Ummatan
Wasathan
“Ya Tuhan kami,...sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat Rumah Engkau (Baitullah) yang di hormati, ya Tuhan kami (yang demikian
itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS. Ibrahim: 37).
Setelah Nabi Ibrahim As sampai pada suatu bukit
yang bernama ’Kida’, sekembalinya
dari mengantar Siti Hajar dan anaknya Ismail ke lembah Makkah, disitulah Nabi
Ibrahim berdo’a kepada Allah Swt sebagaimana tertera pada Qs. Ibrahim: 37
diatas. Dan do’a tersebut, kini telah terkabul. Sebagian dari umat di dunia ini
telah cenderung hatinya kepada ajaran yang dibawa Nabi Besar Muhammad Saw
sebagai titisan/keturunan dari Nabi Ismail As.
Dalam
perjalanan sejarahnya yang cukup panjang, Islam telah dianut oleh kurang lebih
1,2 miliar manusia di belahan dunia. Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia
lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang
panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi
mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki
tradisi pembaruan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman
terawal sejarahnya sampai sekarang. Kondisi dunia Islam saat ini berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, geliat untuk menjalankan syariah Islam
merebak di sepanjang nusantara, di sisi lain kehidupan hedonisme dan
materialisme menyerap habis-habisan budaya Barat yang berujung pada sekular dan
liberalnya pola hidup kaum muslimin. Dalam kenyataan sehari-hari, umat Islam
tidak satu suara dalam menjawab berbagai persoalan zaman. Kecenderungan untuk
berbeda-beda antar berbagai kelompok ini, sebenarnya lebih merupakan respons
yang berbeda dalam memahami ajaran-ajaran dasar agama Islam.
Bila dalam kenyataan, beralihnya suatu
peradaban ke peradaban yang lain, dan umat Islam saat ini sedang dalam keadaan
yang memperhatinkan, bukanlah faktor penyebabnya adalah ajaran/agama yang
dianut tersebut, sehingga dipandang perlu untuk di reformasi atau diperbarui, ini
rasanya kesalahan besar yang tidak mendasar. Karena, sejatinya Islam itulah
modernitas. Secara histori Islam hadir untuk memperbarui, meluruskan bahkan
merupakan bentuk kesempurnaan bagi agama sebelumnya. Hal ini bukan hanya diakui
oleh setiap umat Islam, tapi... seorang Muslim Pakistan misalnya pernah menulis
: “Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah
jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam
itu pasti akan gagal”.
Kemunduran umat Islam saat ini sebenarnya
tidak terlepas dari perjalanan sejarah umat-umat terdahulu yang telah
menjadikan umatnya beralih ekstrim ke kanan atau ke kiri, dimana semestinya
umat Islam harus mengemban misinya sebagai “ummatan wasathan”, umat yang meyakini
kepada ke-Esaan Allah; umat yang adil dalam segala hal/ segala urusan; umat
yang tidak mematikan akal ataupun menuhankannya; umat yang memandang agamanya
dari sisi rasionalitas dan sisi transendental; umat yang berpandangan hidup
paripurna, yang memberikan perhatian kepada aspek-aspek materi sama baiknya
dengan perhatiannya terhadap aspek-aspek spiritual; umat yang dalam
membelanjakan hartanya, tidak melampaui batas (berlebih-lebihan) dan tidak pula
sangat kikir; umat yang dalam berjalanpun diperintahkan agar sederhana; umat
yang menjadikan ‘wahyu’ sebagai petunjuk/pedoman dalam menggunakan akal pikiran
guna mengarungi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak; serta umat yang
telah diperintahkan Allah untuk memikirkan tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah
: 219-220).
Jadi, sangat tidak
beralasan bagi sebagian pihak yang menganggap bahwa agama Islam adalah agama
ukhrawi semata dan untuk itu perlu di ‘duniawi’kan, atau lebih populer dengan
istilah men ‘sekuler’ kan agama Islam. Pihak-pihak inilah yang terindikasi
adanya kesalahan /kekeliruan dalam menerima, menyerap serta menginterpretasikan
Islam kedalam kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan kelompok / komunitasnya.
Islam lahir dengan satu persepsi bahwa manusia cenderung mencintai dunia, sebagaimana
tergambar dengan jelas pada firman Allah berikut ini : “sekali-kali janganlah
demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia”
(QS.Al-Qiyaamah :20), “dan meninggalkan (kehidupan) akhirat” (QS. Al-Qiyaamah: 21).
Untuk itulah Allah kemudian meridhoi Islam sebagai ad-Dien bagi Nabi Muhammad
SAW beserta kaumnya untuk membimbing manusia dalam mengarungi kehidupan dunianya
dan mempersiapkan kehidupan akhirat kelak secara berkeseimbangan. Diantara
beberapa petunjuk atas hal tersebut, salah satunya dapat kita simak surat
Al-Qashash ayat 77 berikut ini: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu(kebahagiaan)negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi,...”. Upaya tersebut sebelumnya telah
dirintis oleh Rasul-Rasul terdahulu, namun setiap Nabi (Rasul) tersebut
diturunkan, umat-umatnya menghianati mereka sebagaimana firman Allah berikut
ini: “demi Allah, sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami kepada
umat-umat sebelum kamu, tetapi setan, menjadikan umat-umat itu memandang baik
perbuatan mereka (yang buruk), maka setan menjadi pemimpin mereka dihari itu
dan bagi mereka azab yang sangat pedih” (QS. An-Nahl : 36).
