Sulit
kita membayangkan, ada orang di rumah sendiri, di negara sendiri, negara
yang berdaulat, diultimatum untuk meninggalkan rumah dan negaranya beserta
keluarga dalam waktu 2x24 jam. Apakah memang demikian perilaku pihak yang
mengaku penegak demokrasi dan HAM ? Mengapa semua ini bisa terjadi ? Inilah suatu pertanyaan
besar dan sederhana, namun semua pihak di belahan dunia ini belum mampu untuk menjawabnya secara tepat dan jujur, apalagi untuk berbuat dan bertindak.
Meskipun di benak
masing-masing pihak dapat mereka-reka jawaban atas pertanyaan
tersebut di atas, namun apa daya,
kita semua tidak
bisa berbuat apa-apa. Kita hanya dapat menyaksikan melalui
layar televisi, pembantaian habis-habisan atas mahluk-mahluk Allah yang tidak
kita ketahui secara pasti apa dosa dan kesalahan mereka. Nampak jelas disini
ketidak-berdayaan kita semua, sampai-sampai PBB-pun tunduk patuh kepada negara
agresor beserta sekutunya. Inilah tragedi kemanusiaan yang terbesar pada abad kini, dimana semakin
majunya zaman dan semakin modernnya umat, namun semakin pula menunjukkan
kesewenangan
/ kemunduran peradaban
kemanusiaan.
Berbicara masalah kemanusiaan,
tidaklah dapat dipisahkan begitu saja dari masalah keagamaan, khususnya agama
Islam. Islam adalah Ad-Dien yang
sempurna. Agama yang tidak sekedar mengatur bagaimana caranya beribadah kepada
Al-Khalik tetapi sekaligus menjawab
problematika kehidupan manusia, termasuk didalamnya masalah HAM dan ‘lingkungan-hidup’ serta bagaimana menciptakan keseimbangan ekosistem yang ada dalam
kehidupan. Agama Islam membina kehidupan manusia yang di awali dengan tauhid.
Ilmu tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan dan kepercayaan agama melalui
akal fikiran, disamping kemantapan hati yang didasarkan pada wahyu. Wahyu
menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang
dibawanya, serta mendidik manusia untuk hidup damai dan tenteram antara
sesamanya. Wahyu membawa syariat yang mendorong manusia untuk menunaikan
kewajiban seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kebaikan dan keikhlasan.
Untuk mencapai kehidupan yang
damai, tenteram antara sesamanya, dibutuhkan kesadaran yang tinggi akan rasa persaudaraan,
persamaan dan kebebasan. Meskipun ketiga idiom tersebut berasal
dari al-Qur’an, namun tak urung pula pihak Barat-lah yang telah mengklaim bahwa
pemikiran tentang Hak Azazi Manusia (HAM)
tersebut diilhami oleh Revolusi Perancis yang pecah pada tanggal 5 Mei 1789 di
kota Versailles dengan slogan: “ liberte, egalite et fraternite “.
Diskursus HAM, Demokrasi dan
Lingkungan Hidup memang tidak pernah usai. Semua konsep dan tata nilai di
tawarkan untuk di nilai, manakah yang lebih handal. Faktanya, semua mengakui
bahwa pendekar dan pejuang HAM yang ada relatif terhegemoni oleh tata nilai
Barat sebagai fihak yang mengklaim sebagai cikal bakal HAM, Demokrasi dan
Lingkungan Hidup itu sendiri. Belum pernah ada solusi alternatif cerdas
ditawarkan, atau kalaupun ada tetapi selalu dipandang sinis dan penuh dengan
nuansa kecurigaan tak beralasan. Terlebih lagi apabila konsep dan tata nilai
itu datang dari komunitas Islam, maka yang muncul adalah ‘Islam Phobia’ sebelum terlebih dahulu betul-betul meneliti dan mengkajinya.
Padahal bila kita berkenan
mengkaji dan meneliti secara seksama dan lebih mendalam atas kandungan al-Qur’an, khususnya ayat-ayat yang menghantarkan kita ke alam Demokrasi, HAM
dan Lingkungan Hidup, maka tidaklah akan terjadi kesimpangsiuran pemahaman
antar sesama umat Islam maupun terhadap pihak Barat yang jelas-jelas telah
mengadopsi paham / ajaran Islam dan menyatakan bahwa temuan-temuan tersebut
adalah berasal dari mereka, sehingga umat Islam sendiri terpecah menjadi dua kelompok besar
masing-masing yang menganggap bahwa konsep HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup
adalah murni berasal dari Barat sehingga apa saja yang terkait dengan ketiga
topik tersebut adalah haram hukumnya, sedangkan yang lain adalah kelompok yang
sebenarnya mengetahui keberadaan konsep-konsep tersebut berasal dari Islam,
namun karena yang mendiklair secara resmi adalah fihak barat dan juga sudah
terlanjur menganggap semua yang datang dari Barat adalah baik, maka kelompok
ini adalah yang mengagungkan dan menerapkan secara penuh konsep-konsep tersebut
sebagai produk Barat yang dibanggakan.
Agar selisih paham tersebut
tidak membawa pengaruh lebih jauh yang tidak bermanfaat bagi kita semua,
kiranya perlu kita kaji bersama hal-hal yang mendasari penegakan HAM dari
perspektif Islam, pertama ayat 183 surat Asy-Syu’ara yang menyatakan : “Dan janganlah kamu merugikan
manusia pada hak-haknya dan jangan lah kamu merajalela dimuka bumi dengan
membuat kerusakan”; kedua ayat 33 surat Al-A’raf yang berbunyi : “ Tuhan-ku hanya mengharamkan;
perbuatan keji, perbuatan dosa, melanggar Hak Manusia tanpa alasan yang
benar, mempersekutukan Allah dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui”; ketiga adalah praktek penerapannya di dalam kehidupan bernegara
yang diawali dalam ‘Konstitusi Madinah‘. Sebagai suatu kontrak sosial, untuk pertama kalinya penyebutan
dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter dengan ciri utamanya yakni
pengakuan terhadap hak-hak azazi tanpa diskriminasi, baik Muslim maupun Yahudi
dan semua pendukung konstitusi tersebut.
Menjadi jelas permasalahannya,
dan mudah-mudahan dapat terjawab pertanyaan besar dan sederhana tersebut di
atas, tidak lain hanya
karena mereka telah mengadopsi konsep ajaran Islam dan
mempublikasikan konsep tersebut adalah murni temuan mereka. Jadi mereka tidak
tahu dan tidak mampu untuk menerapkan serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
nyata, mengingat konsep yang satu dengan konsep yang lainnya amat bertentangan
dan sulit untuk diterapkan secara bersamaan. Dan semakin jelas lagi bahwa,
globalisasi HAM hanya merupakan agenda penting bagi kaum kapitalis dalam rangka
serangan kebudayaan / peradaban terhadap umat Islam, sebagaimana yang dikatakan
oleh Dr.Sami’ Sholeh Wakil : “Imperialisme barat mempropagandakan keseluruh dunia terhadap pandangan
hidupnya yang dikemas dalam HAM dan bergerak terhadap negara-negara agar
menegakkan pandangan ini dengan methode pelaksanaan Imperialisme”. Sekedar bukti konkrit, setelah meng-ultimatum dan meluluh-lantakkan,
kemudian mengendalikannya melalui ’kekuasaan pendudukan’ yang pada gilirannya mengeluarkan larangan untuk mendirikan negara
Islam. Sungguh memilukan memang, Barat dengan segala propagandanya
tidak akan pernah
berhenti berusaha agar kaum muslimin selalu jauh dari ajaran yang
sebenarnya (baca : QS.Al-Baqarah:120).
Untuk itu, kini saat yang
tepat bagi kita kaum Muslimin kembali merenung dan koreksi diri, apakah kita
sudah berada pada jalan yang dikehendaki dan diridhoi-Nya ?. Sebagaimana pada
bagian akhir isi khotbahnya yang bersejarah, Khalifah Umar r.a, dalam perjalanan pulang menuju Madinah,
singgah sejenak di Jabi’ah setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch
Jerusalem Uskup Agung Sophronius, menyebutkan: “Al-Qur’an tidak membawa pesan-pesan ukhrawi belaka, ia terutama ditujukan untuk
menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. Bangunlah kehidupanmu
sesuai dengan ajaran Islam, karena itulah jalan hidup bagi keselamatanmu. Bila
mengikuti jalan yang yang lain engkau hanya akan mengundang kehancuran”. Jalan yang dimaksud tentunya adalah jalan yang lurus, dan untuk
menempuh jalan tersebut diperlukan peta / petunjuk yaitu al-Qur’an yang dapat dijadikan pedoman / landasan pijak dalam menyusun tata
kehidupan / tata nilai hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Jujur kita akui, bahwa al-Qur’an bukanlah buku yang menghimpun seluruh teori ilmu pengetahuan, bukan
pula ensklopedia yang memuat seluruh jawaban ilmu yang dipersoalkan. Al-Qur’an hanya meletakkan prinsip dasar ilmu pengetahuan dan prediksi-prediksi
yang mengandung motivasi eksplorasi ilmiah. Mengapa demikian ? Karena lebih
dari itu al-Qur’an adalah merupakan ’Kitab Suci’. Wassalaam !
===@===