AKAL & RASIO, IDENTIKKAH ?
Oleh:Chairullah Idris
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah,
seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu
mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur air dengan wiski
luar negeri yang setelah habis diteguknya, maka dia pun terkapar mabuk. Setelah
siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir jalan
sambil mengisap kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia mabuk.
Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga seperti kedua campuran
terdahulu, menyebabkan dia mabuk
pula. Berdasarkan penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang
menyebabkan manusia itu mabuk. Benar-benar rasional, bukan, namun apakah hal
itu masuk akal ?
Orang terkadang rancu di dalam menterjemahkan akal, akal diidentikkan
dengan rasio, sehingga sesuatu yang masuk akal dianggap sebagai rasional.
Begitu juga jika sesuatu yang tidak rasional berarti tidak masuk akal. Akal
lebih tepat diterjemahkan sebagai jalinan antara rasa dan rasio yang dalam
bahasa Inggris disebutnya sebagai ‘mind’. Dalam Kamus “Longman Dictionary of
Contemporary English”, ‘mind’ diartikan sebagai: ‘a person’s way of thingking
or filling’. Ini berarti bahwa akal itu adalah suatu cara berpikir atau
merasa. Secara awam, intuisi / rasa
sering dipaha- mi sebagai kerja hati. Sebagaimana masyarakat modern selalu
mengedepankan kata "I think” bila mengemukakan suatu pendapat, mengingat kata “I
feel” terkadang diidentikkan dengan penggunanaan hati. Padahal, sebagaimana kita pahami bahwa fungsi
hati adalah merupakan ‘pabrik’ kimia terbesar
dalam tubuh sebagai pengantar metabolisma, yang artinya, ia mengubah zat
makanan yang diserap dari usus dan disimpan di suatu tempat di dalam tubuh,
guna dibuat sesuai untuk pemakaiannya di dalam jaringan. Hati juga mengubah zat
buangan (zat sampah) dan bahan racun agar mudah diekskresikan ke dalam empedu
dan air kemih (urine). Disamping itu, hati juga berfungsi mengubah asam amino
menjadi glukosa.
Adapun penggunaan kata “hati” yang
tertera dalam terjemahan beberapa ayat Al-Qur’an, tidak lain adalah berasal dari kata Qalb (Qalbu). Dalam bukunya ‘Sufisme & Akal’, Dr. Muhammad ‘Abdullah asy-Syarqawi
memberi penjelasan bahwa kata ‘qalb’ disebut dalam Al-Qur’an baik dalam bentuk tunggal maupun
jamak lebih dari 130 kali. Hanya saja menurutnya, penyebutan itu tidak secara mutlak menunjukkan bahwa kata qalb
diartikan dalam konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang melekat dalam
badan), melainkan dimaksudkan sebagai “ instrumen persepsi ma’rifah yang sangat
kompleks” yang memiliki beberapa fungsi bercabang, beragam, dan saling terkait
pada kadar paling banyak. Adapun kata ‘hati’
dalam arti yang sesungguhnya (bagian
dari organ tubuh), dalam Al-Qur’an disebut dengan ‘Al-af’idah’ antara lain
terdapat dalam surat Al Mu’minun: 78-80 dan surat As Sajdah: 9.
Sekitar 2500 tahun yang lalu, manusia tidak mengetahui apapun tentang
otak dan cara kerjanya. Sebelum bangsa Yunani kuno, otak bahkan tidak dianggap
sebagai bagian dari tubuh manusia, tetapi dianggap hadir sebagai bentuk-bentuk uap eter, gas, atau roh yang
bukan merupakan bagian dari tubuh. Yang mengejutkan lagi, bangsa Yunani tidak
memberi kita pengetahuan yang lebih baik, bahkan Aristoteles--filsuf pemikir mereka yang paling
terkenal dan pendiri ilmu pengetahuan modern, menyimpulkan bahwa pusat sensasi
dan ingatan, berada di jantung! Namun seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya neurosains, intuisi / rasa ternyata adalah merupakan
bagian dari kerja otak. Hal ini sangat dapat dipahami, karena baru selama masa
renaissance di akhir abad ke-14, suatu masa pencerahan intelektual, akhirnya
disadari bahwa pusat pikiran dan kesadaran berada di kepala. Dan baru di
penghujung abad ke-20 terdapat kemajuan besar dalam penelitian dan pemahaman
tentang otak kita.
