Jumat, 21 Desember 2012

MEMPERTEGUH IMAN TERHADAP AL-QUR'AN


   


Allah menganugerahkan Al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) ” (QS.Al-Baqarah:269).
    
       Mengungkap makna, kandungan, dan hikmah Al-Qur’an, sungguh merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Menyampaikan “pesan Allah” yang merupakan Dzat Yang Tak Terbatas ke dalam pemahaman manusia yang terbatas ini, tidak saja memerlukan suatu kearifan, ilmu, ketulusan hati, dan kebersihan jiwa, tetapi lebih dari itu, menuntut adanya ‘kedekatan’ jiwa antara mahluk dengan Khaliq-Nya. Meski begitu, tidak berarti bahwa upaya tersebut harus terhenti. Terbukti, bahwa sejak dulu hingga sekarang, upaya penafsiran Al-Qur’an masih terus berlangsung. 
       Telah berabad-abad lamanya, AlQur’an ditafsir ditengah peradaban dan pergaulan umat manusia. Selama sejarahnya yang panjang itu ia telah berperan sebagai unsur utama pembentukan kepribadian ajaran Islam. Al-Qur’an berkedudukan sebagai Kitab Suci, yang merupakan sumber utama rujukan segala hal yang bersangkut-paut dengan kepercayaan, peribadatan, pedoman moral dan perilaku individual, sosial masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidaklah berlebihan kiranya bila kita simak kesaksian dari seorang ilmuwan dan sejarawan besar Amerika, George Sarton (1884-1956) mengenai Al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam karyanya ' The Incubation of Western Cultuer in the Middle East' antara lain menyebutkan : " Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara langsung kepada nabi agama ini (Muhammad). Ajaran Al-Qur’an meliputi seluruh aspek kehidupan, nilai-nilai religi, ilmu pengetahuan, aturan perundang-undangan, tata laksana kehidupan, bahasa, dan lain-lain. Intinya menurut beliau, tiada satupun masalah kehidupan yang tidak tersolusikan dalam Al-Qur’an ". Jadi, jika kita hendak mengetahui wajah, watak dan hakikat ajaran Islam yang asli, maka kita harus menatap kepada Kitab Suci ini, menyimaknya secara mendalam, menghikmatinya serta mengamalkannya dalam keseharian kita.
       Dalam eskatologi Islam terdapat prediksi, atau lebih tepatnya, janji Tuhan, bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda atau ayat-ayatNya yang ada pada seluruh horizon dan dalam diri manusia sendiri, sehingga akan jelas bagi manusia bahwa “Dia” adalah benar. Umat Islam harus yakin bahwa Al-Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allah swt, dan dengan sendirinya, ia menegaskan dimensi universal. Tanggung jawab mereka di hadapan Allah adalah menjadikan pesan amanah ini diketahui dan menjelaskan kandungannya sebanyak mungkin.
       Tiada iman sejati tanpa pemahaman; bagi seorang Muslim, pernyataan ini berarti keharusan memahami sumber ajaran (Al-Qur’an dan Sunnah sebagai penjelas) dan konteks tempat dia hidup. Sejarah umat manusia sebelumnya dan berbagai keteladanan, banyak diukir dalam Al-Qur’an. Tetapi dalam realita, manusia cenderung membuat jarak jauh dari Al-Qur’an; mengapa? Memang terdapat banyak kendala dan rintangan. Semua itu disebabkan karena tabir yang menghijabnya amat tebal dan belum ada upaya maksimal untuk menyingkapkannya, meskipun Allah telah memberikan jalan  untuk itu dengan firman Nya : “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.Al-Qamar:17,22,32,40). ”Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” (QS.Az-Zumar:9). Jadi bagi orang-orang yang tidak menerima Al-Qur’an sebagai pelajaran, merekalah orang-orang yang enggan menggunakan akal. Dan bagi orang-orang tersebut, Allah telah menjanjikan akan menimpakan kemurkaannya” (QS.Yunus:100).
       Kiranya ayat-ayat tersebut diataslah yang memberikan landasan kuat bagi khalifah Umar bin Khattab r.a dalam memotivasi kaumnya agar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan sikap hidupnya sebagaimana tercermin dalam sebagian dari isi khotbah beliau sesaat setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius, antara lain sbb: “Wahai Kaum Muslimin, aku menasehatkan kepada engkau sekalian untuk membaca Al-Qur’an. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya. Reguklah isi ajaran Al-Qur’an itu. Kemudian amalkan apa yang diajarkan Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekedar ajaran teoritis, ia harus menjadi sikap hidup yang wajib diamalkan. Al-Qur’an tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi belaka; ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini”.       
       Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang merupakan pegangan utama untuk seluruh insan.  Didalamnya tersurat dan tersirat berbagai pedoman, inspirasi, isyarat, dan basis utama ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu Al-Qur’an memberikan penghargaan kepada orang-orang yang menggunakan akal untuk merenungi ayat-ayat Allah. Al-Qur’an senantiasa memadukan antara potensi qalbu dan akal. Qalbu (instrumen persepsi ma’rifat) berfungi memahami, menghayati dan merasakan keagungan dan kekuasan Allah;  sedangkan akal berfungsi memikirkan, merenungi, dan menganalisis ayat-ayat Allah yang ada di alam ini. Maka ayat-ayat Allah pada dasarnya tidak terbatas pada teks Al-Qur’an semata, tetapi juga terdapat di jagat raya.
       Betapa banyak ayat Al-Qur’an yang memotivasi umat Islam untuk selalu menggunakan akal pikiran dan penalaran. Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dan mendorong umat manusia untuk memperhatikan alam hewani dan nabati; dari yang paling kecil seperti nyamuk sampai kepada yang paling besar semisal gajah. Begitu pula Al-Qur’an memotivasi manusia untuk melakukan tadabbur (perenungan atau penyelidikan) terhadap segala kejadian yang menyangkut perjalanan masa, perputaran matahari, peredaran berbagai planet, bulan dan seluruh kosmos kita ini dengan segala isinya.
       Al-Qur’an sedemikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, Al-Qur’an menyifati masa Arab pra-Islam dengan jahiliah (kebodohan).  Di dalam Al-Qur’an terdapat cukup banyak ayat yang menyebut tentang ilmu pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu, bahkan bagi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, Islam memposisikannya pada tingkatan ketiga setelah Allah dan malaikat-Nya dalam rangka meminta petunjuk kepada Allah dan mengakui kebera- daan dan keesaan-Nya (lihat QS.Ali-Imran :18).
       Tak dapat disangkal, bahwa kelahiran Islam adalah untuk merombak peraturan-peraturan jahiliah, membenarkan keyakinan beragama umat yang lain, mengatur urusan-urusan kehidupan, menggunakan akal dalam hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Kemudian membangun kebesaran umat, memposisikannya dalam keagungan dan kemuliaan. Hal ini bukan sekedar klaim dari kita umat Islam, namun lebih dari itu seorang orientalis berdarah Italia, David de Santillana (1845-1931) dalam karyanya 'Al Qanun wal Mujtama' antara lain menyebutkan : "Ajaran Islam datang meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaran-Nya. Ayat-ayat Al-Qur'an, juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa. Dengan demikian lanjutnya, ajaran agama ini meluruskan tabiat manusia kepada jalur yang benar selaras dengan kemuliaan manusia serta memberi solusi segala masalah yang dihadapi umat manusia".
        Menjadi jelas, perbedaan penghormatan ilmu dan pikiran diantara orang-orang muslim dan orang-orang Eropa (Barat) pada abad pertengahan. Orang-orang muslim telah menjadi  guru-guru di seluruh penjuru dunia dengan keutamaan Al-Qur’an, sedang selain mereka tenggelam dalam kebodohan. 

Tingkat pemahaman Al-Qur’an
      Al-Qur’an itu termasuk kitab / buku yang ‘tak pernah tamat’ dibaca. Itu artinya kitab yang harus terus-menerus dibaca ulang, dipilih-pilih lagi, diingat-ingat lagi. Mengapa demikian, karena ternyata tingkat pemahaman yang terkadung di dalamnya bisa berlapis-lapis. Meskipun Al-Qur’an al Karim diturunkan dalam bahasa arab, dan oleh karenanya pada umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya dengan mudah, namun diantara para sahabat Rasul sendiri, mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an. Hal ini tentunya di sebabkan antara lain karena perbedaan tingkat pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri, disamping ada sahabat yang kerab mendampingi nabi Muhammad Saw, sehingga lebih banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan.
       Ayat-ayat Al-Qur’an pada garis besarnya dapat dibedakan antara ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat. Meskipun sebagian ulama cenderung pasrah dalam menyikapi ayat-ayat Mutasyabihat, para saintis hendaknya menyikapinya sebagai tantangan dan sekaligus bahan kajian untuk mengembangkan penalaran ilmiah. Karena, Al-Qur’an ini diturunkan agar dibaca, dipahami dan diamalkan pesan-pesannya, maka untuk menafsirkan ayat-ayat dan menangkap isyaratnya adalah tugas manusia ;  karena Al-Qur’an ini diperuntukkan sebagai petunjuk bagi manusia.
      Oleh sebab itu, bila kita ingin mengkaji dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik sedangkan kita tidak menguasai bahasa aslinya (bahasa Arab), maka sebaiknya kita dapat memper- gunakan beberapa sumber rujukan, seperti: terjemahan, jika mungkin dalam beberapa bahasa, dan perlu pula didukung oleh sains.

Keraguan terhadap Al-Qur’an
       Sejak awal turunnya Al-Qur’an sampai sekarang banyak orang yang meragukan Al-Qur’an atau tidak mau mempercayai dengan berbagai macam dalih, meskipun sudah ditunjukan bukti-bukti kebenarannya. Mereka menuduh bahwa Al-Qur’an merupakan hasil dari sihir Muhammad;  Al-Qur’an hanya jiplakan dari alkitab milik kaum yahudi dan kaum kristen dan lain sebagainya.
      Meskipun pihak kompetensi nampaknya berhasil membuktikan kekeliruan sejumlah argumentasi aktivis liberalisasi Islam, penulis juga merasa masih risau dengan keseriusan kaum Muslimin menghadapi serbuan pemikiran orientalis di bidang Al-Qur’an ini. Mereka bekerja luar biasa untuk meruntuhkan Al-Qur’an. Selama puluhan tahun mereka mengumpulkan berbagai manuskrip dan berkeliling ke berbagai negara Arab untuk itu. Lebih berat lagi, faktanya, ‘murid-murid orientalis’ dari kalangan Muslim kini juga aktif ikut menyerang Al-Qur’an.
      Al-Qur’an adalah kitab suci yang andai pepohonan di dunia di jadikan pena serta seluruh samudera menjadi tintanya, tak kan habis mengurai makna-makna Al-Qur’an. Mengapa? Karena Al-Quran adalah Kalamullah Dzat Pencipta langit dan bumi dan seisinya. Dzat yang tentunya Maha Mengetahui tentang apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.
        Namun demikian, tabiat buruk manusia yang selalu ‘melampaui batas’ dan ‘berpaling’ telah memposisikan Al-Qur’an sebagai objek cemoohan, pelecehan dan pengingkaran. Tentu, bukan hanya orang kafir saja yang melakukannya, diantara mereka adalah orang Islam itu sendiri. Betul... tanpa disadari, umat Islam telah mengotori Al-Qur’an baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu ketika Al-Qur’an dipinggirkan dari kancah kehidupan.
       Realitas inilah yang terjadi. Al-Qur’an hanya dibaca beramai-ramai ketika ada upacara kematian orang yang mungkin selama hidupnya tidak pernah mambaca bahkan menyentuh Al-Qur’an. Hari turunnya Al-Qur’an memang dimeriahkan bahkan menjadi hari nasional di berbagai negeri muslim. Bahkan hampir setiap tahun, seni membaca Al-Qur’an dilombakan dari tingkat kecamatan hingga internasional. Tapi, untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan, semua serempak menjawab “nanti dulu... “. Untuk mereka-mereka inilah kiranya Allah telah mempertanyakan melalui firmanNya : “..; Maka kepada berita  manakah lagi  mereka  akan  beriman selain kepada Al-Qur’an itu ?” (QS. Al-A’raf: 185).

Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ?
      Sejarah atheis dalam Islam memang tidak banyak dikenal, bahkan hampir dinyatakan tidak pernah ada. Alasanya adalah tidak mungkin ada atheis dalam Islam. Mungin secara ringkas dapat dikatakan disini bahwa kata ateis dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai Islam tanpa Al-Qur’an. Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ? Karena Al-Qur’an disini dianggap tidak ada sebagai konsekuensi dari tidak diakuinya keberadaan kenabiaan. Dalam kerangka yang lebih besar mungkinkah beragama tanpa kitab suci ?
       Atas pertanyaan ini, para orientalis memberikan perhatian yang besar terhadap spirit atheis dalam Islam yang memiliki sejarah mengasyikkan. Mereka memberikan perhatian lebih terhadap sejarah ini, sebab kebanyakan teori aliran Mu’tazilah tidak dapat dipahami tanpa mengetahui berbagai perseteruan yang sengit antara tokoh-tokoh Mu’tazilah dan kelompok ateis, sebagai kelompok yang mengobarkan perseturuan. Adanya perseturuan inilah yang mendesak kelompok Mu’tazilah untuk mengambil sikap tersendiri dalam menghadapi kelompok tersebut. Bahkan, seandainya kita berkesempatan untuk mengkaji pembentukan berbagai teori yang dimiliki oleh aliran Mu’tazilah secara teliti dan cermat mengamati perkembangannya dan menggambarkan kecenderungan yang diikutinya, pastilah kita dapat menemukan bahwa ateis memiliki pengaruh besar dalam pemben- tukannya.
        Oleh sebab itu, bila hingga saat ini masih ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya seorang muslim, namun baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan menyatakan bahwa sebenarnya hukum Allah itu tidak ada, bahkan sama sekali tidak mempercayai adanya hukum Allah, maka itulah bagian dari perjalanan sejarah kelam yang selama ini banyak ditutup-tutupi;  yaitu sejarah Ateis dalam Islam.

Generasi Al-Qur’an
        Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya di awal periode Islam disebut sebagai ‘Generasi Qur’ani’.  Mereka merupakan generasi terbaik Islam yang pernah hadir di tengah umat manusia. Generasi inilah, menurut Sayyid Quthub, yang ditunjuk oleh firman Allah : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali-Imran:110). Generasi terbaik Islam seperti diatas, menurut Quthub, belum pernah lahir kembali, sampai masa kita sekarang.  Padahal, lanjutnya, Al-Qur’an masih di tangan kita, tetap utuh seperti dahulu.
       Sementara itu kaum Yahudi Kembali berusaha menyusupkan kekuatan spiritual dan motivasi-motivasi keagamaannya. Dengan kekuatan itu mereka kembali membangunkan umatnya dari ketertidurannya, kembali mengumpulkan kelompok-kelompoknya yang terpecah-belah, dan kembali menghidupkan bahasanya dari kematiaan. Hingga suatu saat mereka kembali menghadapi kita dengan Taurat ditangan, sementara kita tidak lagi memiliki Al-Qur’an ! . “Mereka” kembali bersatu dalam agama Yahudi sementara kita telah terpisah jauh dari Islam! Mereka kembali pada ajaran-ajaran Talmud, sementara kita hanya merasa bangga dengan Bukhari dan Muslim! (DR. Yusuf Qardhawi; Titik Lemah Umat Islam; 2001).
        Kembali pada konteks ayat tersebut diatas (QS. Al-Baqarah : 269), dimana Allah telah menjanjikan kepada kita semua bahwa : “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki;...”. Pertanyaannya, siapakah dan bagaimanakah orang-orang yang Dia kehendaki tersebut?
        Bila kita kembali mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi “Faz-kuruuniii  ‘az-kurkum washkuruu lii wa laa takfuruun” (Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku Ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari Nikmat-Ku). Maka, mudah-mudahan kita semua sepakat bahwa orang-orang yang ’Dia’ kehendaki, tentunya adalah orang-orang yang menghendaki anugerah Allah tersebut! Untuk itu kiranya kita wajib memanjatkan do’a dengan khusyuk kehadirat-Nya : “Allah-humma a-‘innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika”.  Insya Allah !!!


                                                                                ==@==
                                                                           [15/12/2012]

Oleh : Chairullah Idris  ~  e-mail : chairullah.idris@gmail.com     
                                                                                                   

Selasa, 11 Desember 2012

MAKNA IBADAH MENURUT AL-QUR'AN


                       MAKNA IBADAH  MENURUT AL-QURAN
                       
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka beribadahlah kepada Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia    
( yang patut disembah ) ?”   (QS. Maryam :65)
      
       Dalam salah satu kolom harian Ibukota, terdapat headline yang berjudul  “Bisnis dan Ibadah bisa dipadukan’’. Hal ini dapat dianalogikan  bahwa  kegiatan duniawi dan ibadah adalah dua hal yang terpisah, sehingga terpikir oleh penulisnya kedua hal tersebut masih dapat dipadukan atau disatukan.
     Tentunya, penulis artikel tersebut tidaklah sendirian yang beranggapan demikian, banyak kalangan muslim lainnya yang berpendapat seperti itu. Terlebih-lebih lagi mereka yang  telah terkontaminasi oleh paham sekular liberal yang sejak masa penjajahan pun sudah ditanamkan oleh Snouck Horgronye, yang pada saat itu berperan sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah keislaman dan penasihat Menteri  jajahan.
       Salah satu kebijaksanaan yang disarankannya adalah, pemerintah agar tidak terlalu optimis terhadap usaha pemurtadan umat Islam. Usaha permurtadan itu tidak mungkin berhasil karena kenyataan menunjukan bahwa semakin hari pengaruh kebudayaan santri semakin berkembang luas. Karena itu, usaha kristenisasi yang dilakukan tidak terlalu besar manfaatnya. Untuk itu dia lebih memilih memberikan kebebasan dalam bidang agama dalam arti sempit, dimana pemerintahan Hindia Belanda diminta untuk melestarikan tradisi nenek moyang orang Indonesia dan menempatkan hukum Islam kedalam hukum adat, serta mengusahakan agar Islam hanya menjadi “Agama Masjid’’. Artinya agama hanya dijadikan sekedar ibadah ritual semata.
       Hingga memasuki masa kemerdekaan pun upaya tersebut tetap berlanjut bahkan semakin meluas dan semakin mengakar dan terlebih lagi, pengaruh Kemal Attaturk saat itu sangat dominan mewarnai pola pikir pemimpin negeri kita dalam menyiasati nilai-nilai agamis yang dianggap menghambat usaha menuju negara modern yang baru saja terlepas dari tangan penjajah.
      Dengan penggalan ayat 112, Surat Ali-Imran ‘hablim minallaahi wa hablim minan-naasi’, para sekularis militan dan modernis berusaha keras menyakinkan umat, bahwa pemisahan antara hubungan dengan Allah dan hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan) adalah merupakan petunjuk dan perintah Allah yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Lebih lanjut mereka menekankan bahwa hubungan dengan Allah hanya terjadi manakala kita berada di Masjid, sedangkan di luar Masjid terjadilah hubungan antara sesama manusia dengan media hukum / peraturan ciptaan manusia, tanpa sedikitpun campur tangan Allah. Sedangkan ayat tersebut sesuai dengan Asbabun nuzul adalah ayat yang ditujukan kepada kelompok Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Allah. Dan Allah akan menimpakan kehinaan, kerendahan dan kemurkaan apabila  mereka tidak memperdulikan Perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan Perlidungan yang diberikan oleh Pemerintah Islam atas mereka.
       Ayat tersebutlah yang sengaja disalah-fahami dan dimanfaatkan kalangan sekular untuk memisahkan antara kehidupan keagamaan dengan kehidupan keduniawian bagi umat Islam. Sedangkan Islam yang kaffah, menganggap setiap gerak manusia di muka bumi ini dan apa saja hal baik yang dilakukan, adalah komitmennya terhadap perintah Allah yang terkandung di dalam petunjuk Nya,  yakni Al-Qur’an.
      Demikianlah sekelumit sejarah perkembangan kehidupan beragama di bumi Nusantara ini, sehingga terciptalah keberagaman cara umatnya dalam menyikapi ajaran agamanya. Sampai-sampai para tokoh agama sendiri dan para cendekiawan muslimnya bisa jadi berang dan murka begitu mendengar adanya upaya penegakan Syariat Islam. Bahkan sampai tindakan memvonis bahwa upaya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Dengan perkataan lain bahwa orang-orang yang berusaha untuk beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, digolongkan sebagai orang-orang yang tidak berdaya dan tidak rasional. Nauzubillah hi min zalik! Ya Allah, ampunilah dosa besar hamba-hambaMu itu...!
       Sosiolog Muslim Akbar S. Ahmed menegaskan dalam kajiannya tentang Citra Muslim (1992) : “Munculnya citra Islam yang buruk di mata dunia sebagaian karena gagalnya kaum Muslim untuk menjelaskan tentang diri mereka”. Apapun, stigmatisasi negatif terhadap umat Islam itu telah dan sedang berlangsung, dan itu sangat merugikan umat islam. Karena itu, harus ada upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam , khususnya pemahaman tentang pengertian Ibadah menurut Al-Qur’an.

Mengapa harus menurut Al-Qur’an ?
   Dengan meminjam pendapat dari Prof. Dr. A Syafi’i Maarif dalam satu acara seminar Internasional di Jakarta beberapa waktu lalu bahwa, terkait dengan respons terhadap dunia global, Islam menjelma menjadi dua wajah yaitu Islam quranik dan historis. Islam quranik, merupakan representasi pandangan dunia Islam berdasarkan interpretasi Al-Qur’an yang otentik. Sedangkan Islam histori, merupakan pergumulan dan interaksi Islam dengan sejarah yang tak jarang berdarah dan tak sesuai dengan misi yang dibawa Nabi Muhammad. ”Keberadaan suniisme, syiisme maupun khawarijisme merupakan bagian dari Islam histori’’. Pendek kata jelas beliau, semua teori politik kultural buatan manusia terbatas oleh waktu dan harus diletakkan di bawah cahaya Al-Qur’an jika seseorang ingin menyimpulkan tentang Islam sebagai bagian dari kekuatan spritual dalam sejarah manusia.
    Sebagai contoh lain, lanjut beliau: Keterbukaan dunia, membuat Eropa menjadi bangsa penakluk. Dan dunia Muslim yang jauh dari kerangka sain dan teknologi modern dengan mudah menjadi korban dari imperialisme dan kolonialsme, karena telah lama mengabaikan Al-Qur’an.

Makna Ibadah
       Dengan memahami ajaran Islam secara benar, kita bisa menyadari dengan sepenuhnya tujuan dan tugas hidup di permukaan bumi ini. Tujuan hidup manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana FirmanNya: “Wa maa khalaqtul-jinna wal-‘insa ‘illaa liya’-budunn”.-“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyebah / beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat :56)
      Ibadah dalam ayat ini harus dipahami secara luas, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan segala sesuatu yang diridhai dan disukai oleh Allah Swt, baik amalan batin maupun lahir. Baik perkataan maupun perbuatan.
       Pada hakikatnya Manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepadaNya. Maka dari itu, aspek ibadah yang menjadi alasan diciptakannya manusia, harus dipahami dalam koridor yang benar.
       Pada prinsipnya, ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun anjuran dan perintahNya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-laranganNya, jika manusia mematuhi nya, maka semuanya mempunyai nilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia  yang  sesuai  dengan  ketentuan  Allah SWT  bernilai ibadah.
        Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab-akibat). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah, karena Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
        Secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, masing-masing ibadah khassah atau ibadah mahdah, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaanya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ‘ammah’ (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah semata, seperti minum, makan, bekerja (QS. At-Taubah : 105),  mencari nafkah (QS. An-naba: 11), dan berbisnis  (QS Al-Furqan:47), sampai dengan kegiatan me-manage pun merupakan kegiatan dari ibadah kepada Allah Swt (QS. Az-zukhruf: 32).
       Jadi, jelaslah disini bahwa semua kegiatan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini adalah bentuk dari pengabdian kepada Allah semata yang diaplika- sikan  melalui  ’amal ibadah’  yang  kelak  akan dipertanggung-jawabkan di hari akhir.
       Islam adalah agama yang dirahmati Allah. Islam dikenal sebagai agama yang syaamil dan kaamil (lengkap dan sempurna). Agama samawi ini tidak hanya memperdulikan kepentingan individu, tapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat. Islam tidak hanya memfokuskan diri pada kesalehan individu, tetapi juga pada kesalehan sosial. Bila kita perhatikan ibadah-ibadah yang kita lakukan sehari-hari, maka kita akan memahami bahwa seluruh ibadah itu mengandung unsur ibadah / kesalehan sosial dan ibadah / kesalehan individu. Kita tidak diperkenankan hanya melakukan ritual individu, dan mengabaikan ritual sosial. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini tidak dapat dipisah-pisah. Kedua ibadah itu merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang kesemuanya adalah wujud dari pengabdian kepada Allah Swt dan telah diatur dalam Al-Qur’an al karim.
      Memang, bila kita berniat mengaplikasikan ajaran Islam haruslah berangkat dari pemahaman yang benar terhadap Islam itu sendiri.  Islam tidaklah dipahami sebagai agama dengan sejumlah upacara ritual atau hanya sebagai sumber nilai luhur semata. Islam harus dipahami sebagai agama yang menjadi ‘manhajul hayah’ yang mengatur segala kehidupan manusia (ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, dan pendidikan). Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur oleh Islam. Agama Islam adalah sumber segala nilai yang abadi, universal dan komprehensif yang tidak bisa ditandingi oleh nilai manapun di atas dunia ini.
        Namun, kita sebagai pemeluk Islam dituntut untuk dapat menerjemahkan nilai-nilai Islam itu dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan, sehingga keistimewaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam betul-betul dapat dirasakan oleh umat manusia seluruhnya.
    Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim, dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim patut diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syariat tentang kewajiban pengabdian kepada Allah Swt sebagaimana kita berikrar lima kali dalam sehari-semalam: “Sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS.Al-an’am: 162).  Amien..!!!

                                                                          ==@==

Oleh :  Chairullah Idris  [08/12/2012]
    

Selasa, 04 Desember 2012

PENCIPTAAN MANUSIA,Dari Persfektif Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan


                                 


      Tanpa disadari bahwa sejak munculnya “Teori Evolusi” hingga detik ini, suatu persoalan besar masih tetap berlangsung antara agama dengan ilmu pengetahuan. Perbedaan paham antara kaum Creationists (penciptaan) dengan kaum Scientist (ilmuwan) terletak pada kesenjangan usia alam semesta dan asal-usul manusia di muka bumi. Para ilmuwan yang kritis menilai bahwa kisah penciptaan di dalam Kitab suci sebagai sesuatu hal yang tidak rasional karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bukti-bukti fosil yang ditemukan diseluruh belahan bumi itu merupakan saksi bagi suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, menurut mereka. Adanya sangkaan atau kecurigaan terhadap Kitab suci semata-mata karena adanya kesalah fahaman dalam menginterpretasi wahyu yang bersifat universal itu. Oleh karena itu Kitab suci (al-Qur’an) sebagai firman Allah, tertantang akan hal ini untuk dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi para ilmuwan.

Sekilas Teori Evolusi         
      Munculnya teori evolusi dari Charles Darwin (1809-1882) pada hakikatnya merupakan kelanjutan saja dari teori ‘Omne vivum ex vivo’ yang menyatakan bahwa timbulnya makhluk hidup tidak dari yang mati, melainkan dari makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Teori ini muncul, setelah Lazardo Spanlanzani, Francesco Redi (keduanya dari Itali) dan Louis Pasteur dari Perancis mendeklarasikan teori tersebut diatas (tepatnya 1860). Bila kita telusuri jauh ke belakang sebelum Darwin mengemukakan dua teori evolusi yang terkenal itu, kita akan menemukan bahwa cendekia Yunani Purbapun pernah mengemukakan pendapatnya bahwa  species  yang  ada sekarang ini meskipun telah mengalami pelbagai perubahan evolusioner, tetap berasal dari species yang ada dari jaman sebelumnya. Dalam gugus pemikiran cendekia Muslim, kita mendapati tokoh seperti Al-Jahiz dan Ibnu Maskawaih (940-1030) yang meskipun kebenaran ilmiah boleh dipertanyakan, tetapi menunjukkan bahwa cendekiawan Muslim kita pernah membuka pemikiran dalam bidang / masalah evolusi ini. Evolusi, menurut Maskawaih berlangsung dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan selanjutnya ke alam binatang, dan seterusnya ke alam manusia. Lebih lanjut menurutnya, transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (karang), dari alam tumbuhan ke alam binatang melalui pohon kurma, dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.
         Beberapa ulama Islampun telah mendahului, bahkan melebihi Darwin dalam membuktikan bahwa ada kemiripan antara manusia dan kera. Kamaluddin Muhammad ad-Damiri dalam bukunya berjudul ‘Hayat al-Hayawan al-Kubra’ ketika menyinggung kera menyebutkan, “Binatang yang mirip dengan manusia dalam kebanyakan karakternya. Kera dapat tertawa, bergembira, berceritera, dan mengambil sesuatu dengan tangannya. Ia memiliki jemari yang begitu sempurna hingga kuku, di samping dapat menerima pelajaran dan pengarahan. Ia juga akrab dengan manusia, berjalan dengan kedua kaki dan kedua tangannya dan terkadang dengan kedua kakinya saja, dan ia juga mempunyai bulu mata. Ciri-ciri ini tidak dimiliki oleh binatang lainnya”.  
         Dalam bukunya “the origin of  species” Darwin tidak dengan tegas menyebutkan bahwa manusia itu berevolusi. Dia hanya menggambarkan bahwa nenek moyang manusia itu primitif. Kemudian untuk mengambil model manusia yang primitif itu, dibandingkan / diambil hewan yang paling dekat sekali kemiripannya dengan manusia. Dibandingkannya mana ciri-ciri yang sama dan yang beda antara manusia dan monyet.  Lalu ia berpendapat bahwa nenek moyang manusia itu mirip kearah monyet. Jadi evolusionist yakin kita punya nenek moyang yang sama dengan monyet, terutama dengan simpanse.
        Sejak saat itulah masalah kepurbakalaan dan asal usul manusia mulai hangat dibicarakan oleh para ahli, sehingga membuat Darwin semakin giat mempelajari masalah tersebut, dan buku pertamanya tidak membuat dia puas, sehingga di tahun 1871 dengan memberanikan diri dia menerbitkan buku keduanya yang lebih radikal dan menghebohkan dunia, buku itu berjudul ‘The Decent of Man’ (asal-usul manusia), isinya lebih mempertegas lagi tentang evolusi suatu mahluk hidup dari binatang kera menuju manusia dengan mengalami proses ‘struggle of life’.
       Dari sinilah awal mulanya timbul pertentangan antara agamawan dengan para ilmuwan dan antara sesama ilmuwan  bahkan  antar  sesama  agamawan. Berlarutnya polemik masalah Adam dan Anthropus sebetulnya disebabkan tidak adanya bukti-bukti yang kuat. Di pihak teori Darwin tidak mampu membuktikan adanya ‘ the missing link’ nya sehingga banyak pihak yang meragukannya.
       Adalah Stephen Meyer, pendukung teory ’ intelligent design’ dari Amerika yang juga pengajar senior dari Discovery Institute, Seattle, menyatakan bahwa teori Darwin modern mengandung terlalu banyak penjelasan yang tidak memiliki bukti.  Para pendukung teori intelligent design juga mengatakan kerumitan dan teraturnya dunia ini terjadi akibat peran intelligent cause, Sang Pencipta. Selain itu, Harris, seorang pakar asam lemak omega 3 yang juga salah seorang pendiri Intelligent Design Network Inc, menolak untuk meyakini kehidupan sederhana kuno menjadi cikal bakal terbentuknya makhluk hidup yang lebih kompleks. Evolusi selama miliaran tahun diragukannya dapat mengantarkan suatu makhluk menjadi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
     Sebenarnya penolakan atas teori evolusi bukan saja baru akhir-akhir ini terjadi, Carolus Linnaeus; seorang ahli ilmu hayat abad ke-18 dari Inggris menyatakan, sampai abad ke-19 pendapat umum mengatakan bahwa segala jenis dari awal sudah ada. Evolusi dalam arti peralihan dari jenis yang satu ke jenis yang lain tidak diakui, bahkan beliau berpendapat bahwa segala jenis sudah ada dari awal. Dan diluar dugaan ternyata Darwin sendiri juga meragukan kebenaran teori yang diciptakannya itu. Ia tidak mendapat bukti bahwa lapisan-lapisan batu di dalam tanah mengandung data dan catatan yang kronologis sepanjang waktu geologis yang enam (dari Azoicum sampai dengan Cenozoikum) mengenai evolusi hidup itu. Yang didapatkan justru berlawanan dengan teorinya. Lebih spesifik lagi, kontradiktif yang ditunjukkan dalam bukunya yang pertama (The Origin of species), dimana menurut Darwin, dalam species yang sama terdapat perbedaan-perbedaan yang kecil (variability).  Berkat perbedaan-perbedaan itu muncullah ‘the struggle for life’. Individu yang lemah akan hilang, sedangkan yang kuat akan bertahan (survival of the fittest).  Sifat-sifat yang lebih bisa bertahan itu diwarisi oleh generasi berikutnya sehingga lahirlah bentuk-bentuk baru yang kualitasnya lebih tinggi daripada sebelumnya (natural selection). Berkenaan dengan keraguan Darwin tersebut, sejak awal salah seorang pengkritik Darwin paling sengit, Uskup Samuel Wilberforce (1886) dari gereja Anglikan Inggris mempertanyakan apakah Darwin keturunan kera melalui keluarga kakek atau neneknya?  Hal ini tidak mungkin katanya, karena mereka masih ada bersama kita. Lebih lanjut beliau mengatakan teori Darwin adalah bertentangan dengan kitab Suci, Wahyu Ilahi dan kewibawaan gereja.
       Evolusi bagi ilmu positif sampai sekarang masih merupakan hipotesis, tetapi makin umum diterima. Hal yang sama berlaku juga untuk evolusi manusia dari salah satu jenis binatang. Sebagai faktum, evolusi manusia belum terbukti, tetapi sebagai hipotesis makin umum diterima terutama dalam ilmu hayat.

Pandangan Al-Qur’an
       Ada dua kata dalam Al-Qur’an yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar dan al-insan.  Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al-Qur’an sendiri, pengetian kedua kata tersebut saling berbeda.  Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali di berbagai surah. Dari pengertian-pengertian tersebut,  beberapa diantaranya berbicara tentang hal  penciptaan” manusia itu sendiri. Penciptaan manusia (dalam arti kata al-basyar) di dalam al-Qur’an diulang sebanyak empat kali, sementara penciptaan manusia (dalam arti kata al-insan) diulang sebanyak tiga puluh lima kali.  Kedua kata itu mempunyai karakteristik makna sendiri-sendiri sesuai dengan konteks.
        Sedangkan kata Al-Insan bukan berarti basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, al-insan mengandung pengertian makhluk mukallaf (ciptaan Tuhan yang dibebani tanggung jawab), pengemban amanah Allah dan Khalifah Allah SWT di atas bumi. Al-Insan dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam Al-Qur’an. Penjelasan tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia dalam pengertian al-insan. Dari berbagai ayat yang memaparkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia inilah, Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada Universitas Qurawiyyin di Maroko)  mengatakan bahwa manusia (al-insan) adalah Khalifah Allah Swt di atas bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah karena kekhususannya adalah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai ilmu, akal, dan memiliki kemampuan al-bayan (berbicara). Yang dimaksud dengan kemampuan berbicara (al-bayan) adalah  pembicaraan yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti al-basyar berubah menjadi manusia yang berarti al-insan yang sanggup menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk. Perubahan tersebut bukanlah terjadi dengan sendirinya, namun campur tangan Sang Pencipta-lah semua itu dapat terjadi. Mari kita simak bersama firman Allah terhadap malaikat dalam surat Shad (38) ayat 71 yang berbunyi: “ Iz Qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii khaaliqum basyaram min tiin”. Setelah al-basyar yang diciptakan dari tanah ini berkembang biak dalam kurun waktu yang tidak kita temukan pertandanya dalam Al-Qur’an, maka Allah berkehendak / ingin menjadikan atau mengangkat khalifah yang akan mewakili semua urusanNya di muka bumi. Untuk itu Allah kembali berfirman kepada malaikat: “ Wa iz qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii jaa’ilun fil-ardi khaliifah; …”(QS: Al-Baqarah (2): 30). Dari dialog tersebut para malaikat bertanya: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah’. Tentunya bagi kita orang yang beriman, dialog tersebut merupakan petunjuk bahwa pada saat itu para malaikat telah mengetahui adanya makhluk (al-basyar) yang hidup di muka bumi ini yang dikira akan diangkat sebagai khalifah.  Namun Allah menutup kecemasan para malaikat tadi dengan berfirman: ‘ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.
       Nampaknya benar, hanya Allah sendiri yang Maha mengetahui, apa yang Ia kehendaki, maka terjadilah ia. Dan untuk itu Allah melanjutkan firmanNya kepada malaikat: “Fa izaa sawwaituhuu wa nafakhtu fiihi mir ruuhii fa qa’uu lahuu saajidiin” (QS. Shad (38): 72);  yang artinya ‘Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya’. Kepada siapa, Allah memerintahkan malaikat bersujud, bila tidak kepada Adam (al-insan). Dan dari kedua ayat tersebut diatas, maka jelas bahwa ciptaan Allah tidak sempurna jika manusia (al-basyar) tidak diciptakan lebih dahulu dari  manusia Adam (al-insan), karena ini adalah prinsip kesempurnaan ciptaan Allah. Untuk itu, Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya melalui Rasulullah Saw agar melakukan perjalanan dimuka bumi, dan memperhatikan serta mengamati bagaimana Allah menciptakan makhluk (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Qul siiruu fil-ardi fanzuruu kaifa bada-al khalqa summallaahu yunsyi’un-nasy’atal aakhirah, innallaaha ’alaa kulli syai’in qadiir” (QS. Al-‘Ankabut (29): 20).  Dari ayat diatas, kita dapati dua kata yang berlainan arti, yaitu menciptakan dan menjadikan. Mencipta artinya sesuatu yang terjadi dari yang tidak ada menjadi ada, sedangkan menjadikan adalah dari bahan yang sudah ada sebelumnya, dijadikan sesuatu sesuai kehendakNya.  Allah menciptakan Al-Basyar dan kemudian menjadikannya sekali lagi dalam wujud Al-Insan.
       Kesempurnaan apa saja yang telah  dianugerahkan Allah terhadap makhluk manusia (al-insan) ? Dr. Abdus Shobur Syahin (Ulama Mesir) dalam bukunya: ‘Abi Adam, Qishshah al-Khaliqah Baina al-Usthurah wa al-Haqiqah’ antara lain menyebutkan bahwa selain penyempurnaan materi dan fisik, manusia (al-insan) juga dilengkapi Allah dengan keahlian, bakat, kemampuan, dan potensi diri yang agung yang esensinya adalah akal sempurna. Dengan akal, makhluk ini berbuat sesuatu dalam hidupnya, dan darinya kehidupan sosial itu ada. Mereka dengan akalnya melakukan interaksi dengan yang lain lewat medium bahasa.  Disinilah, manusia dalam pengertian al-insan itu ada.  Lahirlah Adam abu al-insan yang menerima tanggung jawab (taklif) untuk meng-Esakan dan menyembah Allah.
      Tatkala tanggung jawab dan amanah itu dijalankan dengan baik, manusia dikatakan sebagai ‘ahsan taqwim’ (penciptaan yang sempurna). Namun tatkala tindak-tanduk dan bicara manusia itu tidak lagi mempergunakan akal pikiran, maka kemanusiaan manusia waktu itu gugur dan ia kembali sebagai ‘ basyar’, yang hanya memiliki anggota tubuh yang membutuhkan makan dan minum serta berjalan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedemikian belum berartinya seorang basyar, sampai-sampai di dalam al-Qur’an tak satupun kata al-basyar digunakan sebagai subyek yang diajak dialog.  Faktanya, di dalam al-Qur’an tidak ditemukan rangkaian kata ‘ya ayyuha al-basyar’ tetapi yang ada hanyalah kata ‘ya ayyuha al-nas’ (bentuk jamak dari kata al-insan).
       Terkait hal ini, sesungguhnya kita telah diingatkan oleh Allah Swt tentang keberadaan manusia di muka bumi ini melalui surat Al-Insan ayat 1 sbb: “ Hal ataa ‘alal-insaani hiinum minad-dahri lam yakun syai’am mazkuuraa”; yang artinya ‘Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?’. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang manusia, bahwa Dia telah menciptakannya setelah sebelumnya tidak pernah menjadi sesuatu yang disebut karena kerendahan dan  kelemahannya  (Lubabut  Tafsir  Min  Ibnu  Katsir,  jilid 8  hal  358).  Satu waktu dari masa, analog dengan satu periode atau kurun waktu tertentu dimana manusia itu belum berati apa-apa dan belum dapat mewakili tugas-tugas ke-Ilahian di muka bumi. Adapun terhadap Bani Adam, Allah telah menegaskannya melalui firmanNya berikut ini: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,.. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang lebih sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra (17): 70). Kelebihan-kelebihan dimaksud adalah sebagaimana yang telah kami uraikan diatas.
      Oleh sebab itu, perlu kita rasakan pentingnya mengkaji serta memahami proses terjadinya diri kita, sebagaimana telah dipertanyakan Allah kepada hamba-hambaNya melalui firmanNya yang terjemahannya sbb: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan;……”(QS. Ar-Rum (30): 8).       
       Memang, pada saat sebagian orang mengalami kebingungan dalam mendapatkan pengertian yang sebenarnya dari ayat-ayat tertentu, seringkali dengan nada cemas mereka berlindung diri dengan ucapan: ‘Allah lebih tahu mana yang benar’ (Wallahu a’lam bish shawab).  Namun demikian, sebaiknya kita tidak begitu saja menggunakan kata-kata itu. Kemampuan berpikir yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita, umat manusia (insan sempurna), yang dalam banyak ayat selalu dituntut untuk dipergunakan, menunjukkan bahwa pemikiran yang mendalam terhadap makna al-Qur’an perlu mendapatkan tempat yang wajar.  Seseorang yang memahami tuntunan wahyu dengan akalnya sambil berserah diri kepada Allah Swt, berbeda dengan mereka yang menggunakan akalnya sesuai kecenderungannya guna memahaminya. Yang pertama, menjadikan wahyu pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan akalnya sebagai pokok lalu menundukkan wahyu kepada akalnya. Yang pertama tadi adalah sikap penyerahan diri kepada wahyu dan yang kedua mengalihkan wahyu tunduk kepada akal sehingga melahirkan ta’wil yang sesuai dengan tuntutan akal, walaupun bukan pada tempatnya.
        Untuk itu, melalui tulisan ini dan dengan didasari niat yang tulus karena Allah semata, marilah kita coba untuk lebih mendalami ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan hal penciptaan manusia, tanpa harus mempertentangkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, satu dan lain mengingat firman Allah yang menyebutkan: “…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.  Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujaadilah (58): 11).

Kajian Lintas Komunal
       Persoalan yang mendasar dari para evolusionist adalah belum ditemukannya fosil tertentu sebagai patokan mata rantai yang hilang atau ‘missing link’ dalam proses evolusi.  Hingga saat ini garis perkembangan dari Homo Erectus (manusia jalan tegak) sampai pada manusia mutakhir (Homo Sapiens) masih belum menentu. Fosil-fosil leluhur manusia sukar diperoleh. Dari sedikit fosil yang telah didapati, jejak evolusi dapat diikuti sampai taraf tertentu.  Dan satu-satunya yang masih dicari adalah bukti timbulnya manusia itu sendiri.
       Para ilmuwan / evolusionist telah menetapkan dua jenis makhluk dalam proses evolusi manusia, masing-masing adalah species kera dan species manusia.  Dari species kera, terdapat jenis-jenis yang dinamai: Pliopithecus, Proconsul, Dryopithecus, Oreopithecus, Ramaphitecus serta Australopithecus. Sedangkan dari species Homo (manusia) terdapat jenis-jenis: Homo Habilis, Homo Erectus, Homo sapiens purba, Manusia Neanderthal, Manusia Cro-Magnon dan Manusia Modern. Dari species kera yang paling akhir atau yang lazim disebut dengan ‘Australopithecus’ inilah kemudian berevolusi ketingkat lebih tinggi yang mereka sebut dengan: Homo (manusia).  Namun dari hasil penelitian anatomis yang dilakukan oleh antropolog Dean Falk dari State University of New York, Albany pada 1980-an, dapat diketahui bahwa: Dua juta tahun yang lalu, Homo hidup berdampingan dengan beberapa species Australopithecus di Afrika Timur dan Selatan selama sejuta tahun. Ini mengindikasikan bahwa tidak pernah ada evolusi dari species Kera ke tingkat Homo (manusia), sebagaimana hingga sekarang manusia masih bersama kera dalam segala jenisnya. Pendapat diatas juga diperkuat oleh hasil survei atas fosil yang diduga milik manusia, yang dilakukan oleh Jeffrey Laitman, dari Mount Sinai Hospital Medical School, New York.  Dia menemukan bahwa basikranium (bagian bawah batok kepala) pada manusia adalah melengkung, sedangkan pada ‘Australopithecus’ jelas-jelas datar.  Dengan basikranium seperti itu, sebagaimana banyak ciri biologis lainnya, Australopithecus terlihat mirip kera dan layaknya kera, komunikasi suara mereka pasti terbatas. Australopithecus tidak bakal bisa membunyikan huruf-huruf vokal universal yang menjadi ciri pola ucapan manusia.                              
       Persoalannya adalah, genus Homo jenis apa yang hidup berdampingan selama sejuta tahun bersama Australopithecus? Dari sejarah perkembangan bumi dan penghuni-penghuni sejak awal terciptanya bumi, para ahli geologi membagi jaman atau masa menjadi tiga bagian yakni: Paleozoikum, Mesozoikum dan Kaenozoikum. Masa atau jaman bagi berkembangnya binatang menyusui hingga monyet dalam berbagai jenisnya serta timbulnya makhluk manusia, dinamakan era Kaenozoikum yang terbagi menjadi dua priode yakni:  Tertair dan Kwartair. Priode Kwartair inilah yang menjadi priode dimana manusia mulai muncul.  Kurang lebih 1,8 juta tahun yang lalu pada permulaan zaman Pleistoseen timbul Hominid yang sungguh-sungguh, yang merupakan makhluk manusia (Homo). Homo inilah yang kemudian dikenal dengan Homo Erectus atau makhluk manusia purba yang berjalan tegak dan merupakan satu species kunci dalam sejarah kejadian manusia.
       Penemuan rangka bocah Turkana oleh Team yang dipimpin oleh Richard Leakey, di tepi barat Danau Turkana, Kenya pada tahun 1984 memberikan suatu gagasan yang amat bagus mengenai anatomi manusia purba (Homo erectus) yang hidup sekitar 1,8 juta tahun yang lampau.  Rangka Homo erectus yang ditemukan itu nyaris seluruhnya merupakan rangka lengkap yang telah disusun ulang dan memperlihatkan betapa miripnya species ini dengan manusia (Homo sapiens) dilihat dari susunan tubuhnya. Dari penelitian lebih lanjut dapat diketahui bahwa Homo erectus bertubuh jangkung (180 cm), atletis dan kekar-berotot, namun ukuran otaknya masih lebih kecil dari otak manusia modern (Homo sapiens)—sekitar 900 cc dibandingkan dengan rata-rata 1.350 cc otak Homo sapiens sekarang ini.  Batok kepala Homo erectus panjang dan rendah, dengan dahi sempit dan dinding tempurung kepala tebal, rahang agak menjorok, dan tulang rongga mata bagian atas menonjol. Disamping itu ditemukan pula perubahan bentuk basikranium pada Homo erectus yang diketahui paling tua berupa tengkorak 3733 dari Kenya sebelah utara, yang berasal dari masa hampir dua juta tahun yang lalu. Menurut analisa, individu Homo erectus kemungkinan telah memiliki kemampuan menghasilkan vokal-vokal tertentu, seperti dalam kata-kata: ‘boot’, ‘father’, dan ‘feet’.  Jeffrey Laitman memperkirakan bahwa letak laring pada Homo erectus akan sama dengan anak manusia modern umur enam tahun, sehingga kecakapan berbahasa Homo erectus juga sepadan dengan kemampuan berbahasa manusia modern pada umur enam tahun.
       Lebih lanjut, Dean Falk menyatakan bahwa Homo erectus adalah species yang luar biasa sukses, karena species ini adalah manusia pertama yang menyebar keluar Afrika dan menghuni kawasan yang luas di Asia dan Eropa. Dari benua hitam ini Homo erectus berkelana hingga ke Asia melalui Georgia di daerah Kaukasus. Di Asia, ia sempat bermukim di Cina yang kemudian dikenal  sebagai manusia Peking (Peking Man), sebelum akhirnya tiba di Indonesia yang kemudian disebut juga sebagai Java Man (fosil Homo sapiens ditemukan di Jawa).  Dan jika umur baru fosil-fosil Java Man yang diumumkan awal 1994 itu benar adanya, maka Homo erectus telah memperluas daerah penjelajahannya keluar Afrika hampir dua juta tahun yang lalu. Dengan menyebarnya populasi-populasi pramodern (Homo erectus) ke seluruh Eropa, Asia, dan Afrika, lebih besar kemungkinan akan timbul varian perkawasan, sehingga kecenderungan penyempur- naan ke arah Homo sapiens terjadi bersamaan di manapun populasi Homo erectus itu berada. Namun yang jelas, dari semua bukti-bukti yang ditemukan; manusia Peking, manusia Cro-Magnon, manusia Broken Hill, manusia Steinheim, manusia Petralona, manusia Arago, manusia Java, dan lain sebagainya adalah merupakan cabang keluarga / rumpun dari Homo erectus.
     Dalam pandangan mengenai prasejarah manusia purba ini, leluhur kita (Homo erectus) menjadi jauh kurang manusiawi, tidak hanya dalam cara bertahan hidup, tetapi juga dalam unsur-unsur perilaku lain: sebagai contoh, bahasa, moralitas, dan kesadaran, tidak ada pada mereka. Bahkan bukti-bukti keberagamaan tidak ada karena tidak pernah diketemukan tempat pemujaan terhadap Tuhan.  Meskipun demikian Homo erectus adalah species manusia pertama yang menggunakan api, yang pertama menjadikan berburu sebagai bagian penting untuk bertahan hidup,  yang pertama bisa berlari seperti manusia modern, yang pertama membuat perkakas dari batu, dan yang pertama  berkelana ke luar wilayah  Afrika.
     Adalah seorang Perancis yang bernama ‘Issac de la Peyrere’ mencoba mempelajari sekumpulan batu aneh di pedalaman negaranya, batu itu terjadi bukan karena proses alam, tetapi seperti ada yang membuatnya, lalu akhirnya dia merasa yakin bahwa batu tersebut dibuat oleh tangan manusia sebelum Adam ada, dan kemudian dia memberanikan diri menerbitkan buku tentang hal tersebut.
     Jadi, sebenarnya siapa hominid pertama penghuni bumi ini, sudah jelas; Yang tidak jelas atau tepatnya belum jelas ialah Adam itu termasuk manusia tingkat mana. Apakah Homo Erectus, Homo Neanderthalensis, Homo Cromagnon ataukah Homo Sapiens?  Menurut Dr. H. Supanji Kusumamihardja Msc, dkk yang menyusun buku Studia Islamica, buku teks pokok untuk mata kuliah Agama Islam di IPB, Adam termasuk manusia tingkat Homo Sapiens.  Karena itu genotipa manusia sekarang sama dengan genotipa Adam.  Sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Adam sebagai nabi, dan menurut hemat penulis jika Adam dikatakan sebagai nabi maka pengertian nabi adalah pemimpin umat dan sekaligus membawa missi dari Tuhan (risalah Tuhan). Jadi, jelas kiranya Adam adalah manusia dari genus Homo sapiens, karena ia sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi (mengenal Tuhan). Pertanyaan berikutnya, sejak kapankah munculnya manusia mutakhir, Homo sapiens ?  Bila Homo erectus muncul pada permulaan zaman Pleistoseen, maka pada akhir pleistoseen muncullah zaman Holoseen dimana kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, mulai tampak manusia mutakhir dan mereka berbudaya. Kemudian sesuatu berubah.  Dalam sekejap mata dalam hitungan waktu geologis, dan demi alasan-alasan yang masih belum diketahui oleh para ahli antropologi, manusia berkembang pesat. Manusia mulai berbicara satu sama lain.  Mereka mulai melukis dan membuat patung, menyanyi serta menari. Segera mereka bercocok tanam serta membangun  tempat-tempat pemukiman permanen. Dan yang terpenting,  menurut Dr. Dean Hamer seorang ahli genetika perilaku dari Harvard University, ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka memiliki dan mengembangkan keyakinan spiritual sejak awal species kita.
       Perubahan yang cukup mengejutkan tersebut, menuntut para ahli untuk lebih meneliti bagaimana Homo sapiens ini muncul dengan seketika. Diantaranya terdapat Arkeolog Lewis Binford dari University of New Mexico. Dia menyimpulkan bahwa species kita (Homo sapiens) muncul bukan sebagai hasil proses yang lambat-laun dan progresif (berevolusi) melainkan mendadak dalam masa yang relatif pendek. Disamping itu Naturalis Inggris abad ke-19 Alfred Russel Wallace, yang juga menciptakan teori seleksi alam (theory of natural selection), secara terpisah dari Darwin menolak menerapkan teori itu pada aspek-aspek kemanusiaan yang paling kita junjung. Wallace menganggap manusia (Homo sapiens) terlalu cerdas, terlalu beradab, terlalu canggih sebagai produk seleksi alam semata.  Ia merasa, tentulah campur tangan supranatural yang menjadikan manusia (Homo sapiens) sedemikian istimewa. Bagi mereka yang ingin mempertahankan pendapat bahwa manusia merupakan makhluk istimewa akan menyambut gembira bukti-bukti yang menunjukkan bahwa bahasa muncul belakangan dan tiba-tiba. Demikian pula, Paleontolog Skotlandia, Robert Broom, yang karyanya sebagai peneliti perintis di Afrika Selatan pada 1930-an dan 1940-an telah ikut meneguhkan Afrika sebagai tempat lahir manusia, juga mengungkapkan pandangan yang sama kuatnya tentang keistimewaan manusia. Seperti Wallace, Broom menganggap kekuatan supranatural bekerja dalam asal-usul spesies manusia (baik Homo erectus maupun Homo sapiens).
    Sebagaimana kajian dari sudut pandang Al-Qur’an, proses kejadian Adam melalui tahapan penciptaan dan tahapan penyempurnaan dengan membentuk / membaguskan rupanya yang kemudian meniupkan ruh ciptaan-Nya. Hal ini dapat kita simak dari surat Al-A’laa ayat: 1-2 yang berbunyi  ” Sabbihis ma rabbikal-a’la,  allazi khalaqa fa sawwa” yang artinya, Sucikanlah nama Tuhan-mu yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)”. Perihal proses penyempurnaan, tidak kurang seorang Kenneth Oakley adalah termasuk ilmuwan pertama yang dalam bukunya ‘Man the Tool maker’ menyatakan bahwa timbulnya manusia modern (Homo Sapiens) dipicu oleh ‘perfection’ / penyempurnaan bahasa sampai ke tingkat yang kita alami sekarang; dengan kata lain, bahasa modern menciptakan manusia modern. Bila dikatakan ada proses penyempurnaan, itu berarti ada campur tangan Sang Penyempurna / Sang Pencipta ujarnya lebih lanjut. Dan juga dikatakannya manusia muncul tidak dengan proses lambat-laun, yang berarti juga tidak melalui proses evolusi.

Kesimpulan
      Ilmu pengetahuan tidaklah layak dipertentangkan dengan agama (Wahyu), mengingat Wahyu-lah yang memotivasi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan Allah menjanjikan akan memberikan beberapa derajat lebih tinggi bagi mereka yang beriman dan berilmu. Hanya saja dalam mengembangkan ilmu pengetahuan kita tetap menjadikan wahyu sebagai tuntunan dan kontrol terhadap keinginan manusia yang cenderung melampaui batas. Sebagai contoh nyata, Charles Darwin yang awalnya adalah seorang yang berasal dari keluarga Kristen yang saleh, namun akhirnya menjadi atheis (dalam pengertian tidak ambil peduli pada masalah ketuhanan dan agama), karena hasil penelitiannya secara diametral bertentangan dengan dogma Gereja tentang kosmogoni, termasuk kejadian Adam  ‘manusia pertama’ yang memiliki Roh. Pertanyaannya, mengapa terjadi demikian? Tidak lain karena sekularisme dan materialisme telah mendominasi nafas kehidupan manusia, baik dari kalangan Kristen sendiri maupun dari kalangan Muslim. Untuk itulah beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram terhadap isme-isme yang berkembang saat ini termasuk didalamnya ‘Sakularisme’.
     Dalam perkembangan sains akhir-akhir ini, para ilmuwan justru berupaya memadukan dan menyelaraskan antara agama dengan ilmu pengetahuan, diantaranya adalah: Charles Tawney, Profesor di Universitas Berkeley California, pemenang Nobel Prize bidang Fisika tahun 1964 memperoleh penghargaan pada April 2005 atas upayanya memasukkan aspek spiritual dalam karya-karyanya. Menurutnya agama dan ilmu pengetahuan (sains) sejalan dan mestinya keduanya akan menemukan dasar yang sama. Agama mencoba memahami tujuan dan arti dari alam kita ini. Ilmu pengetahuan mencoba memahami fungsi dan strukturnya. Jika ada pengertian, struktur, pasti banyak kaitannya dengan arti, dan dalam jangka panjang keduanya pasti akan sejalan. Perbedaannya sebenarnya kabur atau superficial bahkan jika kita lihat sifat realnya sama. Temuan-temuan di bidang astronomi telah membuka mata manusia kepada agama.  Fakta bahwa alam ini ada awalnya merupakan hal yang menakjubkan, mana mungkin kejadian itu ada tanpa Tuhan?  tegasnya.
     Profesor Paul Davies, Guru besar filsafat alam dari Australian Centre for Astrobiologi, Macquarie University, Australia, dalam bukunya ‘The Mind of God’ ia sangat menyangsikan teori Darwin.  Lewat  riset  kosmologinya,  ia justru membuktikan keberadaan Tuhan. Dari ketekunan 35 tahun membedah ruang angkasa, Davies menemukan sisi spiritual alam semesta. Lewat sejumlah buku, salah satunya ‘New Physics and God’, ia memberi penjelasan muthahir soal keterkaitan erat antara alam semesta dan Tuhan.  Inilah yang membuatnya diganjar Templeton Prize (1995), sebuah penghargaan yang sama prestisiusnya dengan Nobel.  Adapun pandangan terhadap perkembangan konflik antara sains dan agama, menurutnya perlu pengertian antara kedua kutub.  Agama harus merangkul sains.  Agama perlu berupaya memahami dan mengakui temuan-temuan saintifik abad ke-20 dan ke-21, sedangkan dalam konteks hubungan sains dan agama, lebih tepat jika agama berkontribusi memberi interpretasi tentang alam semesta, satu hal yang tak bisa dilakukan sains.  Maksud memberi interpretasi adalah memberi makna terhadap alam semesta dan keberadaan manusia, menjaga kehidupan manusia tetap pada tujuan awal. Lebih lanjut menurutnya, semua agama, saya pikir mencoba menjaga nilai-nilai kemanusiaan dengan memposisikan manusia pada tujuan penciptaannya. Sedangkan sains memberi kontribusi dengan menyodorkan bukti-bukti bahwa benar, alam semesta diciptakan dengan satu tujuan. Riset saya selama ini memberi keyakinan soal ini, ujarnya.
       Di akhir kesimpulan, kiranya relevan untuk dikemukakan di kesempatan ini pendapat Rektor PTIQ yang juga dirjen Bimas Islam Departemen Agama (saat ini sebagai wamenag), Nasaruddin Umar dalam seminar nasional bertajuk ‘Membangun Karakter Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Qur’ani’ di Kendari Sulawesi Tenggara pada tanggal  30/7/2006,  yang antara  lain  menerangkan  bahwa pertentangan sains dengan Al-Qur’an bisa terjadi disebabkan temuan sains belum final, tapi bisa pula disebabkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang keliru. Jadi bukan Al-Qur’an yang salah. Yang salah itu penafsiran kita terhadap Al-Qur’an, tegas beliau.  Wassalaam...!!

                                                                                      = @ =
e-mail:  chairullah.Idris@gmail.com
Oleh: Chairullah Idris