demikianlah kehebatan manusia dengan pikirannya, dan begitu pula kejelekan manusia dengan pikirannya pula. Oleh sebab itu, di samping adanya akal pikiran, manusia harus mendapat kekuatan atau senjata yang lebih ampuh, tidak lain adalah Hidayah Allah.
         Berhubungan hidayah atau petunjuk itu hanya Allah yang memiliki, maka hanya Allah-lah yang dapat membagi-baginya kepada siapa yang ia sukai/cintai saja. Hal ini jelas terungkap dalam firmanNya : “Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang engkau cintai, tetapi hanya Allah-lah yang dapat memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (hidayah)” (QS. Al-Qashash: 56). Oleh karenanya, bila manusia ingin mendapat petunjuk, ingin keluar dari kesesatan, ia harus terlebih dahulu iman kepada Allah lalu berusaha mejadi orang yang dicintai oleh Allah. Iman dan taqwa terhadap Allah adalah pancing untuk mendapatkan rasa cinta dari Allah.
       Agar dapat menjadi orang yang dicintai Allah, kiranya perlu kita perhatikan ayat 31 dari surat Ali-Imran yang artinya: “Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah / taatilah aku (Muhammad), niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan ayat 32 surat yang sama sbb: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak Mencintai orang-orang yang kafir”.  Jadi tanda-tanda seseorang mencintai Allah adalah :
·         Mentaati perintah Allah.
·         Mentaati perintah Rasulullah.
·         Cintanya terhadap Allah dan Rasul dan jihad fi Sabilillah melebihi cintanya terhadap sanak keluarga dan hartanya.
·         Mencintai sesama manusia karena Allah.
·         Benci terhadap kekufuran.
·         Hanya takut kepada Allah, tidak takut dicela, dibenci, digertak oleh manusia. Bila seseorang telah cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan memenuhi tanda-tanda di atas, maka Allah akan cinta kepadanya. Mencintai dan dicintai Allah, adalah setinggi-tingginya rahmat Iman dan Taqwa.
    
        Andaikan seseorang jatuh cinta terhadap sesamanya, tentunya di dasarkan beberapa sebab. Begitu pula seseorang yang jatuh cinta terhadap Allah, tidak lepas dari faktor-faktor penyebab, diantaranya:
1.      Sering membaca Al-Qur’an dan memahami isi serta maknanya.
2.      Sering taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan menjalankan ibadat-ibadat sunnat sesudah melaksanakan ibadat fardhu.
3.      Memperbanyak Zikir (mengingat Allah) dengan qalbu maupun dengan lidah.
4.      Berusaha menundukkan hawa nafsu yang bertentangan dengan keridhaan Allah.
5.      Sering berkhalwat (bersunyi diri sendiri) menghubungkan sekujur jiwa/perasaan kita dengan Allah, sambil berdo’a atau bermunajat kepadaNya dan mohon ampun serta bertaubat.
6.      Bergaul dengan orang-orang shalih yang menjadi kekasih Allah.
7.      Meninggalkan bincang-bincang yang tak berguna.
8.      Menjauhi segala sebab yang dapat membatasi antara qalbu kita dengan Allah Swt.
9.      Mensyukuri segala nikmat dan rahmat serta kebaikan dari Allah Swt.

         Dengan menjalankan / mengamalkan segala sebab dan hal-hal tersebut diatas, mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberikan peluang dan kemampuan kepada kita untuk mencapai kedudukan cinta dan dicintai oleh Allah Swt. Insya Allah... Amien..!

                                                           ==@ ==    27/1/2013

Minggu, 16 Juni 2013

Waspada SEKULARISME



Waspada  SEKULARISME

      
      “....Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Q s: Al-Ma-idah: 49).