Dalam karyanya berjudul
‘Filsafat Ilmu’, Prof. Dr. Jujun S. Suriasumantri antara lain menyatakan bahwa, kegiatan berpikir selain
menggunakan rasio juga ada yang tidak mendasarkan pada rasionalitas umpamanya
adalah intuisi. Intuisi menurutnya, merupakan suatu kegiatan berpikir yang
nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu.
Berpikir intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang
berpikir non- analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi
disimpulkannya bahwa secara luas dapat kita katakan cara berpikir masyarakat
dapat di kategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa logika /
rasional dan cara berpikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Dalam pandangan para
orientalis tentang asal-usul filsafat dalam Islam, mereka tetap konsisten
beranggapan bahwa filsafat sepenuhnya adalah berasal dari Yunani. Dalam hal ini
dapat ditangkap suatu indikasi, bahwa di balik menafikan asal usul filsafat
Islam itu, terselip pengingkaran adanya sistim, konsep dan pemikiran rasional
dalam Islam. Menurut mereka pemikiran rasional hanya dimiliki oleh Yunani.
Bahkan Islam menurut mereka dianggap tidak memiliki konsep dan sistim
pemikiran. Memang benar adanya, konsep berpikir rasional hanya milik bangsa
Yunani, hal itu tidak bisa dipungkiri. Namun, bukan berarti Islam tidak
memiliki konsep berpikir sebagaimana yang mereka tuduhkan.
Sebenarnya pada saat Islam datang (abad ke
7M), telah terusung konsep berpikir secara ‘nalar-akal’ dengan otak sebagai
sarananya. Salah satu dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang mengharuskan kita
menggunakan akal adalah surat Yunus ayat 100 yang berbunyi sbb: “Wa maa kaana
li nafsin an tu’mina illaa biiznillaah, wa yaj alurrijsa ‘alal-laziina laa
ya’qiluun” yang artinya: ‘Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan
izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak
mempergunakan akalnya’. Ini berarti, untuk memperoleh izin Allah Swt dalam hal
beriman, kita harus menggunakan akal
dalam tahapan prosesnya. Bahkan terdapat banyak ayat lainnya dalam Al-Qur’an
yang memerintahkan kita untuk mempergunakan akal
dalam banyak hal.
Akal atau ‘aql’ adalah
kosakata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘tali pengikat’. Berbagai
tafsiran para ulama dan cendekiawan muslim mengenai arti dan makna dari ‘tali
pengikat’ tersebut. Para pakar — dahulu dan sekarang — yang berkalola atau
bersorban, yang berpeci atau bertopi, berbeda pendapat menyangkut akal dan
produk-produknya. Namun nampaknya belum
ada kesepakatan yang dapat dijadikan acuan mengenai pengertian akal itu sendiri
hingga saat ini. Yang lazim dikalangan sufi menyebutkan bahwa ‘tali pengikat’
tersebut adalah tali pengikat unta agar tidak lari meninggalkan majikannya, d.p.l ia adalah potensi manusiawi yang berfungsi sebagai
tali pengikat yang menghalanginya terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Yang berarti pula, siapa yang mengetahui apa yang bermanfaat dan
berbahaya bagi urusan dunianya, berarti dia mengetahui bahwa Allah Swt telah
menganugerahi akal baginya. Adapun konsep akal menurut kaum sufi, adalah
“semacam insting yang tidak dapat diketahui kecuali dengan aktivitasnya di
dalam hati dan anggota badan”.
