Waspada SEKULARISME
“....Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu” (Q s: Al-Ma-idah: 49).
Ketika dunia makin tidak
berjarak dan hampir tanpa sekat, orang begitu mudah untuk berbaur satu sama
lain, bahkan dalam tataran global, dengan segala motivasi yang menggerakkannya.
Mereka berpotensi menjadi teman sejati yang bisa mendongkrak kesalehan kita,
menghaluskan nurani kita, dan meningkatkan spiritualitas kita. Namun, mereka
juga bisa menjadi perangkap, pembawa kita ke lubang kenistaan. Bukankah telah
banyak pihak yang mencoba menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin, mereka
bertujuan hanya untuk memorak-porandakan kekuatan Islam ?
Jika
kita telusuri sejarah perjalanannya, pemikiran keagamaan di indonesia sempat
diramaikan, sekadar misal oleh Islam Rasional, Neo Modernisme Islam, Islam
Inklusif, Islam Pluralis, dan Islam Substansialis. Lalu, tak lama berselang dan
bersamaan dengan era transisi demokrasi dari orde baru ke orde reformasi,
wancana ‘Islam Liberal’ juga ramai menyesaki tiap momen perhelatan transaksi
ide dan gagasan keagamaan. Dan seiring itu pula mereka berusaha mendukung
pemunculan label-label seperti Islam Radikal, Islam Fundamentalis, Islam
Formalis, dan Islam Literalis, terhadap pihak / komunitas agama yang ingin
menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Hal tersebut mereka lakukan tidak lain
hanya untuk melegitimasi gerakan keagamaan yang mereka usung dengan harapan
paling tidak untuk mengkatrol, mempromosikan atau mempertahankan kedudukan diri
atau kelompoknya didalam pemerintahan yang secara de facto sangat sekuler ini.
Pasca renaissance abad 15-16 M, gelombang
sekularisasi menjalar hebat di Eropa, ditandai maraknya seruan ‘PHK’ terhadap
apapun yang berbau agama. Orang-orang Eropa, merasa telah dikelabui oleh
otoritas agamanya. Mereka butuh spirit baru yang lebih rasional, dan filsafat
Yunani menjadi pilihan. Uniknya, kemunculan kembali filsafat Yunani kehadapan
bangsa Eropa ini dijembatani oleh kerja keras para penggemar filsafat dari
Baghdad, dimasa Abbassiyah.
Umat, saat ini tidak lagi teguh memegang
agama Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup, sumber hukum, dan nilai dalam
kehidupan. Ajaran Islam telah dinodai sekularisme, sinkretisme, materialisme, dan isme-isme yang
lain. Akibatnya, banyak yang minder dan merasa terhina bila diajak kembali
kepada Islam karena telah menganggap hukum dan nilai peradaban Barat lebih
unggul.
Pertanyaannya sekarang, haruskah agama dan
negara terpisah ? Amerika Serikat, Australia, Italia, Inggris, dsb mengklaim
sebagai negara dimana agama dilarang di invervensi. Namun dalam kenyataannya,
spirit keagamaan dalam kehidupan bernegara di Amerika Serikat terbukti tidak
dapat secara tegas dipisahkan. Di Inggris agama Kristen Anglikan menjadi agama
negara; Di Denmark, seperti juga negara Skandinavia lainnya menyebut secara
khusus Kristen Evengelis Lutheran sebagai agama yang mendapat prioritas.
Justifikasinya, Denmark tidak ingin menghapus sejarah sebagai negara gereja
hanya karena desakan wacana Hak Asasi Manusia; di Norwegia, konstitusinya
menyebutkan Negeri itu menganut sistem gereja negara, dan sebagai konskuensi,
gereja tunduk di bawah negara; Di
Swedia, meski bukan lagi negara gereja, namun tetap sebuah negeri yang
mewariskan kultur Kristen; Di Jerman pun, meski di tengah kehidupan yang sangat
sekuler, masih ada beberapa negara bagian (Bremen dan Berlin) yang memberi kavling
agama dalam sistem pendidikannya.
Lalu,
bagaimana keadaannya di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan
merupakan Muslim terbesar di dunia ? Memang
sangat berbeda, baik dengan negara-negara maju maupun terhadap negara tetangga
sekalipun. Negara kita, meskipun pada awal pendiriannya ada pihak yang
menginginkan adanya agama negara, namun kenyataannya hingga saat ini belum berkehendak atau tetap memandang tidak
perlu merumuskan agama negara, sekalipun Malaysia, Filipina, dan Thailand
masing-masing telah menetapkan Islam, Katholik, dan Budha sebagai agama negara
masing-masing. Apakah ini berarti mereka lebih berani dari pemimpin kita atau
mereka lebih beriman dari kita ? Satu
hal yang pasti, menurut mantan menag Dr.Tarmizi Taher, telah terjadi
ketimpangan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pemahaman dan
penghayatan agama. Pemimpin bangsa yang beragama Islam tidak banyak memahami
dan menghayati Islam, sedangkan pemimpin Indonesia yang Kristen lebih banyak
memahami dan menghayati agamanya.
Indonesia memang harus banyak belajar. Negara
kita mengklaim bukan negara berdasar Islam, tapi secara resmi juga bukan negara
sekuler. Namun dalam praktiknya, di negeri yang sebagian besar muslim ini,
masalah yang bertentangan dengan prinsip Islam sangat merajalela, seperti
korupsi dilaksanakan secara berjamaah di segala penjuru/ lapisan jabatan,
maksiat lainnya telah dilaksanakan secara terbuka bahkan dilegalkan.
Sampai-sampai Hamzah Haz yang kala itu menjabat sebagai Wapres, dalam pertemuan
dengan masyarakat Palangka Raya di Masjid Raya Nurul Islam menegaskan, bahwa
identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, sudah hilang. Kondisi
kita saat ini boleh dikata (paling) sekuler dari yang sekuler, dan (paling)
liberal dari liberal, lanjut beliau (Republika, 10/07/03). Hal ini di perkuat /
dilegalisir pula oleh pendapat dari tokoh / kontributor ‘Jaringan Islam
Liberal’ yang saat ini menjabat staf khusus Presiden RI, pernah menyatakan
bahwa Islam Liberal bisa menerima negara sekular, karena negara sekular dapat
menampung energi kesalehan dan
energi kemaksiatan sekaligus.
Islam
merupakan akidah yang diyakini sekaligus aturan yang mampu memecahkan berbagai
masalah kehidupan. Hal ini bukan hanya
diyakini oleh umat Islam saja, namun seorang Adam Mez, sejarawan ternama Jerman
(1869-1917) memberikan kesaksian melalui karyanya berjudul: ‘Die Renaissance
des Islam’ antara lain menyebutkan: “Meskipun Era keemasan Islam dan kaum
muslim memang telah berlalu, tetapi sistem
pemerintahan mereka tetap masih hidup hingga sekarang ini. Hal yang
lebih menakjubkan lanjut beliau, yakni aturan hukum mereka mencakup semua
permasalahan hidup manusia, misalnya hukum hubungan kemanusiaan. Hukum mereka
bukan sekadar mengatur prosesi pernikahan, melainkan juga mengatur hak-hak
suami-istri dan hak waris (yang di kalangan umat kristiani justru sering
menjadi sumber pertikaian). Hukum mereka juga menetapkan untuk bersikap baik
dan memberi perlindungan kepada kaum minoritas (dzimmi) atau mereka yang
meminta suaka kepada pemerintahan Islam”, jelasnya lebih lanjut. Oleh sebab
itu, Islam seharusnya tidak hanya dijadikan agama masjid saja, tetapi juga di
kantor-kantor, di pasar, ditengah-tengah masyarakat, dan dimana-pun tempat di
muka bumi ini. Islam tidak hanya diajarkan oleh ustadz di mushalla, tetapi
Islam harus dihidupkan di tengah-tengah siswa sekolah. Dengan kata lain, Islam
tidak hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga sebagai solusi bagi urusan
duniawi, sebagaimana difirmankan Allah Swt melalui surat Al-Baqarah ayat
219-220 yang berbunyi: “ Kazaalika yubaiyyinullaahu lakumul-aayati la’allakum
tatafakkaruun fid-dun-yaa wal-aakhirah” yang artinya: “Demikian Allah menerangkan
ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berpikir, tentang dunia dan akhirat”.
Hal inilah yang menjadi dasar bagi Rasul kita
Nabi Muhammad Saw untuk turun / terjun ke masyarakat menyampaikan pesan-pesan
Allah Swt dalam mengarungi kehidupan duniawi-nya. Beliau tidak terjebak dalam
kehidupan Rabbaniyah/Rahib-rahib dan tetap tinggal di goa-goa sarat dengan ritual
pemujaan, namun beliau setelah menerima wahyu, turun dari goa dan pulang
menghampiri umatnya untuk menyampaikan isi wahyu yang diterimanya guna
dijadikan panduan dan pedoman dalam mengarungi kehidupan duniawi yang sedang
dihadapi mereka. Pemisahan Islam dari pengaturan kehidupan duniawi, berarti
umat telah terjebak paham sekularisme / kapitalisme. Pengaturan kehidupan yang mengutamakan
kenikmatan dunia semata tanpa menghiraukan cara memperolehnya (halal atau
haram), itulah pola kehidupan hedonisme yang merupakan produk dari paham
sakularisme/kapitalisme. Akan hal ini,
sebenarnya Allah telah mengingatkan kita
melalui surat Al-Isra’ ayat 18 yang
terjemahannya sbb : “Barang siapa menghendaki hanya kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan
Kami Tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir”.
Sejak
awal, lahirnya sekularisme tidak pernah berhenti memusuhi agama. Pemikiran
sekularisme berawal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat
itu, kekuasaan para gerejawan demikian mendomonasi semua lapangan kehidupan,
bahkan merambah hingga bidang pengetahuan dan teknologi. Namun, dogma gereja
memasung kreativitas yang tumbuh dikalangan bangsa Eropa sendiri, yang sedang
mengalami pencerahan.
Beberapa tahun setelah perang dunia kedua,
ada sebuah artikel tentang agama dalam bingkai
kebijakan Barat yang menyatakan bahwa modernisasi membutuhkan mundurnya
agama dari kehidupan publik. Namun kini, hampir semua agama di barat menyadari
bahwa, pada kenyataannya, tradisi keberagamaan di negara-negara seperti Amerika
Serikat senantiasa memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan publik
(lihat Casanova 1994: Wuthnow 1988).
Bagaimana
Indonesia saat ini?
Memasuki usianya yang ke 68, indonesia sedang gundah, dia merasa tak
mampu lagi mengatur anak-anak negeri ini. Ada golongan yang mati rasa, yang
dengan serakah menguasai sebagian besar kekayaan negeri ini. Ada golongan yang
merasa tertindas, yang marah dan memilih untuk menjadi pelaku kekerasan. Mereka
yang disebut terakhir itu mungkin merasa, dengan kekerasan mereka akan mampu
menyelesaikan persoalan. Selebihnya adalah golongan mayoritas yang tinggal
diam, pasrah dan menyerah karena merasa tak berdaya. Untuk selanjutnya,
nampaknya Indonesia terus akan mengalami kegundahan selama kehidupan dan
penghidupan di negeri ini tidak berkeadilan, itulah yang sebenarnya disinyalir
menjadi pangkal persoalan.
Modernisasi sistim politik dan ekonomi dunia
mendorong tumbuhnya kelompok yang mendapat kekuasaan dan kekayaan luar biasa;
di samping kelompok yang tertinggal dan terpojokkan, yang sebagian lagi memilih
tinggal diam, sedangkan sebagian lainnya melawan keadaan dengan unjuk
kekerasan.
Selama tiga dasawarsa terakhir, di mana-mana
memang terjadi kebangkitan kembali nilai-nilai lama agama sebagai reaksi
terhadap sekularisasi akibat modernisasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Dan ternyata modernisasi belum mampu mewujudkan masyarakat manusia yang
humanistik seperti yang di harapkan. Globalisasi yang diduga bisa menghapus
batas wilayah kenegaraan dan mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
manusia dimana-mana, sebaliknya malah menunjukkan secara lebih jelas besarnya
kesenjangan antara yang beruntung dan yang kurang beruntung. Secara kebetulan
yang menggulirkan modernisasi dan globalisasi, yang membangun pikiran-pikiran
dan aturan dunia baru termasuk sistem politik, ekonomi, dan sosialnya adalah
Barat Maka langkah-langkah Barat yang dianggap tidak berkeadilan langsung
mendapat reaksi keras.
Karena
itu, kita perlu waspada dengan isu-isu yang ditawarkan dalam kemasan
globalisasi. Sebab, bagaimanapun juga, isu-isu yang dikemas dalam sekularisasi
dan globalisasi tidak lain adalah jebakan-jebakan. Pilihan yang tersedia bagi
kita adalah menghindari atau melawan jebakan itu jika kita tidak ingin
terperangkap di dalamnya.
Tidak
kurang, tokoh dialog Islam-Barat dari Swiss; Prof.Tariq Ramadhan dalam sebuah
dialog di jakarta beberapa waktu lalu, membolehkan kaum Muslim untuk menolak
sekularisme, karena konsep ini datang dari sejarah yang berbeda dan sangat khas
Barat. Kita, lanjut Ramadhan, tidak boleh terlalu kagum dan mengikuti secara
buta budaya Barat yang sekarang ini mendominasi dunia.
Maka
dari itu, benar sekali apa yang pernah dikatakan mantan Presiden Mesir ; Husni
Mubarak, (saat menjabat) dalam salah satu pidatonya, “Umat kita akan bangkit
ketika mengambil ajaran dan norma-norma Islam, dan akan mundur serta
terbelakang apabila menghianati ajaran dan nilai-nilai keIslaman...” sampai
dalam ungkapan beliau, “Tak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengambil
ajaran-ajaran Al-Qur’an, norma-norma agama dan berjalan dalam petunjuk Tuhan
tanpa penyelewengan ataupun pentakwilan...” (Ibrahim Akhmad Muhammad al- waqfi;
buku “apa yang menakutkan dari Syariat Islam”).
Wassalaam !!!
==@==