Sabtu, 24 September 2016

UMMATAN WASATHAN



Ummatan Wasathan
    
     Ya Tuhan kami,...sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat Rumah Engkau (Baitullah) yang di hormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).
   
      Setelah Nabi Ibrahim As sampai pada suatu bukit yang bernama ’Kida’, sekembalinya dari mengantar Siti Hajar dan anaknya Ismail ke lembah Makkah, disitulah Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah Swt sebagaimana tertera pada Qs. Ibrahim: 37 diatas. Dan do’a tersebut, kini telah terkabul. Sebagian dari umat di dunia ini telah cenderung hatinya kepada ajaran yang dibawa Nabi Besar Muhammad Saw sebagai titisan/keturunan dari Nabi Ismail As.
       Dalam perjalanan sejarahnya yang cukup panjang, Islam telah dianut oleh kurang lebih 1,2 miliar manusia di belahan dunia. Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki tradisi pembaruan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Kondisi dunia Islam saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, geliat untuk menjalankan syariah Islam merebak di sepanjang nusantara, di sisi lain kehidupan hedonisme dan materialisme menyerap habis-habisan budaya Barat yang berujung pada sekular dan liberalnya pola hidup kaum muslimin. Dalam kenyataan sehari-hari, umat Islam tidak satu suara dalam menjawab berbagai persoalan zaman. Kecenderungan untuk berbeda-beda antar berbagai kelompok ini, sebenarnya lebih merupakan respons yang berbeda dalam memahami ajaran-ajaran dasar agama Islam.
       Bila dalam kenyataan, beralihnya suatu peradaban ke peradaban yang lain, dan umat Islam saat ini sedang dalam keadaan yang memperhatinkan, bukanlah faktor penyebabnya adalah ajaran/agama yang dianut tersebut, sehingga dipandang perlu untuk di reformasi atau diperbarui, ini rasanya kesalahan besar yang tidak mendasar. Karena, sejatinya Islam itulah modernitas. Secara histori Islam hadir untuk memperbarui, meluruskan bahkan merupakan bentuk kesempurnaan bagi agama sebelumnya. Hal ini bukan hanya diakui oleh setiap umat Islam, tapi... seorang Muslim Pakistan misalnya pernah menulis : “Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal”.
      Kemunduran umat Islam saat ini sebenarnya tidak terlepas dari perjalanan sejarah umat-umat terdahulu yang telah menjadikan umatnya beralih ekstrim ke kanan atau ke kiri, dimana semestinya umat Islam harus mengemban misinya sebagai “ummatan wasathan”, umat yang meyakini kepada ke-Esaan Allah; umat yang adil dalam segala hal/ segala urusan; umat yang tidak mematikan akal ataupun menuhankannya; umat yang memandang agamanya dari sisi rasionalitas dan sisi transendental; umat yang berpandangan hidup paripurna, yang memberikan perhatian kepada aspek-aspek materi sama baiknya dengan perhatiannya terhadap aspek-aspek spiritual; umat yang dalam membelanjakan hartanya, tidak melampaui batas (berlebih-lebihan) dan tidak pula sangat kikir; umat yang dalam berjalanpun diperintahkan agar sederhana; umat yang menjadikan ‘wahyu’ sebagai petunjuk/pedoman dalam menggunakan akal pikiran guna mengarungi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak; serta umat yang telah diperintahkan Allah untuk memikirkan tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah : 219-220).
     Jadi, sangat tidak beralasan bagi sebagian pihak yang menganggap bahwa agama Islam adalah agama ukhrawi semata dan untuk itu perlu di ‘duniawi’kan, atau lebih populer dengan istilah men ‘sekuler’ kan agama Islam. Pihak-pihak inilah yang terindikasi adanya kesalahan /kekeliruan dalam menerima, menyerap serta menginterpretasikan Islam kedalam kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan kelompok / komunitasnya. Islam lahir dengan satu persepsi bahwa manusia cenderung mencintai dunia, sebagaimana tergambar dengan jelas pada firman Allah berikut ini : “sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia” (QS.Al-Qiyaamah :20), “dan meninggalkan (kehidupan) akhirat” (QS. Al-Qiyaamah: 21). Untuk itulah Allah kemudian meridhoi Islam sebagai ad-Dien bagi Nabi Muhammad SAW beserta kaumnya untuk membimbing manusia dalam mengarungi kehidupan dunianya dan mempersiapkan kehidupan akhirat kelak secara berkeseimbangan. Diantara beberapa petunjuk atas hal tersebut, salah satunya dapat kita simak surat Al-Qashash ayat 77 berikut ini: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan)negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi,...”. Upaya tersebut sebelumnya telah dirintis oleh Rasul-Rasul terdahulu, namun setiap Nabi (Rasul) tersebut diturunkan, umat-umatnya menghianati mereka sebagaimana firman Allah berikut ini: “demi Allah, sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi setan, menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka dihari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih” (QS. An-Nahl : 36).
     Al-Qur’an telah menyampaikan pula bahwa agama tauhid adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Namun apa yang terjadi pada umat-umat terdahulu adalah mengadakan sembahan-sembahan lain selain Allah, disamping juga telah menjadikan dunia satu-satunya tujuan hidup mereka.
    Karena orientasi keduaniawiannya, manusia seringkali melupakan kehidupan akhirat. Karena cara pandangannya yang positivistik, manusia menafikan sesuatu yang bersifat rohaniah. Karena prasangkanya akan hidup abadi di dunia, manusia meninggalkan sesuatu yang bersifat spiritual. Manusia seringkali melupakan nilai-nilai luhur ajaran agama. Oleh karenanya terbentuklah manusia-manusia beragama tapi tidak beriman, padahal Al-Qur’an telah mengingatkan kita bahwa: ”orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa, bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat kelak” (QS. Yunus : 63-64).
     Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman, oleh Al-Qur’an dibedakan sebagaimana ayat berikut ini: “Orang-orang Arab badwi itu berkata, ‘Kami sudah beriman’. Katakanlah (kepada mereka) ‘Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah Islam’. Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu” (QS. Al-Hujurat: 14). Benar apa yang dikatakan Ibnu Atha’illah dalam kitabnya Al-Hikam, ‘Allah tidak bertempat di ruang yang tinggi, maupun di ruang yang rendah. Allah tidak berada di langit atau di bumi. Allah berada di dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman. Alangkah indahnya! Jika si hamba mencari Allah, maka carilah ia di sana’. Menjadi jelaslah bagi kita apa yang didefinisikan Al-Qur’an melalui surat Al-Anfaal ayat 2 yang artinya : sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
    Dan pengertian iman itu sendiri menurut ‘catatan kaki’ Al-Qur’an dan terjemahannya, adalah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Adapun tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang di kehendaki oleh iman itu.


Kesimpulan (analogous)
        
       Pada hakikatnya, manusia tercipta dari dua unsur yang berbeda, yaitu unsur bumi, unsur tanah yang rendah, dan unsur langit yang tinggi. Allah menciptakan manusia dari segenggam tanah kering yang berbau busuk. Itulah yang kemudian menjelma sebagai fisik manusia dengan segala macam ketertarikannya kepada dunia dan hal-hal yang berbau materi. Tak heran bila manusia butuh makan, minum, berhubungan seks, dan lainnya.
     Di sela-sela proses penciptaan itu berlangsung, Allah pun meniupkan ruh-Nya ke dalam wujud manusia tersebut hingga ia memiliki kecenderungan untuk “melangit”, menuju hal-hal spiritual. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi yang tidak bisa diukur dilaboratorium sekalipun. Dimensi inilah yang mengantarkan manusia pada keindahan, pengorbanan, pemujaan, rasa cinta, kesetiaan, kenikmatan beribadah, dan lainnya. Hingga akhirnya, manusia menuju suatu realitas Mahasempurna, yang gaib, tanpa batas, tanpa akhir, dan tanpa cacat. Itulah Allah Rabbul’alamin.
     Kualitas seorang manusia sangat di tentukan oleh interaksi kedua unsur tersebut. Apabila daya tarik unsur bumi lebih kuat, maka manusia tak akan jauh beda dengan binatang bahkan lebih buas atau lebih bodoh darinya. Ia akan sekuat tenaga mencari sebanyak mungkin materi, dengan mengabaikan suara hati. Tapi bila unsur langit lebih kuat tarikannya, maka manusia akan menjadi “malaikat” yang terlahir di dunia. Walaupun demikian, tanpa adanya jasad atau keinginan yang bersifat materi, ia tidak akan dianggap manusia.
     Idealnya, harus terdapat keseimbangan interaksi di antara keduanya, dengan posisi daya tarik unsur langit berada di atas unsur bumi. Mengapa demikian? Karena kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah ‘makhluk bumi’ melainkan ‘makhluk langit’ ungkap Thielhard de Chardin, seorang filosof Prancis. Hakikatnya, kita adalah makhluk langit yang diturunkan Allah ke bumi untuk menguji seberapa besar keimanan kita kepada-Nya serta menjalankan misinya sebagai ‘umat pertengahan’ sebagaimana firman Allah berikut ini: Wa kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatan,...” (QS. Al-Baqarah: 143). Allahu a’lam bis shawab !


=&=
By: Chairullah Idris