Setelah masuknya logika
Aristoteles ke dunia
Islam (abad
ke 9) dan diterimanya Mu’tazilah menjadi aliran
resmi kerajaan (dinasti Abbasiyah), adalah tidak terlepas dari peran penting al-Kindi, yang melancarkan suatu gerakan berskala luas dalam
mengedepankan hal-hal pokok dari pikiran Mu’tazilah dan kecenderungan
rasionalitasnya
di dalam masyarakat. Bagaimanapun, Mu’tazilah sudah cukup mendorong banyak
intelektual Muslim saat itu
untuk merasionalkan agama mereka guna menciptakan argumentasi yang bisa
bertahan dari serangan para filosof, Kristen, Yahudi, Ateis, serta lawan-lawan
dari kalangan Muslim sendiri. Dari sinilah bermula kata akal menjadi identik
dengan rasio, dan dari sini pulalah istilah rasional telah terseruput /
diadopsi oleh Umat Islam pada saat itu sebagai konsep berpikir umat Islam, yang menurut mereka bersumber dari Al-Qur’an yakni ‘aql’. Dan dalam perjalanan sejarah umat IsIam berikut- nya ( setelah
abad ke 9 )
bahkan hingga saat ini yang dipicu oleh pemahaman akan ‘akal’ yang diidentikkan
dengan rasio, maka yang terjadi
hingga saat ini baik para Ulama maupun para Umaro masih tetap menganggap dan memahami bahwa ‘akal’ itu adalah
tidak lain dari ‘rasio’. Bahkan mereka mentasbihkan bahwa Al-Qur’an telah
memerintahkan kita umat Islam untuk menggunakan ‘rasio’ atau berfikir secara
rasional.
Sebagai contoh bisa disebut: dalam bukunya ‘Akal dan
Wahyu Dalam Islam’, Harun Nasution, mantan Rektor IAIN
(UIN sekarang) mengutip tidak kurang dari 30 ayat Al-Qur’an, yang menurut pandangan beliau, manusia
diperintahkan untuk berpikir rasional agar dapat mengetahui Tuhan dan dunia. Namun disisi
lain, dalam sebuah makalah-nya yang diterbitkan pertama kali tahun 1975 berisikan antara lain: “Menurut kebenaran Islam, manusia adalah
ciptaan Tuhan. Kemampuan untuk berpikir yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia telah menjadikannya
sebagai ciptaan yang paling sempurna. Akal memungkinkan manusia menciptakan
peradaban dan kebudayaan yang hebat. Akal membawa pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”, ungkapnya. Dari dua pernyataan tersebut diatas, dapat terindikasi bahwa pemahaman yang bersangkutan akan rasio dan akal adalah sama, atau mungkin juga mengalami kerancuan. Contoh lainnya
adalah, Qadi Abd al-Jabbar (935-1024) teolog terbesar dan pakar hukum dari
mazhab Mu’tazilah kelahiran Asadabat Iran, dalam kitab berjudul ‘Al-usul
Al-khamsa’ beliau memulai tulisannya dengan dasar pertama agama menurut
Mu’tazilah, yaitu Tuhan bisa dan harus diketahui secara rasional. Menurutnya pengetahuan
tentang Tuhan hanya bisa didapat dengan berpikir melalui argumentasi yang
rasional, karena kalau kita (pertama-tama) tidak mengetahui bahwa Dia-lah Yang
Maha Benar, kita tidak akan mengetahui otentitas Al-Qur’an, sunnah, dan
kesepakatan umat (ijma’). Sedangkan dalam bab / uraian berikutnya beliau menekankan bahwa ‘peran akal adalah utk
membawa manusia rasional menjadi beriman
pada Tuhan, untuk berpikir dan menjadi Islam’. Lagi-lagi disini terlihat jelas adanya
kerancuan terhadap pemahaman tentang akal dan rasio. Contoh berikutnya adalah, serangkaian
dialog antara sang murid (M. Quraish Shihab) dengan gurunya (sang Maulaya ) yang terjadi
