Jumat, 09 November 2012

AKAL & RASIO, IDENTIKKAH?


         

                                                  AKAL & RASIO, IDENTIKKAH ?
      
                                                                  Oleh:Chairullah Idris
     



    Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur air dengan wiski luar negeri yang setelah habis diteguknya, maka dia pun terkapar mabuk. Setelah siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir jalan sambil mengisap kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia mabuk. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga seperti kedua campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk pula. Berdasarkan penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk. Benar-benar rasional, bukan, namun apakah hal itu masuk akal ?
      Orang terkadang rancu di dalam menterjemahkan akal, akal diidentikkan dengan rasio, sehingga sesuatu yang masuk akal dianggap sebagai rasional. Begitu juga jika sesuatu yang tidak rasional berarti tidak masuk akal. Akal lebih tepat diterjemahkan sebagai jalinan antara rasa dan rasio yang dalam bahasa Inggris disebutnya sebagai ‘mind’. Dalam Kamus “Longman Dictionary of Contemporary English”, ‘mind’ diartikan sebagai: ‘a person’s way of thingking or filling’. Ini berarti bahwa akal itu adalah suatu cara berpikir atau merasa. Secara awam, intuisi / rasa sering dipaha- mi sebagai kerja hati. Sebagaimana masyarakat modern selalu mengedepankan kata "I think”  bila mengemukakan suatu pendapat, mengingat kata “I feel” terkadang diidentikkan dengan penggunanaan hati.  Padahal, sebagaimana kita pahami bahwa fungsi hati adalah  merupakan ‘pabrik’ kimia terbesar dalam tubuh sebagai pengantar metabolisma, yang artinya, ia mengubah zat makanan yang diserap dari usus dan disimpan di suatu tempat di dalam tubuh, guna dibuat sesuai untuk pemakaiannya di dalam jaringan. Hati juga mengubah zat buangan (zat sampah) dan bahan racun agar mudah diekskresikan ke dalam empedu dan air kemih (urine). Disamping itu, hati juga berfungsi mengubah asam amino menjadi glukosa.
        Adapun penggunaan kata “hati” yang  tertera dalam terjemahan beberapa ayat Al-Qur’an, tidak lain adalah berasal dari kata Qalb (Qalbu). Dalam bukunya ‘Sufisme & Akal’, Dr. Muhammad ‘Abdullah asy-Syarqawi memberi penjelasan bahwa kata ‘qalb’ disebut dalam Al-Qur’an baik dalam bentuk tunggal maupun jamak lebih dari 130 kali. Hanya saja menurutnya, penyebutan itu tidak secara mutlak menunjukkan bahwa kata qalb diartikan dalam konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam badan), melainkan dimaksudkan sebagai “ instrumen persepsi ma’rifah yang sangat kompleks” yang memiliki beberapa fungsi bercabang, beragam, dan saling terkait pada kadar paling banyak. Adapun kata ‘hati’ dalam arti  yang sesungguhnya (bagian dari organ tubuh), dalam Al-Qur’an disebut dengan ‘Al-af’idah’ antara lain terdapat dalam surat Al Mu’minun: 78-80 dan surat As Sajdah: 9.
        Sekitar 2500 tahun yang lalu, manusia tidak mengetahui apapun tentang otak dan cara kerjanya. Sebelum bangsa Yunani kuno, otak bahkan tidak dianggap sebagai bagian dari tubuh manusia, tetapi dianggap hadir sebagai  bentuk-bentuk uap eter, gas, atau roh yang bukan merupakan bagian dari tubuh. Yang mengejutkan lagi, bangsa Yunani tidak memberi kita pengetahuan yang lebih baik, bahkan Aristoteles--filsuf pemikir mereka yang paling terkenal dan pendiri ilmu pengetahuan modern, menyimpulkan bahwa pusat sensasi dan ingatan, berada di jantung! Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya neurosains, intuisi / rasa ternyata adalah merupakan bagian dari kerja otak. Hal ini sangat dapat dipahami, karena baru selama masa renaissance di akhir abad ke-14, suatu masa pencerahan intelektual, akhirnya disadari bahwa pusat pikiran dan kesadaran berada di kepala. Dan baru di penghujung abad ke-20 terdapat kemajuan besar dalam penelitian dan pemahaman tentang otak kita.  