    Ketika dunia makin tidak berjarak dan hampir tanpa sekat, orang begitu mudah untuk berbaur satu sama lain, bahkan dalam tataran global, dengan segala motivasi yang menggerakkannya. Mereka berpotensi menjadi teman sejati yang bisa mendongkrak kesalehan kita, menghaluskan nurani kita, dan meningkatkan spiritualitas kita. Namun, mereka juga bisa menjadi perangkap, pembawa kita ke lubang kenistaan. Bukankah telah banyak pihak yang mencoba menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin, mereka bertujuan hanya untuk memorak-porandakan kekuatan Islam ?
        Jika kita telusuri sejarah perjalanannya, pemikiran keagamaan di indonesia sempat diramaikan, sekadar misal oleh Islam Rasional, Neo Modernisme Islam, Islam Inklusif, Islam Pluralis, dan Islam Substansialis. Lalu, tak lama berselang dan bersamaan dengan era transisi demokrasi dari orde baru ke orde reformasi, wancana ‘Islam Liberal’ juga ramai menyesaki tiap momen perhelatan transaksi ide dan gagasan keagamaan. Dan seiring itu pula mereka berusaha mendukung pemunculan label-label seperti Islam Radikal, Islam Fundamentalis, Islam Formalis, dan Islam Literalis, terhadap pihak / komunitas agama yang ingin menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Hal tersebut mereka lakukan tidak lain hanya untuk melegitimasi gerakan keagamaan yang mereka usung dengan harapan paling tidak untuk mengkatrol, mempromosikan atau mempertahankan kedudukan diri atau kelompoknya didalam pemerintahan yang secara  de facto sangat sekuler ini.
        Pasca renaissance abad 15-16 M, gelombang sekularisasi menjalar hebat di Eropa, ditandai maraknya seruan ‘PHK’ terhadap apapun yang berbau agama. Orang-orang Eropa, merasa telah dikelabui oleh otoritas agamanya. Mereka butuh spirit baru yang lebih rasional, dan filsafat Yunani menjadi pilihan. Uniknya, kemunculan kembali filsafat Yunani kehadapan bangsa Eropa ini dijembatani oleh kerja keras para penggemar filsafat dari Baghdad, dimasa Abbassiyah.
        Umat, saat ini tidak lagi teguh memegang agama Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup, sumber hukum, dan nilai dalam kehidupan. Ajaran Islam telah dinodai sekularisme,  sinkretisme, materialisme, dan isme-isme yang lain. Akibatnya, banyak yang minder dan merasa terhina bila diajak kembali kepada Islam karena telah menganggap hukum dan nilai peradaban Barat lebih unggul.
        Pertanyaannya sekarang, haruskah agama dan negara terpisah ? Amerika Serikat, Australia, Italia, Inggris, dsb mengklaim sebagai negara dimana agama dilarang di invervensi. Namun dalam kenyataannya, spirit keagamaan dalam kehidupan bernegara di Amerika Serikat terbukti tidak dapat secara tegas dipisahkan. Di Inggris agama Kristen Anglikan menjadi agama negara; Di Denmark, seperti juga negara Skandinavia lainnya menyebut secara khusus Kristen Evengelis Lutheran sebagai agama yang mendapat prioritas. Justifikasinya, Denmark tidak ingin menghapus sejarah sebagai negara gereja hanya karena desakan wacana Hak Asasi Manusia; di Norwegia, konstitusinya menyebutkan Negeri itu menganut sistem gereja negara, dan sebagai konskuensi, gereja tunduk di bawah negara;  Di Swedia, meski bukan lagi negara gereja, namun tetap sebuah negeri yang mewariskan kultur Kristen; Di Jerman pun, meski di tengah kehidupan yang sangat sekuler, masih ada beberapa negara bagian (Bremen dan Berlin) yang memberi kavling agama dalam sistem pendidikannya.
       Lalu, bagaimana keadaannya di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan merupakan Muslim terbesar di dunia ?  Memang sangat berbeda, baik dengan negara-negara maju maupun terhadap negara tetangga sekalipun. Negara kita, meskipun pada awal pendiriannya ada pihak yang menginginkan adanya agama negara, namun kenyataannya  hingga saat ini  belum berkehendak atau tetap memandang tidak perlu merumuskan agama negara, sekalipun Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing telah menetapkan Islam, Katholik, dan Budha sebagai agama negara masing-masing. Apakah ini berarti mereka lebih berani dari pemimpin kita atau mereka lebih beriman dari kita ?  Satu hal yang pasti, menurut mantan menag Dr.Tarmizi Taher, telah terjadi ketimpangan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pemahaman dan penghayatan agama. Pemimpin bangsa yang beragama Islam tidak banyak memahami dan menghayati Islam, sedangkan pemimpin Indonesia yang Kristen lebih banyak memahami dan menghayati agamanya.
       Indonesia memang harus banyak belajar. Negara kita mengklaim bukan negara berdasar Islam, tapi secara resmi juga bukan negara sekuler. Namun dalam praktiknya, di negeri yang sebagian besar muslim ini, masalah yang bertentangan dengan prinsip Islam sangat merajalela, seperti korupsi dilaksanakan secara berjamaah di segala penjuru/ lapisan jabatan, maksiat lainnya telah dilaksanakan secara terbuka bahkan dilegalkan. Sampai-sampai Hamzah Haz yang kala itu menjabat sebagai Wapres, dalam pertemuan dengan masyarakat Palangka Raya di Masjid Raya Nurul Islam menegaskan, bahwa identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, sudah hilang. Kondisi kita saat ini boleh dikata (paling) sekuler dari yang sekuler, dan (paling) liberal dari liberal, lanjut beliau (Republika, 10/07/03). Hal ini di perkuat / dilegalisir pula oleh pendapat dari tokoh / kontributor ‘Jaringan Islam Liberal’ yang saat ini menjabat staf khusus Presiden RI, pernah menyatakan bahwa Islam Liberal bisa menerima negara sekular, karena negara sekular dapat menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.
       Islam merupakan akidah yang diyakini sekaligus aturan yang mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan.  Hal ini bukan hanya diyakini oleh umat Islam saja, namun seorang Adam Mez, sejarawan ternama Jerman (1869-1917) memberikan kesaksian melalui karyanya berjudul: ‘Die Renaissance des Islam’ antara lain menyebutkan: “Meskipun Era keemasan Islam dan kaum muslim memang telah berlalu, tetapi sistem  pemerintahan mereka tetap masih hidup hingga sekarang ini. Hal yang lebih menakjubkan lanjut beliau, yakni aturan hukum mereka mencakup semua permasalahan hidup manusia, misalnya hukum hubungan kemanusiaan. Hukum mereka bukan sekadar mengatur prosesi pernikahan, melainkan juga mengatur hak-hak suami-istri dan hak waris (yang di kalangan umat kristiani justru sering menjadi sumber pertikaian). Hukum mereka juga menetapkan untuk bersikap baik dan memberi perlindungan kepada kaum minoritas (dzimmi) atau mereka yang meminta suaka kepada pemerintahan Islam”, jelasnya lebih lanjut. Oleh sebab itu, Islam seharusnya tidak hanya dijadikan agama masjid saja, tetapi juga di kantor-kantor, di pasar, ditengah-tengah masyarakat, dan dimana-pun tempat di muka bumi ini. Islam tidak hanya diajarkan oleh ustadz di mushalla, tetapi Islam harus dihidupkan di tengah-tengah siswa sekolah. Dengan kata lain, Islam tidak hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga sebagai solusi bagi urusan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah Swt melalui surat Al-Baqarah ayat 219-220 yang berbunyi: “ Kazaalika yubaiyyinullaahu lakumul-aayati la’allakum tatafakkaruun fid-dun-yaa wal-aakhirah” yang artinya: “Demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berpikir, tentang dunia dan akhirat”.               
       Hal inilah yang menjadi dasar bagi Rasul kita Nabi Muhammad Saw untuk turun / terjun ke masyarakat menyampaikan pesan-pesan Allah Swt dalam mengarungi kehidupan duniawi-nya. Beliau tidak terjebak dalam kehidupan Rabbaniyah/Rahib-rahib dan tetap tinggal di goa-goa sarat dengan ritual pemujaan, namun beliau setelah menerima wahyu, turun dari goa dan pulang menghampiri umatnya untuk menyampaikan isi wahyu yang diterimanya guna dijadikan panduan dan pedoman dalam mengarungi kehidupan duniawi yang sedang dihadapi mereka. Pemisahan Islam dari pengaturan kehidupan duniawi, berarti umat telah terjebak paham sekularisme / kapitalisme.  Pengaturan kehidupan yang mengutamakan kenikmatan dunia semata tanpa menghiraukan cara memperolehnya (halal atau haram), itulah pola kehidupan hedonisme yang merupakan produk dari paham sakularisme/kapitalisme.  Akan hal ini, sebenarnya Allah telah  mengingatkan kita melalui surat Al-Isra’ ayat 18  yang terjemahannya sbb : “Barang siapa menghendaki hanya kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami  kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami Tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”.                       
       Sejak awal, lahirnya sekularisme tidak pernah berhenti memusuhi agama. Pemikiran sekularisme berawal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para gerejawan demikian mendomonasi semua lapangan kehidupan, bahkan merambah hingga bidang pengetahuan dan teknologi. Namun, dogma gereja memasung kreativitas yang tumbuh dikalangan bangsa Eropa sendiri, yang sedang mengalami pencerahan.
       Beberapa tahun setelah perang dunia kedua, ada sebuah artikel tentang agama dalam bingkai  kebijakan Barat yang menyatakan bahwa modernisasi membutuhkan mundurnya agama dari kehidupan publik. Namun kini, hampir semua agama di barat menyadari bahwa, pada kenyataannya, tradisi keberagamaan di negara-negara seperti Amerika Serikat senantiasa memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan publik (lihat Casanova 1994: Wuthnow 1988).

Bagaimana Indonesia saat ini?
     Memasuki usianya yang ke 68, indonesia sedang gundah, dia merasa tak mampu lagi mengatur anak-anak negeri ini. Ada golongan yang mati rasa, yang dengan serakah menguasai sebagian besar kekayaan negeri ini. Ada golongan yang merasa tertindas, yang marah dan memilih untuk menjadi pelaku kekerasan. Mereka yang disebut terakhir itu mungkin merasa, dengan kekerasan mereka akan mampu menyelesaikan persoalan. Selebihnya adalah golongan mayoritas yang tinggal diam, pasrah dan menyerah karena merasa tak berdaya. Untuk selanjutnya, nampaknya Indonesia terus akan mengalami kegundahan selama kehidupan dan penghidupan di negeri ini tidak berkeadilan, itulah yang sebenarnya disinyalir menjadi pangkal persoalan.
        Modernisasi sistim politik dan ekonomi dunia mendorong tumbuhnya kelompok yang mendapat kekuasaan dan kekayaan luar biasa; di samping kelompok yang tertinggal dan terpojokkan, yang sebagian lagi memilih tinggal diam, sedangkan sebagian lainnya melawan keadaan dengan unjuk kekerasan.
        Selama tiga dasawarsa terakhir, di mana-mana memang terjadi kebangkitan kembali nilai-nilai lama agama sebagai reaksi terhadap sekularisasi akibat modernisasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dan ternyata modernisasi belum mampu mewujudkan masyarakat manusia yang humanistik seperti yang di harapkan. Globalisasi yang diduga bisa menghapus batas wilayah kenegaraan dan mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan manusia dimana-mana, sebaliknya malah menunjukkan secara lebih jelas besarnya kesenjangan antara yang beruntung dan yang kurang beruntung. Secara kebetulan yang menggulirkan modernisasi dan globalisasi, yang membangun pikiran-pikiran dan aturan dunia baru termasuk sistem politik, ekonomi, dan sosialnya adalah Barat Maka langkah-langkah Barat yang dianggap tidak berkeadilan langsung mendapat reaksi keras.
        Karena itu, kita perlu waspada dengan isu-isu yang ditawarkan dalam kemasan globalisasi. Sebab, bagaimanapun juga, isu-isu yang dikemas dalam sekularisasi dan globalisasi tidak lain adalah jebakan-jebakan. Pilihan yang tersedia bagi kita adalah menghindari atau melawan jebakan itu jika kita tidak ingin terperangkap di dalamnya.
     Tidak kurang, tokoh dialog Islam-Barat dari Swiss; Prof.Tariq Ramadhan dalam sebuah dialog di jakarta beberapa waktu lalu, membolehkan kaum Muslim untuk menolak sekularisme, karena konsep ini datang dari sejarah yang berbeda dan sangat khas Barat. Kita, lanjut Ramadhan, tidak boleh terlalu kagum dan mengikuti secara buta budaya Barat yang sekarang ini mendominasi dunia.
     Maka dari itu, benar sekali apa yang pernah dikatakan mantan Presiden Mesir ; Husni Mubarak, (saat menjabat) dalam salah satu pidatonya, “Umat kita akan bangkit ketika mengambil ajaran dan norma-norma Islam, dan akan mundur serta terbelakang apabila menghianati ajaran dan nilai-nilai keIslaman...” sampai dalam ungkapan beliau, “Tak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengambil ajaran-ajaran Al-Qur’an, norma-norma agama dan berjalan dalam petunjuk Tuhan tanpa penyelewengan ataupun pentakwilan...” (Ibrahim Akhmad Muhammad al- waqfi; buku “apa yang menakutkan dari Syariat Islam”).  Wassalaam !!!


==@==