saat sang murid tengah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, yang dikemudian
hari setelah berselang 40 tahun diangkat menjadi sebuah karya (buku) berjudul “Logika
Agama”; Kedudukan Wahyu & Batas-batas Akal dalam Islam. Dalam satu dialog,
ada pertanyaan dari sang Maulaya sbb: “Ketahuilah anakku, bahwa yang engkau
katakan tadi seluruhnya benar. Tetapi coba jelaskan, apa yang engkau maksud
dengan semboyan ‘Islam agama rasional’. Apakah itu berarti bahwa Islam merujuk
kepada akal? Ataukah ia membiarkan kita bebas untuk berkeyakinan dan berbuat
sesuai dengan petunjuk akal dan pengarahannya? Akal, anakku, memiliki wilayahnya yang tidak
dapat dilampauinya. Wilayahnya adalah alam fisika, sedang agama berbicara juga
tentang alam metafisika”. Disini tampaknya sang murid dan gurunya sedang
berusaha bersepakat tentang penyamaan persepsi akan akal dan rasio di dalam
ajaran Islam. Dan jelas sekali penjelasan bagian akhir dari sang guru yang
meyakini bahwa akal itu tidak lain adalah rasio. Adapun sebagai contoh terakhir adalah pandangan dari pihak
Umara. Pada kesempatan puncak acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid
As-Syuhada, Pamekasan Madura tanggal 9 Oktober 2006 Presiden SBY mengajak
seluruh umat Islam Indonesia untuk tak saja membaca Al-Qur’an dengan bacaan
yang benar dan suara yang merdu tapi juga memahami makna dan tafsirnya. Lebih
lanjut beliau mengatakan “Ajaran Islam sangat mendorong masyarakat untuk
berpikir secara rasional. Dengan menjadi manusia yang rasional, masyarakat
mulai berpikir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan berpikir untuk
membangun masyarakat kearah yang lebih baik” (Republika, 10/10/2006).
Sebagaimana kita ketahui bersama, ajaran Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah rasanya tidak ada yang memerintahkan
umatnya untuk berpikir rasional, namun yang pasti adalah perintah untuk berpikir dengan menggunakan
akal, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ad-diinnu huwal ‘aqlu walaa diina - liman
laa ‘aqlahuu” yang artinya ‘Agama adalah akal, dan tidak ada (tidak dianggap ber)
agama siapa yang tidak memiliki/menggunakan akal’ (sejalan QS.10:100). Jadi
adanya sorga, neraka, alam akhirat dan lain-lain yang bersifat ghaib hanyalah
bisa diterima dengan akal, bukan hanya dengan rasio. Sebab kemampuan rasio
manusia sangat terbatas, ia tidak mampu menjangkaunya hingga tidak akan pernah
metode-metode ilmiah untuk membuktikan sesuatu yang ghaib. Akal mampu menerima
segala sesuatu yang bisa ditangkap dengan kemampuan indera, juga segala sesuatu
diluar pengalaman empiris. Sebab dalam akal, terdapat unsur rasa yang mampu
menimbulkan rasa percaya, rasa senang, rasa cemas, rasa bahagia, rasa cinta,
rasa memiliki, rasa haru dan rasa-rasa lainnya.
Sedangkan rasio cenderung kearah pemikiran, dan sasaran rasio adalah
segala sesuatu yang hanya bisa ditangkap atau didapat dari pengalaman indrawi.
Sehingga segala sesuatu yang rasional tentu bisa masuk akal jika unsur rasa
ikut berfungsi. Tapi sebaliknya tidak semua yang masuk akal dapat
dirasionalkan, sebab kemampuan rasio manusia terbatas adanya.