       Dalam karyanya berjudul ‘Filsafat Ilmu’, Prof. Dr. Jujun S. Suriasumantri antara lain menyatakan bahwa, kegiatan berpikir selain menggunakan rasio juga ada yang tidak mendasarkan pada rasionalitas umpamanya adalah intuisi. Intuisi menurutnya, merupakan suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Berpikir intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir non- analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi disimpulkannya bahwa secara luas dapat kita katakan cara berpikir masyarakat dapat di kategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa logika / rasional dan cara berpikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan. 
      Dalam pandangan para orientalis tentang asal-usul filsafat dalam Islam, mereka tetap konsisten beranggapan bahwa filsafat sepenuhnya adalah berasal dari Yunani. Dalam hal ini dapat ditangkap suatu indikasi, bahwa di balik menafikan asal usul filsafat Islam itu, terselip pengingkaran adanya sistim, konsep dan pemikiran rasional dalam Islam. Menurut mereka pemikiran rasional hanya dimiliki oleh Yunani. Bahkan Islam menurut mereka dianggap tidak memiliki konsep dan sistim pemikiran. Memang benar adanya, konsep berpikir rasional hanya milik bangsa Yunani, hal itu tidak bisa dipungkiri. Namun, bukan berarti Islam tidak memiliki konsep berpikir sebagaimana yang mereka tuduhkan.        
       Sebenarnya pada saat Islam datang (abad ke 7M), telah terusung konsep berpikir secara ‘nalar-akal’ dengan otak sebagai sarananya. Salah satu dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang mengharuskan kita menggunakan akal adalah surat Yunus ayat 100 yang berbunyi sbb: “Wa maa kaana li nafsin an tu’mina illaa biiznillaah, wa yaj alurrijsa ‘alal-laziina laa ya’qiluun” yang artinya: ‘Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya’. Ini berarti, untuk memperoleh izin Allah Swt dalam hal beriman, kita harus menggunakan akal dalam tahapan prosesnya. Bahkan terdapat banyak ayat lainnya dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dalam banyak hal.
        Akal atau ‘aql’ adalah kosakata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘tali pengikat’. Berbagai tafsiran para ulama dan cendekiawan muslim mengenai arti dan makna dari ‘tali pengikat’ tersebut. Para pakar — dahulu dan sekarang — yang berkalola atau bersorban, yang berpeci atau bertopi, berbeda pendapat menyangkut akal dan produk-produknya.  Namun nampaknya belum ada kesepakatan yang dapat dijadikan acuan mengenai pengertian akal itu sendiri hingga saat ini. Yang lazim dikalangan sufi menyebutkan bahwa ‘tali pengikat’ tersebut adalah tali pengikat unta agar tidak lari meninggalkan majikannya, d.p.l ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Yang berarti pula, siapa yang mengetahui apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi urusan dunianya, berarti dia mengetahui bahwa Allah Swt telah menganugerahi akal baginya. Adapun konsep akal menurut kaum sufi, adalah “semacam insting yang tidak dapat diketahui kecuali dengan aktivitasnya di dalam hati dan anggota badan”.
        Setelah masuknya logika Aristoteles ke dunia Islam (abad ke 9) dan diterimanya Mu’tazilah menjadi aliran resmi kerajaan (dinasti Abbasiyah), adalah tidak terlepas dari peran penting al-Kindi, yang melancarkan suatu gerakan berskala luas dalam mengedepankan hal-hal pokok dari pikiran Mu’tazilah dan kecenderungan rasionalitasnya di dalam masyarakat. Bagaimanapun, Mu’tazilah sudah cukup mendorong banyak intelektual Muslim saat itu untuk merasionalkan agama mereka guna menciptakan argumentasi yang bisa bertahan dari serangan para filosof, Kristen, Yahudi, Ateis, serta lawan-lawan dari kalangan Muslim sendiri. Dari sinilah bermula kata akal menjadi identik dengan rasio, dan dari sini pulalah istilah rasional telah terseruput / diadopsi oleh Umat Islam pada saat itu sebagai konsep berpikir umat Islam, yang menurut mereka bersumber  dari Al-Qur’an yakni  ‘aql’.  Dan  dalam  perjalanan  sejarah  umat  IsIam berikut-  nya  ( setelah abad ke 9 ) bahkan hingga saat ini yang dipicu oleh pemahaman akan ‘akal’ yang diidentikkan dengan rasio, maka yang terjadi hingga saat ini baik para Ulama maupun para Umaro masih tetap menganggap dan memahami bahwa ‘akal’ itu adalah tidak lain dari ‘rasio’. Bahkan mereka mentasbihkan bahwa Al-Qur’an telah memerintahkan kita umat Islam untuk menggunakan ‘rasio’ atau berfikir secara rasional.