Al-Qur’an telah
menyampaikan pula bahwa agama tauhid adalah agama kamu semua, agama yang satu
dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. Namun apa yang terjadi pada
umat-umat terdahulu adalah mengadakan sembahan-sembahan lain selain Allah,
disamping juga telah menjadikan dunia satu-satunya tujuan hidup mereka.
Karena orientasi keduaniawiannya, manusia
seringkali melupakan kehidupan akhirat. Karena cara pandangannya yang
positivistik, manusia menafikan sesuatu yang bersifat rohaniah. Karena
prasangkanya akan hidup abadi di dunia, manusia meninggalkan sesuatu yang
bersifat spiritual. Manusia seringkali melupakan nilai-nilai luhur ajaran
agama. Oleh karenanya terbentuklah manusia-manusia beragama tapi tidak beriman,
padahal Al-Qur’an telah mengingatkan kita bahwa: ”orang-orang yang beriman dan
selalu bertakwa, bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
(dalam kehidupan) di akhirat kelak” (QS. Yunus : 63-64).
Islam yang dicapai dengan iman
dan Islam yang tanpa iman, oleh Al-Qur’an dibedakan sebagaimana ayat berikut
ini: “Orang-orang Arab badwi itu berkata, ‘Kami sudah beriman’. Katakanlah
(kepada mereka) ‘Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah Islam’. Iman
itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu” (QS. Al-Hujurat: 14). Benar apa yang
dikatakan Ibnu Atha’illah dalam kitabnya Al-Hikam, ‘Allah tidak bertempat di
ruang yang tinggi, maupun di ruang yang rendah. Allah tidak berada di langit
atau di bumi. Allah berada di dalam hati setiap hamba-Nya yang beriman.
Alangkah indahnya! Jika si hamba mencari Allah, maka carilah ia di sana’.
Menjadi jelaslah bagi kita apa yang didefinisikan Al-Qur’an melalui surat
Al-Anfaal ayat 2 yang artinya : sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
Dan pengertian iman itu sendiri menurut
‘catatan kaki’ Al-Qur’an dan terjemahannya, adalah kepercayaan yang teguh yang
disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Adapun tanda-tanda adanya iman
ialah mengerjakan apa yang di kehendaki oleh iman itu.
Kesimpulan (analogous)
Pada hakikatnya, manusia
tercipta dari dua unsur yang berbeda, yaitu unsur bumi, unsur tanah yang
rendah, dan unsur langit yang tinggi. Allah menciptakan manusia dari segenggam
tanah kering yang berbau busuk. Itulah yang kemudian menjelma sebagai fisik
manusia dengan segala macam ketertarikannya kepada dunia dan hal-hal yang
berbau materi. Tak heran bila manusia butuh makan, minum, berhubungan seks, dan
lainnya.
Di sela-sela proses
penciptaan itu berlangsung, Allah pun meniupkan ruh-Nya ke dalam wujud manusia
tersebut hingga ia memiliki kecenderungan untuk “melangit”, menuju hal-hal
spiritual. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi yang tidak bisa
diukur dilaboratorium sekalipun. Dimensi inilah yang mengantarkan manusia pada
keindahan, pengorbanan, pemujaan, rasa cinta, kesetiaan, kenikmatan beribadah,
dan lainnya. Hingga akhirnya, manusia menuju suatu realitas Mahasempurna, yang
gaib, tanpa batas, tanpa akhir, dan tanpa cacat. Itulah Allah Rabbul’alamin.
Kualitas seorang manusia sangat di tentukan oleh
interaksi kedua unsur tersebut. Apabila daya tarik unsur bumi lebih kuat, maka
manusia tak akan jauh beda dengan binatang bahkan lebih buas atau lebih bodoh
darinya. Ia akan sekuat tenaga mencari sebanyak mungkin materi, dengan
mengabaikan suara hati. Tapi bila unsur langit lebih kuat tarikannya, maka
manusia akan menjadi “malaikat” yang terlahir di dunia. Walaupun demikian,
tanpa adanya jasad atau keinginan yang bersifat materi, ia tidak akan dianggap
manusia.
Idealnya, harus terdapat
keseimbangan interaksi di antara keduanya, dengan posisi daya tarik unsur
langit berada di atas unsur bumi. Mengapa demikian? Karena kita bukanlah
manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk
spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah
‘makhluk bumi’ melainkan ‘makhluk langit’ ungkap Thielhard de Chardin, seorang
filosof Prancis. Hakikatnya, kita adalah makhluk langit yang diturunkan Allah
ke bumi untuk menguji seberapa besar keimanan kita kepada-Nya serta menjalankan
misinya sebagai ‘umat pertengahan’ sebagaimana firman Allah berikut ini: Wa
kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatan,...” (QS. Al-Baqarah: 143). Allahu a’lam
bis shawab !
=&=
By: Chairullah Idris