Jadi dapat dibayangkan, bagaimana
kualitas iman seseorang bila kita peroleh hanya dengan perantaraan rasio,
mengingat rasio itu sendiri menurut Hegel dalam Encyclopaedia of Philosophical
Sciences adalah “ada sejati” (true being) yang mewujud dalam alam dan terealisasi
dalam diri manusia. Rasio adalah penguasa dunia dan mengidentikkan dirinya dengan realitas (wujud
sejati). Karenanya keimanan dan keyakinan beragama / ber-Tuhan yang diperoleh
hanya melalui pendekatan rasio dengan ada sejatinya, maka tidak sedikit agama /
kepercayaan yang pemujaan terhadap Tuhannya diwujudkan dalam bentuk konkrit (true
being). Oleh sebab itu pendekatan
beragama / ber-Tuhan selayaknya dilakukan secara bersamaan. Rasio diperlukan, untuk memperoleh kepastian
bahwa Tuhan itu memang benar adanya, adapun intuisi / imajinasi digunakan agar
kita dapat meyakini dan mengimani-Nya. Itulah yang dimaksud dengan beragama
melalui pendekatan ‘akal’. Terkait hal tersebut, Karen Armstrong dalam sebuah
karyanya menyatakan bahwa; ‘Kita dapat mengetahui sesuatu mengenai Tuhan dengan
menggunakan daya nalar dan intuisi / imajinasi kita’. Sebagaimana juga
Al-Ghazali, setelah kembali kepada tugas mengajarnya di Baghdad, sedikitpun tak
pernah surut dalam keyakinannya bahwa adalah mustahil membuktikan keberadaan
Tuhan hanya dengan logika dan bukti rasional saja. Demikian pula seorang ahli
Kedokteran dari Toledo, Judah Halevi (1085-1141), yang merupakan pengikut setia
Al-Ghazali meyakini bahwa Tuhan tidak bisa dibuktikan hanya secara rasional,
namun hal ini tidak berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional.
Bahkan lebih dari itu Einstein-pun mengatakan; ‘Jika seseorang menggunakan
akalnya, maka ia akan dipaksa oleh ilmu pengetahuan untuk mempercayai adanya Tuhan’
(buku: Ilmu dalam Perspektif; Karya Jujun S. Suriasumantri).
Dari paparan diatas, tiba-tiba muncul kecemasan dibenak penulis jangan-jangan
kita umat Islam, lebih spesifik lagi di
Indonesia nampaknya telah masuk dalam perangkap jebakan pihak Barat dalam
pengagungan rasio sebagai metode berpikir dengan hanya menggunakan hemisfer
otak sebelah kiri, sedangkan berpikir secara nalar akal dengan otak sebagai
sarananya berarti selain melibatkan unsur-unsur rasio, juga intuisi dan
imajinasi yang dapat dicapai apabila kita menggunakan kedua belahan otak yaitu
hemisfer sebelah kanan dan sebelah kiri secara bersama-sama. Hal ini penulis
sampaikan, satu dan lain karena pihak Barat sendiri khususnya para filsuf ber
mazhab rasional telah banyak mendapat kritik / koreksi antara lain dari: Filsuf
asal Jerman Immanuel Kant; yang dalam karyanya ‘Critique of Pure Rasio’ membuat
perbedaan yang jelas antara rasio, akal budi (Vernunft) dan pemahaman (Verstand).
Konsep inti dari karyanya tersebut adalah kontradiksi-kontradiksi antara ‘rasio
dan sense’, ‘intelegesi dan alam’, dan, dalam bentuknya yang paling umum, ‘subyektifitas
dan obyektifitas’. Menurutnya, semua pemikiran, secara langsung maupun tidak langsung, harus mengkaitkan ‘intuisi’. Kant
juga berusaha membuktikan bahwa akal manusia melalui rasio dan intuisi memiliki
bentuk-bentuk universal yang mengatur beragam jenis data yang masuk kepadanya
melalui indera. Bentuk-bentuk ‘intuisi’ dan bentuk-bentuk ‘pemahaman’ adalah
universalitas yang melaluinya, akal
menata bera- gam data indera ke dalam serangkaian pengalaman. Intinya, Kant
lebih mengu tamakan penggunaan rasio bersama-sama intuisi dan imajinasi dalam
semua hal pemikiran, dan inilah yang dinamakannya sebagai penggunaan ‘akal’.
Kajian terbaru / koreksi lainnya datang dari
Fritjof Capra (peraih Ph.D. dari Universitas Vienna) pengajar
tentang implikasi filosofis dari sains modern, dalam bukunya yang berjudul ‘Titik Balik Peradaban’; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan kebudayaan, terjemahan dari buku aslinya “The Turning point ” Science, Sosiety and The Rising Culture; Bantam
Book, New York antara lain menjelaskan bahwa: Rasional dan Intuitif merupakan dua modus fungsi akal manusia yang
saling melengkapi. Pemikiran rasional
bersifat liniear, terfokus, dan analitis; Pemikiran ini menjadi bagian dari alam intelek,
yang fungsinya adalah untuk membedakan, mengukur dan mengelompokan. Dengan demikian, pengetahuan rasional cenderung terpotong-potong. Sebaliknya pengetahuan intuitif
didasarkan atas pengalaman realitas yang bersifat langsung dan nonintelektual
yang muncul didalam suatu kondisi kesadaran yang luas. Pengetahuan intuitif
cenderung bersifat padu, holistik, dan nonlinear. Dari uraian diatas tampaklah
bahwa pengetahuan
rasional melahirkan aktivitas yang terpusat pada diri, atau ‘yang’; sedangkan kearifan intuitif merupakan dasar bagi aktivitas ekologis, atau ‘yin’. Dengan
mengacu pada dua lawan kata tersebut, kita menjadi mudah mengetahui bahwa masyarakat modern ternyata lebih
menyukai yang daripada yin, lebih suka pengetahuan rasional daripada kearifan
intuitif, lebih menyukai ilmu daripada agama, lebih suka bersaing daripada
bekerja sama, lebih suka mengeksploitasi sumber daya alam dari pada
melestarikannya, ungkapnya lebih lanjut.
Namun
sejalan dengan pesatnya perkembangan neurosains (abad ke 21), masyarakat Barat post modern sebenarnya sudah melangkah
lebih jauh lagi beralih dari masyarakat
rasional ke masyarakat ‘akali’ atau
tepatnya beralih dari Era Informasi (pekerja pengetahuan) ke Era Konseptual
(pencipta dan pesimpati), dimana otak sebelah kiri yang selama ini diagungkan sebagai sesuatu yang
membuat kita menjadi manusia, ternyata hanya membuat kita menjadi manusia
setengah pintar. Demikian pendapat dari Daniel H. Pink dalam buku ‘Misteri Otak Kanan Manusia’
terjemahan dari buku aslinya berjudul ‘A Whole New Mind’.
Betapapun menggodanya berbicara tentang belahan otak kanan dan kiri
secara terpisah, mereka pada dasarnya adalah dua belahan otak, yang dirancang
untuk bekerja bersama-sama sebagai satu kesatuan yang lembut, tunggal dan
terpadu dalam satu otak yang utuh. Belahan otak sebelah kiri mengetahui
bagaimana menghadapi logika dan belahan sebelah kanan mengetahui tentang dunia.
Gabungkan keduanya dan seorang akan mendapatkan satu mesin pemikiran yang
dahsyat. Dengan kata lain, menuju suatu kehidupan yang sehat, bahagia dan
sukses bergantung pada dua belahan otak kita.