       Sebagai contoh bisa disebut: dalam bukunya ‘Akal dan Wahyu Dalam Islam’, Harun Nasution, mantan Rektor IAIN (UIN sekarang) mengutip tidak kurang dari 30 ayat Al-Qur’an, yang menurut pandangan beliau, manusia diperintahkan untuk berpikir rasional agar dapat mengetahui Tuhan dan dunia. Namun disisi lain, dalam sebuah makalah-nya yang diterbitkan pertama kali tahun 1975 berisikan antara lain: Menurut kebenaran Islam, manusia adalah ciptaan Tuhan. Kemampuan untuk berpikir yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia telah menjadikannya sebagai ciptaan yang paling sempurna. Akal memungkinkan manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan yang hebat. Akal membawa pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”, ungkapnya. Dari dua pernyataan tersebut diatas,  dapat terindikasi  bahwa pemahaman yang bersangkutan akan rasio dan akal adalah sama, atau mungkin juga mengalami kerancuan. Contoh lainnya adalah, Qadi Abd al-Jabbar (935-1024) teolog terbesar dan pakar hukum dari mazhab Mu’tazilah kelahiran Asadabat Iran, dalam kitab berjudul ‘Al-usul Al-khamsa’ beliau memulai tulisannya dengan dasar pertama agama menurut Mu’tazilah, yaitu Tuhan bisa dan harus diketahui secara rasional. Menurutnya pengetahuan tentang Tuhan hanya bisa didapat dengan berpikir melalui argumentasi yang rasional, karena kalau kita (pertama-tama) tidak mengetahui bahwa Dia-lah Yang Maha Benar, kita tidak akan mengetahui otentitas Al-Qur’an, sunnah, dan kesepakatan umat (ijma’). Sedangkan dalam bab / uraian berikutnya  beliau menekankan bahwa ‘peran akal adalah utk membawa manusia rasional  menjadi beriman pada Tuhan, untuk berpikir dan menjadi Islam’. Lagi-lagi disini terlihat jelas adanya kerancuan terhadap pemahaman tentang akal dan rasio. Contoh berikutnya adalah, serangkaian dialog antara sang murid (M. Quraish Shihab) dengan  gurunya  (sang Maulaya ) yang   terjadi saat sang murid tengah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, yang dikemudian hari setelah berselang 40 tahun diangkat menjadi sebuah karya (buku) berjudul “Logika Agama”; Kedudukan Wahyu & Batas-batas Akal dalam Islam. Dalam satu dialog, ada pertanyaan dari sang Maulaya sbb: “Ketahuilah anakku, bahwa yang engkau katakan tadi seluruhnya benar. Tetapi coba jelaskan, apa yang engkau maksud dengan semboyan ‘Islam agama rasional’. Apakah itu berarti bahwa Islam merujuk kepada akal? Ataukah ia membiarkan kita bebas untuk berkeyakinan dan berbuat sesuai dengan petunjuk akal dan pengarahannya?  Akal, anakku, memiliki wilayahnya yang tidak dapat dilampauinya. Wilayahnya adalah alam fisika, sedang agama berbicara juga tentang alam metafisika”. Disini tampaknya sang murid dan gurunya sedang berusaha bersepakat tentang penyamaan persepsi akan akal dan rasio di dalam ajaran Islam. Dan jelas sekali penjelasan bagian akhir dari sang guru yang meyakini bahwa akal itu tidak lain adalah rasio.  Adapun sebagai  contoh terakhir adalah pandangan dari pihak Umara. Pada kesempatan puncak acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid As-Syuhada, Pamekasan Madura tanggal 9 Oktober 2006 Presiden SBY mengajak seluruh umat Islam Indonesia untuk tak saja membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang benar dan suara yang merdu tapi juga memahami makna dan tafsirnya. Lebih lanjut beliau mengatakan “Ajaran Islam sangat mendorong masyarakat untuk berpikir secara rasional. Dengan menjadi manusia yang rasional, masyarakat mulai berpikir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan berpikir untuk membangun masyarakat kearah yang lebih baik” (Republika, 10/10/2006).                                                         
        Sebagaimana kita ketahui bersama, ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah rasanya tidak ada yang memerintahkan umatnya untuk berpikir rasional, namun yang pasti  adalah perintah untuk berpikir dengan menggunakan akal, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ad-diinnu huwal ‘aqlu walaa diina - liman laa ‘aqlahuu” yang artinya ‘Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber) agama siapa yang tidak memiliki/menggunakan akal’ (sejalan QS.10:100). Jadi adanya sorga, neraka, alam akhirat dan lain-lain yang bersifat ghaib hanyalah bisa diterima dengan akal, bukan hanya dengan rasio. Sebab kemampuan rasio manusia sangat terbatas, ia tidak mampu menjangkaunya hingga tidak akan pernah metode-metode ilmiah untuk membuktikan sesuatu yang ghaib. Akal mampu menerima segala sesuatu yang bisa ditangkap dengan kemampuan indera, juga segala sesuatu diluar pengalaman empiris. Sebab dalam akal, terdapat unsur rasa yang mampu menimbulkan rasa percaya, rasa senang, rasa cemas, rasa bahagia, rasa cinta, rasa memiliki, rasa haru dan rasa-rasa lainnya.  Sedangkan rasio cenderung kearah pemikiran, dan sasaran rasio adalah segala sesuatu yang hanya bisa ditangkap atau didapat dari pengalaman indrawi. Sehingga segala sesuatu yang rasional tentu bisa masuk akal jika unsur rasa ikut berfungsi. Tapi sebaliknya tidak semua yang masuk akal dapat dirasionalkan,  sebab  kemampuan  rasio  manusia  terbatas adanya. 
        Jadi dapat dibayangkan, bagaimana kualitas iman seseorang bila kita peroleh hanya dengan perantaraan rasio, mengingat rasio itu sendiri menurut Hegel dalam Encyclopaedia of Philosophical Sciences adalah “ada sejati” (true being) yang mewujud dalam alam dan terealisasi dalam diri manusia. Rasio adalah penguasa dunia dan mengidentikkan dirinya dengan realitas (wujud sejati). Karenanya keimanan dan keyakinan beragama / ber-Tuhan yang diperoleh hanya melalui pendekatan rasio dengan ada sejatinya, maka tidak sedikit agama / kepercayaan yang pemujaan terhadap Tuhannya diwujudkan dalam bentuk konkrit (true being).  Oleh sebab itu pendekatan beragama / ber-Tuhan selayaknya dilakukan secara bersamaan.  Rasio diperlukan, untuk memperoleh kepastian bahwa Tuhan itu memang benar adanya, adapun intuisi / imajinasi digunakan agar kita dapat meyakini dan mengimani-Nya. Itulah yang dimaksud dengan beragama melalui pendekatan ‘akal’. Terkait hal tersebut, Karen Armstrong dalam sebuah karyanya menyatakan bahwa; ‘Kita dapat mengetahui sesuatu mengenai Tuhan dengan menggunakan daya nalar dan intuisi / imajinasi kita’. Sebagaimana juga Al-Ghazali, setelah kembali kepada tugas mengajarnya di Baghdad, sedikitpun tak pernah surut dalam keyakinannya bahwa adalah mustahil membuktikan keberadaan Tuhan hanya dengan logika dan bukti rasional saja. Demikian pula seorang ahli Kedokteran dari Toledo, Judah Halevi (1085-1141), yang merupakan pengikut setia Al-Ghazali meyakini bahwa Tuhan tidak bisa dibuktikan hanya secara rasional, namun hal ini tidak berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional. Bahkan lebih dari itu Einstein-pun mengatakan; ‘Jika seseorang menggunakan akalnya, maka ia akan dipaksa oleh ilmu pengetahuan untuk mempercayai adanya Tuhan’ (buku: Ilmu dalam Perspektif; Karya Jujun S. Suriasumantri).
       Dari paparan diatas, tiba-tiba   muncul kecemasan dibenak penulis jangan-jangan  kita umat Islam, lebih spesifik lagi di Indonesia nampaknya telah masuk dalam perangkap jebakan pihak Barat dalam pengagungan rasio sebagai metode berpikir dengan hanya menggunakan hemisfer otak sebelah kiri, sedangkan berpikir secara nalar akal dengan otak sebagai sarananya berarti selain melibatkan unsur-unsur rasio, juga intuisi dan imajinasi yang dapat dicapai apabila kita menggunakan kedua belahan otak yaitu hemisfer sebelah kanan dan sebelah kiri secara bersama-sama. Hal ini penulis sampaikan, satu dan lain  karena  pihak Barat sendiri khususnya para filsuf ber mazhab rasional telah banyak mendapat kritik / koreksi antara lain dari: Filsuf asal Jerman Immanuel Kant; yang dalam karyanya ‘Critique of Pure Rasio’ membuat perbedaan yang jelas antara rasio, akal budi (Vernunft) dan pemahaman (Verstand). Konsep inti dari karyanya tersebut adalah kontradiksi-kontradiksi antara ‘rasio dan sense’, ‘intelegesi dan alam’, dan, dalam bentuknya yang paling umum, ‘subyektifitas dan obyektifitas’. Menurutnya, semua pemikiran, secara langsung maupun tidak  langsung, harus mengkaitkan ‘intuisi’. Kant juga berusaha membuktikan bahwa akal manusia melalui rasio dan intuisi memiliki bentuk-bentuk universal yang mengatur beragam jenis data yang masuk kepadanya melalui indera. Bentuk-bentuk ‘intuisi’ dan bentuk-bentuk ‘pemahaman’ adalah universalitas  yang melaluinya, akal menata bera- gam data indera ke dalam serangkaian pengalaman. Intinya, Kant lebih mengu tamakan penggunaan rasio bersama-sama intuisi dan imajinasi dalam semua hal pemikiran, dan inilah yang dinamakannya sebagai penggunaan ‘akal’. Kajian terbaru / koreksi lainnya datang dari Fritjof Capra (peraih Ph.D. dari Universitas Vienna) pengajar tentang implikasi filosofis dari sains modern, dalam bukunya yang berjudul ‘Titik Balik Peradaban’; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan kebudayaan, terjemahan dari buku aslinya  “The Turning point ” Science, Sosiety and The Rising Culture; Bantam Book, New York antara lain menjelaskan bahwa: Rasional dan Intuitif merupakan dua modus fungsi akal manusia yang saling melengkapi.  Pemikiran rasional bersifat liniear, terfokus, dan analitis; Pemikiran ini menjadi bagian dari alam intelek, yang fungsinya adalah untuk membedakan, mengukur dan mengelompokan. Dengan demikian, pengetahuan rasional cenderung terpotong-potong. Sebaliknya pengetahuan intuitif didasarkan atas pengalaman realitas yang bersifat langsung dan nonintelektual yang muncul didalam suatu kondisi kesadaran yang luas. Pengetahuan intuitif cenderung bersifat padu, holistik, dan nonlinear. Dari uraian diatas tampaklah bahwa pengetahuan rasional melahirkan aktivitas yang terpusat pada diri, atau ‘yang’; sedangkan kearifan intuitif merupakan dasar bagi aktivitas ekologis, atau ‘yin’. Dengan mengacu pada dua lawan kata tersebut, kita menjadi mudah mengetahui  bahwa masyarakat modern ternyata lebih menyukai yang daripada yin, lebih suka pengetahuan rasional daripada kearifan intuitif, lebih menyukai ilmu daripada agama, lebih suka bersaing daripada bekerja sama, lebih suka mengeksploitasi sumber daya alam dari pada melestarikannya, ungkapnya lebih lanjut.
        Namun sejalan dengan pesatnya perkembangan neurosains (abad ke 21),  masyarakat Barat post modern sebenarnya sudah melangkah lebih jauh lagi  beralih dari masyarakat rasional  ke masyarakat ‘akali’ atau tepatnya beralih dari Era Informasi (pekerja pengetahuan) ke Era Konseptual (pencipta dan pesimpati), dimana otak sebelah kiri  yang selama ini diagungkan sebagai sesuatu yang membuat kita menjadi manusia, ternyata hanya membuat kita menjadi manusia setengah pintar. Demikian pendapat dari Daniel H. Pink  dalam buku ‘Misteri Otak Kanan Manusia’ terjemahan dari buku aslinya berjudul ‘A Whole New Mind’.
      Betapapun menggodanya berbicara tentang belahan otak kanan dan kiri secara terpisah, mereka pada dasarnya adalah dua belahan otak, yang dirancang untuk bekerja bersama-sama sebagai satu kesatuan yang lembut, tunggal dan terpadu dalam satu otak yang utuh. Belahan otak sebelah kiri mengetahui bagaimana menghadapi logika dan belahan sebelah kanan mengetahui tentang dunia. Gabungkan keduanya dan seorang akan mendapatkan satu mesin pemikiran yang dahsyat. Dengan kata lain, menuju suatu kehidupan yang sehat, bahagia dan sukses bergantung pada dua belahan otak kita.
       Sayangnya, sistem pendidikan modern cenderung berfokus pada keterampilan otak kiri dan kurang menekankan keterampilan otak kanan, yang langsung berdampak pada kemampuan kita berpikir secara kreatif. Kecenderungan untuk lebih memilih keteram pilan-keterampilan ‘otak kiri’- matematika, bahasa dan ilmu pengetahuan daripada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif.  Ketika hanya berfokus pada setengah bagian otak, sistem pendidikan kita hanya menciptakan orang-orang yang setengah pintar.
      Pertanyaannya, apakah rasionalitas dan kelogisan itu salah? Jelas tidak! Tapi ada sesuatu yang terlewatkan. Ketegangan hidup dan ketidakmampuan mencerna realitas supranatural timbul karena pola pikir kita tidak seimbang. Selama ini, kita terlalu banyak menggunakan belahan otak kiri dan mengabaikan peran penting belahan otak kanan. Mengaktipkan dan memberdayakan belahan otak kanan akan banyak membantu kita menghayati hidup yang lebih bermakna dan bermutu. Dengan mengembangkan kemampuan otak kanan bukan berarti menyerang atau menghilangkan kemampuan otak kiri yang rasional dan matematis itu. Pembelajaran mengembangkan kemampuan otak kanan secara intensif akan melengkapi cara berpikir seseorang sehingga pola pikirnya dalam menghadapi kehidupan menjadi seimbang dan sempurna.
      Kembali kita kepada  dasar kata akal (‘aql) yang bermakna ‘tali pengikat’, apakah secara kebetulan atau memang tepat apa yang dikatakan oleh seorang pemikir besar dan pakar hukum Prancis Marcel A. Boisard tentang Al-Qur’an. Dalam karya besarnya berjudul Humanism in Islam (sisi humanis ajaran  Islam) beliau memberi kesaksian sbb:  ‘Hingga detik ini, Al-Qur’an adalah sumber inspirasi bagi para ilmuwan dan sastrawan. Mustahil manusia bisa menciptakan karya seperti Al-Qur’an karena ia adalah kalam Tuhan, bukan ciptaan manusia. Ia sumber  pengetahu- an  yang melahirkan metodelogi berpikir, sumber hikmah, dan lahan yang tiada pernah habis bagi rujukan ilmu’.  Marcel tidaklah sendiri dalam memberikan kesaksian serupa, Jacque Risler seorang orientalis dan penulis utama Prancis kontemporer diantara karya monumentalnya  yang berjudul ‘La Civilisation Arabe’ antara lain memuat hal yang sama. Adapun kesaksiannya : ‘Al-Qur’an adalah kitab suci yang terkandung di dalamnya rangkuman seluruh ajaran agama masa lalu, terkumpul di dalamnya mustika segala ilmu pengetahuan’.  Adapun kesaksian lainnya datang dari seorang orientalis dan sejarawan besar di Amerika yang dikenal di dunia barat dan timur; George Sarton (1884-1956). Sebagai anggota dewan keilmuwan sejarah internasional yang berpusat di Paris dan tutor Dewan Ensiklopedia Islam di Suriah, ybs juga ikut memberi kesaksian atas kompetensi Al-Qur’an sebagaimana yang tertulis dalam ‘The Incubation of Western  Cultuer in the Middle East’ sbb: ‘Perbedaan antara Al-Qur’an dan injil sangatlah jauh. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara langsung kepada nabi agama ini (Muhammad). Ajaran Al-Qur’ an meliputi seluruh aspek kehidupan, nilai - nilai religi, ilmu pengetahuan, aturan perundang-undangan, tata laksana kehidupan, bahasa dan lain-lain.  Intinya, tiada satu masalah kehidupan pun yang tidak tersolusikan dalam Al-Qur’an’, ungkapnya.                                                                  Atas  dasar beberapa kesaksian tersebut diatas, penulis sulit untuk dapat  mengatakan ‘tidak’ atas keabsahan substansi dari apa yang mereka sampaikan, mengingat sudah sejak lama di abad ke XII tepatnya pada tahun 1141 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Robert of Chester (Robert Ketton), seorang pendeta berkebangsaan Inggris yang ahli matematika, ahli astronomi,  dan ahli kimia yang juga tinggal di Spanyol dimana ybs  menjadi  saksi atas kejayaan / kekuasaan Islam di sana.  Penerjemahan Al-Qur’an tersebut dilaksanakan atas permintaan Yang Agung Peter untuk tujuan menyangkal kebenarannya. Namun, alih-alih ingin menyangkal kebenaran dari Al-Qur’an, mereka justru menemukan banyak hal bermanfaat yang kiranya dapat dijadikan pedoman dan spirit kebangkitan. Hal tersebut memang telah dijanjikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: “Haazaa Basaaa ’iru linnaasi wa Hudaw wa Rahmatul - liqaw  miny - yuuqinuun” (QS. 45: 20) yang artinya, “Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi seluruh manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini”. Untuk hal tersebut, tidak berlebihan kiranya mantan president Amerika Serikat Richard Nixon, melalui buku terakhirnya sebelum meninggal dunia, ‘Seize the Moment, America Challenges in One Super Power World’, antara lain mengatakan, Barat berhutang besar kepada  dunia Islam untuk renaissance-nya.
        Terkait hal tersebut, kiranya dapat ditarik suatu hipotesa bahwa bukanlah suatu hal yang kebetulan bila ada kesamaan antara ‘tali pengikat’ (makna dari akal/‘aql) dengan apa yang disampaikan oleh John Mc. Crone dalam bukunya ‘Menyingkap Kerja Otak’ terjemahan dari buku aslinya ‘How the Brain Works’ yang menyatakan, belahan otak besar adalah nama umum untuk serebrum, yaitu massa otak yang bergulung-gulung di otak bagian atas. Terbentuk dari sepasang lobus simetris yang dihubungkan bagian tengahnya oleh tali (pita) tebal saraf yang disebutnya sebagai ‘Corpus Callosum. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang Corpus Callosum dapat pula  kita temukan dalam buku karya Daniel H. Pink yang berjudul ‘A Whole New Mind’ yang terjemahannya berjudul ‘Misteri Otak Kanan Manusia’ dimana ybs berkesimpulan bahwa Corpus Callosum adalah ikatan yang tebal dari 300 juta urat otak dan berfungsi menghubungkan dua belahan otak, dimana letaknya berada ditengah-tengah kedua hemisfer (belahan) otak tersebut. Jadi menurut kedua penulis tersebut diatas, Corpus Callosum tidak lain adalah: ‘Kumpulan dari 300 juta urat otak dan berbentuk tali (pita) tebal, yang berfungsi mengikat dan menghubungkan dua belahan otak, yaitu hemisfer sebelah kiri dan hemisfer sebelah kanan dalam setiap aktivitas berpikir’. Dan bila kita kembali kepada terminologi yang disampaikan oleh Fritjof Capra sebagaimana disebut dimuka, yang menyatakan bahwa ‘rasional’ dan ‘intuitif’ adalah merupakan dua modus fungsi akal yang dirancang untuk saling bekerja sama dan saling melengkapi, maka ‘akal’ (tali pengikat) adalah tidak lain dari apa yang disebut dalam neurosains  sebagai Corpus Callosum.
       Jadi yang dimaksud dengan ‘menggunakan akal’ sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an tidak lain adalah: Penggunaan kedua belahan otak, baik fungsi rasional maupun fungsi intuitif / perasaan secara utuh dalam setiap aktivitas pemikiran atas semua masalah, baik dunia maupun akhirat. (Rasio + Intuisi/Rasa = Akal)!!  

                                                             

                                   e-mail: chairullah.idris@gmail.com       ==@==     10/9/2012           

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar