Minggu, 05 April 2015

ISLAM & HAM



  Sulit kita membayangkan, ada orang di rumah sendiri, di negara sendiri, negara yang berdaulat, diultimatum untuk meninggalkan rumah dan negaranya beserta keluarga dalam waktu 2x24 jam. Apakah memang demikian perilaku pihak yang mengaku penegak demokrasi dan HAM ? Mengapa semua ini bisa terjadi ?  Inilah suatu pertanyaan besar dan sederhana, namun semua pihak di belahan dunia ini belum  mampu untuk menjawabnya secara tepat dan jujur, apalagi untuk berbuat dan bertindak.
      Meskipun di benak masing-masing pihak dapat mereka-reka jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, namun  apa daya, kita  semua  tidak  bisa  berbuat  apa-apa. Kita hanya dapat menyaksikan melalui layar televisi, pembantaian habis-habisan atas mahluk-mahluk Allah yang tidak kita ketahui secara pasti apa dosa dan kesalahan mereka. Nampak jelas disini ketidak-berdayaan kita semua, sampai-sampai PBB-pun tunduk patuh kepada negara agresor beserta sekutunya.  Inilah  tragedi kemanusiaan yang  terbesar pada abad kini, dimana semakin majunya zaman dan semakin modernnya umat, namun semakin pula menunjukkan kesewenangan / kemunduran peradaban kemanusiaan.
    Berbicara masalah kemanusiaan, tidaklah dapat dipisahkan begitu saja dari masalah keagamaan, khususnya agama Islam.  Islam adalah Ad-Dien yang sempurna. Agama yang tidak sekedar mengatur bagaimana caranya beribadah kepada Al-Khalik   tetapi sekaligus menjawab problematika kehidupan manusia, termasuk didalamnya masalah HAM dan lingkungan-hidup serta bagaimana menciptakan keseimbangan   ekosistem yang ada dalam kehidupan. Agama Islam membina kehidupan manusia yang di awali dengan tauhid. Ilmu tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan dan kepercayaan agama melalui akal fikiran, disamping kemantapan hati yang didasarkan pada wahyu. Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, serta mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram antara sesamanya. Wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk menunaikan kewajiban seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kebaikan dan  keikhlasan.
    Untuk mencapai kehidupan yang damai, tenteram antara sesamanya, dibutuhkan kesadaran yang tinggi akan rasa persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Meskipun ketiga idiom tersebut berasal dari al-Quran, namun tak urung pula pihak Barat-lah yang telah mengklaim bahwa pemikiran tentang Hak Azazi Manusia (HAM) tersebut diilhami oleh Revolusi Perancis yang pecah pada tanggal 5 Mei 1789 di kota Versailles dengan slogan: liberte, egalite et fraternite . 
    Diskursus HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup memang tidak pernah usai. Semua konsep dan tata nilai di tawarkan untuk di nilai, manakah yang lebih handal. Faktanya, semua mengakui bahwa pendekar dan pejuang HAM yang ada relatif terhegemoni oleh tata nilai Barat sebagai fihak yang mengklaim sebagai cikal bakal HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup itu sendiri. Belum pernah ada solusi alternatif cerdas ditawarkan, atau kalaupun ada tetapi selalu dipandang sinis dan penuh dengan nuansa kecurigaan tak beralasan. Terlebih lagi apabila konsep dan tata nilai itu datang dari komunitas Islam, maka yang muncul adalah Islam Phobia sebelum terlebih dahulu betul-betul meneliti dan mengkajinya.      
    Padahal bila kita berkenan mengkaji dan meneliti secara seksama dan lebih mendalam atas kandungan al-Quran, khususnya ayat-ayat yang menghantarkan kita ke alam Demokrasi, HAM dan Lingkungan Hidup, maka tidaklah akan terjadi kesimpangsiuran pemahaman antar sesama umat Islam maupun terhadap pihak Barat yang jelas-jelas telah mengadopsi paham / ajaran Islam dan menyatakan bahwa temuan-temuan tersebut adalah berasal dari mereka, sehingga umat Islam sendiri  terpecah menjadi dua kelompok besar masing-masing yang menganggap bahwa konsep HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup adalah murni berasal dari Barat sehingga apa saja yang terkait dengan ketiga topik tersebut adalah haram hukumnya, sedangkan yang lain adalah kelompok yang sebenarnya mengetahui keberadaan konsep-konsep tersebut berasal dari Islam, namun karena yang mendiklair secara resmi adalah fihak barat dan juga sudah terlanjur menganggap semua yang datang dari Barat adalah baik, maka kelompok ini adalah yang mengagungkan dan menerapkan secara penuh konsep-konsep tersebut sebagai produk Barat yang dibanggakan.
    Agar selisih paham tersebut tidak membawa pengaruh lebih jauh yang tidak bermanfaat bagi kita semua, kiranya perlu kita kaji bersama hal-hal yang mendasari penegakan HAM dari perspektif Islam, pertama ayat 183 surat Asy-Syuara yang menyatakan : Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan jangan lah kamu merajalela dimuka bumi dengan membuat kerusakan; kedua  ayat 33 surat Al-Araf yang berbunyi : Tuhan-ku hanya mengharamkan; perbuatan keji, perbuatan dosa, melanggar Hak Manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui; ketiga adalah praktek penerapannya di dalam kehidupan bernegara yang diawali dalam Konstitusi Madinah. Sebagai suatu kontrak sosial, untuk pertama kalinya penyebutan dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter dengan ciri utamanya yakni pengakuan terhadap hak-hak azazi tanpa diskriminasi, baik Muslim maupun Yahudi dan semua pendukung konstitusi tersebut. 
    Menjadi jelas permasalahannya, dan mudah-mudahan dapat terjawab pertanyaan besar dan sederhana tersebut di atas, tidak lain hanya karena mereka telah mengadopsi konsep ajaran Islam dan mempublikasikan konsep tersebut adalah murni temuan mereka. Jadi mereka tidak tahu dan tidak mampu untuk menerapkan serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata, mengingat konsep yang satu dengan konsep yang lainnya amat bertentangan dan sulit untuk diterapkan secara bersamaan. Dan semakin jelas lagi bahwa, globalisasi HAM hanya merupakan agenda penting bagi kaum kapitalis dalam rangka serangan kebudayaan / peradaban terhadap umat Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Dr.Sami Sholeh Wakil : Imperialisme barat mempropagandakan keseluruh dunia terhadap pandangan hidupnya yang dikemas dalam HAM dan bergerak terhadap negara-negara agar menegakkan pandangan ini dengan methode pelaksanaan Imperialisme. Sekedar bukti konkrit, setelah meng-ultimatum dan meluluh-lantakkan, kemudian mengendalikannya melalui kekuasaan pendudukan yang pada gilirannya mengeluarkan larangan untuk mendirikan negara Islam. Sungguh memilukan memang, Barat dengan segala propagandanya tidak akan pernah berhenti berusaha agar kaum muslimin selalu jauh dari ajaran yang sebenarnya (baca : QS.Al-Baqarah:120).
    Untuk itu, kini saat yang tepat bagi kita kaum Muslimin kembali merenung dan koreksi diri, apakah kita sudah berada pada jalan yang dikehendaki dan diridhoi-Nya ?. Sebagaimana pada bagian akhir isi khotbahnya yang bersejarah, Khalifah Umar r.a,   dalam perjalanan pulang menuju Madinah, singgah sejenak di Jabiah setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius, menyebutkan: Al-Quran tidak membawa pesan-pesan ukhrawi belaka, ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. Bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselamatanmu. Bila mengikuti jalan yang yang lain engkau hanya akan mengundang kehancuran. Jalan yang dimaksud tentunya adalah jalan yang lurus, dan untuk menempuh jalan tersebut diperlukan peta / petunjuk yaitu al-Quran yang dapat dijadikan pedoman / landasan pijak dalam menyusun tata kehidupan / tata nilai hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.    
    Jujur kita akui, bahwa al-Quran bukanlah buku yang menghimpun seluruh teori ilmu pengetahuan, bukan pula ensklopedia yang memuat seluruh jawaban ilmu yang dipersoalkan. Al-Quran hanya meletakkan prinsip dasar ilmu pengetahuan dan prediksi-prediksi yang mengandung motivasi eksplorasi ilmiah. Mengapa demikian ? Karena lebih dari itu al-Quran adalah merupakan Kitab Suci.   Wassalaam ! 


                                                                              ===@===