Sayangnya, sistem pendidikan modern cenderung berfokus pada keterampilan
otak kiri dan kurang menekankan keterampilan otak kanan, yang langsung
berdampak pada kemampuan kita berpikir secara kreatif. Kecenderungan untuk
lebih memilih keteram pilan-keterampilan ‘otak kiri’- matematika, bahasa dan
ilmu pengetahuan daripada seni, musik, dan pengajaran keterampilan
berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif. Ketika hanya berfokus pada setengah bagian otak,
sistem pendidikan kita hanya menciptakan orang-orang yang setengah pintar.
Pertanyaannya, apakah
rasionalitas dan kelogisan itu salah? Jelas tidak! Tapi ada sesuatu yang
terlewatkan. Ketegangan hidup dan ketidakmampuan mencerna realitas supranatural
timbul karena pola pikir kita tidak seimbang. Selama ini, kita terlalu banyak
menggunakan belahan otak kiri dan mengabaikan peran penting belahan otak kanan.
Mengaktipkan dan memberdayakan belahan otak kanan akan banyak membantu kita
menghayati hidup yang lebih bermakna dan bermutu. Dengan mengembangkan
kemampuan otak kanan bukan berarti menyerang atau menghilangkan kemampuan otak
kiri yang rasional dan matematis itu. Pembelajaran mengembangkan kemampuan otak
kanan secara intensif akan melengkapi cara berpikir seseorang sehingga pola
pikirnya dalam menghadapi kehidupan menjadi seimbang dan sempurna.
Kembali kita kepada dasar kata
akal (‘aql) yang bermakna ‘tali pengikat’, apakah secara kebetulan atau memang
tepat apa yang dikatakan oleh seorang pemikir besar dan pakar hukum Prancis
Marcel A. Boisard tentang Al-Qur’an. Dalam karya besarnya berjudul Humanism in
Islam (sisi humanis ajaran Islam) beliau
memberi kesaksian sbb: ‘Hingga detik
ini, Al-Qur’an adalah sumber inspirasi bagi para ilmuwan dan sastrawan.
Mustahil manusia bisa menciptakan karya seperti Al-Qur’an karena ia adalah
kalam Tuhan, bukan ciptaan manusia. Ia sumber
pengetahu- an yang melahirkan
metodelogi berpikir, sumber hikmah, dan lahan yang tiada pernah habis bagi
rujukan ilmu’. Marcel tidaklah sendiri
dalam memberikan kesaksian serupa, Jacque Risler seorang orientalis dan penulis
utama Prancis kontemporer diantara karya monumentalnya yang berjudul ‘La Civilisation Arabe’ antara
lain memuat hal yang sama. Adapun kesaksiannya : ‘Al-Qur’an adalah kitab suci
yang terkandung di dalamnya rangkuman seluruh ajaran agama masa lalu, terkumpul
di dalamnya mustika segala ilmu pengetahuan’. Adapun kesaksian lainnya datang dari seorang
orientalis dan sejarawan besar di Amerika yang dikenal di dunia barat dan
timur; George Sarton (1884-1956).
Sebagai anggota dewan keilmuwan sejarah internasional yang berpusat di Paris dan
tutor Dewan Ensiklopedia Islam di Suriah, ybs juga ikut memberi kesaksian atas kompetensi Al-Qur’an sebagaimana yang
tertulis dalam ‘The Incubation of Western
Cultuer in the Middle East’ sbb: ‘Perbedaan antara Al-Qur’an dan injil
sangatlah jauh. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara langsung kepada
nabi agama ini (Muhammad). Ajaran
Al-Qur’ an meliputi seluruh aspek kehidupan, nilai - nilai religi, ilmu
pengetahuan, aturan perundang-undangan, tata laksana kehidupan, bahasa dan
lain-lain. Intinya, tiada satu masalah
kehidupan pun yang tidak tersolusikan dalam Al-Qur’an’, ungkapnya. Atas dasar beberapa kesaksian
tersebut diatas, penulis sulit untuk dapat mengatakan ‘tidak’ atas keabsahan substansi
dari apa yang mereka sampaikan, mengingat sudah sejak lama di abad ke XII tepatnya
pada tahun 1141 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa
latin oleh Robert of Chester (Robert Ketton), seorang pendeta berkebangsaan
Inggris yang ahli matematika, ahli astronomi, dan ahli kimia yang juga tinggal di Spanyol
dimana ybs menjadi saksi atas kejayaan / kekuasaan Islam di sana. Penerjemahan Al-Qur’an tersebut dilaksanakan
atas permintaan Yang Agung Peter untuk tujuan menyangkal kebenarannya. Namun,
alih-alih ingin menyangkal kebenaran dari Al-Qur’an, mereka justru menemukan
banyak hal bermanfaat yang kiranya dapat dijadikan pedoman dan spirit
kebangkitan. Hal tersebut memang telah dijanjikan oleh Allah Swt dalam
firman-Nya: “Haazaa Basaaa ’iru linnaasi wa Hudaw wa Rahmatul - liqaw miny - yuuqinuun” (QS. 45: 20) yang artinya, “Al-Qur’an
ini adalah pedoman bagi seluruh manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini”. Untuk hal tersebut, tidak berlebihan kiranya mantan president
Amerika Serikat Richard Nixon, melalui buku terakhirnya sebelum meninggal
dunia, ‘Seize the Moment, America Challenges in One Super Power World’, antara
lain mengatakan, Barat berhutang besar kepada dunia Islam untuk renaissance-nya.
Terkait hal tersebut, kiranya
dapat ditarik suatu hipotesa bahwa bukanlah suatu hal yang kebetulan bila ada
kesamaan antara ‘tali pengikat’ (makna dari akal/‘aql) dengan apa yang
disampaikan oleh John Mc. Crone dalam bukunya ‘Menyingkap Kerja
Otak’ terjemahan dari buku aslinya ‘How the Brain Works’ yang menyatakan, belahan otak besar adalah nama umum untuk serebrum, yaitu massa otak yang
bergulung-gulung di otak bagian atas. Terbentuk dari sepasang lobus simetris
yang dihubungkan bagian tengahnya oleh tali
(pita) tebal saraf yang disebutnya sebagai ‘Corpus Callosum’. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang Corpus Callosum dapat pula kita temukan dalam buku karya Daniel H. Pink
yang berjudul ‘A Whole New Mind’ yang terjemahannya berjudul ‘Misteri Otak
Kanan Manusia’ dimana ybs berkesimpulan bahwa Corpus Callosum adalah ikatan yang tebal dari 300 juta urat otak dan berfungsi menghubungkan dua belahan otak, dimana letaknya berada
ditengah-tengah kedua hemisfer (belahan) otak tersebut. Jadi menurut kedua
penulis tersebut diatas, Corpus Callosum tidak lain adalah: ‘Kumpulan dari 300
juta urat otak dan berbentuk tali (pita) tebal, yang berfungsi mengikat dan menghubungkan
dua belahan otak, yaitu hemisfer sebelah kiri dan hemisfer sebelah kanan dalam
setiap aktivitas berpikir’. Dan bila kita
kembali kepada terminologi yang disampaikan oleh Fritjof Capra sebagaimana disebut
dimuka, yang menyatakan bahwa ‘rasional’ dan ‘intuitif’ adalah merupakan dua
modus fungsi akal yang dirancang untuk saling bekerja sama dan saling
melengkapi, maka ‘akal’ (tali pengikat) adalah tidak lain dari apa yang disebut
dalam neurosains sebagai Corpus Callosum.
Jadi yang dimaksud dengan ‘menggunakan akal’ sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an tidak lain adalah: Penggunaan kedua belahan otak, baik
fungsi rasional maupun fungsi intuitif / perasaan secara utuh dalam setiap
aktivitas pemikiran atas semua masalah, baik dunia maupun akhirat. (Rasio + Intuisi/Rasa = Akal)!!
e-mail: chairullah.idris@gmail.com ==@== 10/9/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar