Minggu, 16 Juni 2013

Waspada SEKULARISME



Waspada  SEKULARISME

      
      “....Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Q s: Al-Ma-idah: 49).

    Ketika dunia makin tidak berjarak dan hampir tanpa sekat, orang begitu mudah untuk berbaur satu sama lain, bahkan dalam tataran global, dengan segala motivasi yang menggerakkannya. Mereka berpotensi menjadi teman sejati yang bisa mendongkrak kesalehan kita, menghaluskan nurani kita, dan meningkatkan spiritualitas kita. Namun, mereka juga bisa menjadi perangkap, pembawa kita ke lubang kenistaan. Bukankah telah banyak pihak yang mencoba menyusup ke dalam barisan kaum Muslimin, mereka bertujuan hanya untuk memorak-porandakan kekuatan Islam ?
        Jika kita telusuri sejarah perjalanannya, pemikiran keagamaan di indonesia sempat diramaikan, sekadar misal oleh Islam Rasional, Neo Modernisme Islam, Islam Inklusif, Islam Pluralis, dan Islam Substansialis. Lalu, tak lama berselang dan bersamaan dengan era transisi demokrasi dari orde baru ke orde reformasi, wancana ‘Islam Liberal’ juga ramai menyesaki tiap momen perhelatan transaksi ide dan gagasan keagamaan. Dan seiring itu pula mereka berusaha mendukung pemunculan label-label seperti Islam Radikal, Islam Fundamentalis, Islam Formalis, dan Islam Literalis, terhadap pihak / komunitas agama yang ingin menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Hal tersebut mereka lakukan tidak lain hanya untuk melegitimasi gerakan keagamaan yang mereka usung dengan harapan paling tidak untuk mengkatrol, mempromosikan atau mempertahankan kedudukan diri atau kelompoknya didalam pemerintahan yang secara  de facto sangat sekuler ini.
        Pasca renaissance abad 15-16 M, gelombang sekularisasi menjalar hebat di Eropa, ditandai maraknya seruan ‘PHK’ terhadap apapun yang berbau agama. Orang-orang Eropa, merasa telah dikelabui oleh otoritas agamanya. Mereka butuh spirit baru yang lebih rasional, dan filsafat Yunani menjadi pilihan. Uniknya, kemunculan kembali filsafat Yunani kehadapan bangsa Eropa ini dijembatani oleh kerja keras para penggemar filsafat dari Baghdad, dimasa Abbassiyah.
        Umat, saat ini tidak lagi teguh memegang agama Allah sebagai satu-satunya pandangan hidup, sumber hukum, dan nilai dalam kehidupan. Ajaran Islam telah dinodai sekularisme,  sinkretisme, materialisme, dan isme-isme yang lain. Akibatnya, banyak yang minder dan merasa terhina bila diajak kembali kepada Islam karena telah menganggap hukum dan nilai peradaban Barat lebih unggul.
        Pertanyaannya sekarang, haruskah agama dan negara terpisah ? Amerika Serikat, Australia, Italia, Inggris, dsb mengklaim sebagai negara dimana agama dilarang di invervensi. Namun dalam kenyataannya, spirit keagamaan dalam kehidupan bernegara di Amerika Serikat terbukti tidak dapat secara tegas dipisahkan. Di Inggris agama Kristen Anglikan menjadi agama negara; Di Denmark, seperti juga negara Skandinavia lainnya menyebut secara khusus Kristen Evengelis Lutheran sebagai agama yang mendapat prioritas. Justifikasinya, Denmark tidak ingin menghapus sejarah sebagai negara gereja hanya karena desakan wacana Hak Asasi Manusia; di Norwegia, konstitusinya menyebutkan Negeri itu menganut sistem gereja negara, dan sebagai konskuensi, gereja tunduk di bawah negara;  Di Swedia, meski bukan lagi negara gereja, namun tetap sebuah negeri yang mewariskan kultur Kristen; Di Jerman pun, meski di tengah kehidupan yang sangat sekuler, masih ada beberapa negara bagian (Bremen dan Berlin) yang memberi kavling agama dalam sistem pendidikannya.
       Lalu, bagaimana keadaannya di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam dan merupakan Muslim terbesar di dunia ?  Memang sangat berbeda, baik dengan negara-negara maju maupun terhadap negara tetangga sekalipun. Negara kita, meskipun pada awal pendiriannya ada pihak yang menginginkan adanya agama negara, namun kenyataannya  hingga saat ini  belum berkehendak atau tetap memandang tidak perlu merumuskan agama negara, sekalipun Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing telah menetapkan Islam, Katholik, dan Budha sebagai agama negara masing-masing. Apakah ini berarti mereka lebih berani dari pemimpin kita atau mereka lebih beriman dari kita ?  Satu hal yang pasti, menurut mantan menag Dr.Tarmizi Taher, telah terjadi ketimpangan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pemahaman dan penghayatan agama. Pemimpin bangsa yang beragama Islam tidak banyak memahami dan menghayati Islam, sedangkan pemimpin Indonesia yang Kristen lebih banyak memahami dan menghayati agamanya.
       Indonesia memang harus banyak belajar. Negara kita mengklaim bukan negara berdasar Islam, tapi secara resmi juga bukan negara sekuler. Namun dalam praktiknya, di negeri yang sebagian besar muslim ini, masalah yang bertentangan dengan prinsip Islam sangat merajalela, seperti korupsi dilaksanakan secara berjamaah di segala penjuru/ lapisan jabatan, maksiat lainnya telah dilaksanakan secara terbuka bahkan dilegalkan. Sampai-sampai Hamzah Haz yang kala itu menjabat sebagai Wapres, dalam pertemuan dengan masyarakat Palangka Raya di Masjid Raya Nurul Islam menegaskan, bahwa identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, sudah hilang. Kondisi kita saat ini boleh dikata (paling) sekuler dari yang sekuler, dan (paling) liberal dari liberal, lanjut beliau (Republika, 10/07/03). Hal ini di perkuat / dilegalisir pula oleh pendapat dari tokoh / kontributor ‘Jaringan Islam Liberal’ yang saat ini menjabat staf khusus Presiden RI, pernah menyatakan bahwa Islam Liberal bisa menerima negara sekular, karena negara sekular dapat menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.
       Islam merupakan akidah yang diyakini sekaligus aturan yang mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan.  Hal ini bukan hanya diyakini oleh umat Islam saja, namun seorang Adam Mez, sejarawan ternama Jerman (1869-1917) memberikan kesaksian melalui karyanya berjudul: ‘Die Renaissance des Islam’ antara lain menyebutkan: “Meskipun Era keemasan Islam dan kaum muslim memang telah berlalu, tetapi sistem  pemerintahan mereka tetap masih hidup hingga sekarang ini. Hal yang lebih menakjubkan lanjut beliau, yakni aturan hukum mereka mencakup semua permasalahan hidup manusia, misalnya hukum hubungan kemanusiaan. Hukum mereka bukan sekadar mengatur prosesi pernikahan, melainkan juga mengatur hak-hak suami-istri dan hak waris (yang di kalangan umat kristiani justru sering menjadi sumber pertikaian). Hukum mereka juga menetapkan untuk bersikap baik dan memberi perlindungan kepada kaum minoritas (dzimmi) atau mereka yang meminta suaka kepada pemerintahan Islam”, jelasnya lebih lanjut. Oleh sebab itu, Islam seharusnya tidak hanya dijadikan agama masjid saja, tetapi juga di kantor-kantor, di pasar, ditengah-tengah masyarakat, dan dimana-pun tempat di muka bumi ini. Islam tidak hanya diajarkan oleh ustadz di mushalla, tetapi Islam harus dihidupkan di tengah-tengah siswa sekolah. Dengan kata lain, Islam tidak hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga sebagai solusi bagi urusan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah Swt melalui surat Al-Baqarah ayat 219-220 yang berbunyi: “ Kazaalika yubaiyyinullaahu lakumul-aayati la’allakum tatafakkaruun fid-dun-yaa wal-aakhirah” yang artinya: “Demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berpikir, tentang dunia dan akhirat”.               
       Hal inilah yang menjadi dasar bagi Rasul kita Nabi Muhammad Saw untuk turun / terjun ke masyarakat menyampaikan pesan-pesan Allah Swt dalam mengarungi kehidupan duniawi-nya. Beliau tidak terjebak dalam kehidupan Rabbaniyah/Rahib-rahib dan tetap tinggal di goa-goa sarat dengan ritual pemujaan, namun beliau setelah menerima wahyu, turun dari goa dan pulang menghampiri umatnya untuk menyampaikan isi wahyu yang diterimanya guna dijadikan panduan dan pedoman dalam mengarungi kehidupan duniawi yang sedang dihadapi mereka. Pemisahan Islam dari pengaturan kehidupan duniawi, berarti umat telah terjebak paham sekularisme / kapitalisme.  Pengaturan kehidupan yang mengutamakan kenikmatan dunia semata tanpa menghiraukan cara memperolehnya (halal atau haram), itulah pola kehidupan hedonisme yang merupakan produk dari paham sakularisme/kapitalisme.  Akan hal ini, sebenarnya Allah telah  mengingatkan kita melalui surat Al-Isra’ ayat 18  yang terjemahannya sbb : “Barang siapa menghendaki hanya kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami  kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami Tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”.                       
       Sejak awal, lahirnya sekularisme tidak pernah berhenti memusuhi agama. Pemikiran sekularisme berawal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para gerejawan demikian mendomonasi semua lapangan kehidupan, bahkan merambah hingga bidang pengetahuan dan teknologi. Namun, dogma gereja memasung kreativitas yang tumbuh dikalangan bangsa Eropa sendiri, yang sedang mengalami pencerahan.
       Beberapa tahun setelah perang dunia kedua, ada sebuah artikel tentang agama dalam bingkai  kebijakan Barat yang menyatakan bahwa modernisasi membutuhkan mundurnya agama dari kehidupan publik. Namun kini, hampir semua agama di barat menyadari bahwa, pada kenyataannya, tradisi keberagamaan di negara-negara seperti Amerika Serikat senantiasa memainkan peran yang amat penting dalam kehidupan publik (lihat Casanova 1994: Wuthnow 1988).

Bagaimana Indonesia saat ini?
     Memasuki usianya yang ke 68, indonesia sedang gundah, dia merasa tak mampu lagi mengatur anak-anak negeri ini. Ada golongan yang mati rasa, yang dengan serakah menguasai sebagian besar kekayaan negeri ini. Ada golongan yang merasa tertindas, yang marah dan memilih untuk menjadi pelaku kekerasan. Mereka yang disebut terakhir itu mungkin merasa, dengan kekerasan mereka akan mampu menyelesaikan persoalan. Selebihnya adalah golongan mayoritas yang tinggal diam, pasrah dan menyerah karena merasa tak berdaya. Untuk selanjutnya, nampaknya Indonesia terus akan mengalami kegundahan selama kehidupan dan penghidupan di negeri ini tidak berkeadilan, itulah yang sebenarnya disinyalir menjadi pangkal persoalan.
        Modernisasi sistim politik dan ekonomi dunia mendorong tumbuhnya kelompok yang mendapat kekuasaan dan kekayaan luar biasa; di samping kelompok yang tertinggal dan terpojokkan, yang sebagian lagi memilih tinggal diam, sedangkan sebagian lainnya melawan keadaan dengan unjuk kekerasan.
        Selama tiga dasawarsa terakhir, di mana-mana memang terjadi kebangkitan kembali nilai-nilai lama agama sebagai reaksi terhadap sekularisasi akibat modernisasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dan ternyata modernisasi belum mampu mewujudkan masyarakat manusia yang humanistik seperti yang di harapkan. Globalisasi yang diduga bisa menghapus batas wilayah kenegaraan dan mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan manusia dimana-mana, sebaliknya malah menunjukkan secara lebih jelas besarnya kesenjangan antara yang beruntung dan yang kurang beruntung. Secara kebetulan yang menggulirkan modernisasi dan globalisasi, yang membangun pikiran-pikiran dan aturan dunia baru termasuk sistem politik, ekonomi, dan sosialnya adalah Barat Maka langkah-langkah Barat yang dianggap tidak berkeadilan langsung mendapat reaksi keras.
        Karena itu, kita perlu waspada dengan isu-isu yang ditawarkan dalam kemasan globalisasi. Sebab, bagaimanapun juga, isu-isu yang dikemas dalam sekularisasi dan globalisasi tidak lain adalah jebakan-jebakan. Pilihan yang tersedia bagi kita adalah menghindari atau melawan jebakan itu jika kita tidak ingin terperangkap di dalamnya.
     Tidak kurang, tokoh dialog Islam-Barat dari Swiss; Prof.Tariq Ramadhan dalam sebuah dialog di jakarta beberapa waktu lalu, membolehkan kaum Muslim untuk menolak sekularisme, karena konsep ini datang dari sejarah yang berbeda dan sangat khas Barat. Kita, lanjut Ramadhan, tidak boleh terlalu kagum dan mengikuti secara buta budaya Barat yang sekarang ini mendominasi dunia.
     Maka dari itu, benar sekali apa yang pernah dikatakan mantan Presiden Mesir ; Husni Mubarak, (saat menjabat) dalam salah satu pidatonya, “Umat kita akan bangkit ketika mengambil ajaran dan norma-norma Islam, dan akan mundur serta terbelakang apabila menghianati ajaran dan nilai-nilai keIslaman...” sampai dalam ungkapan beliau, “Tak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengambil ajaran-ajaran Al-Qur’an, norma-norma agama dan berjalan dalam petunjuk Tuhan tanpa penyelewengan ataupun pentakwilan...” (Ibrahim Akhmad Muhammad al- waqfi; buku “apa yang menakutkan dari Syariat Islam”).  Wassalaam !!!


==@==