Senin, 07 Oktober 2013

ISLAM AGAMA PERTENGAHAN ...... Muslim, Ummatan Wasathan !



ISLAM  AGAMA PERTENGAHAN ......
           Muslim, Ummatan Wasathan !        
      
    Salah satu dari tiga poin resume “Deklarasi Jakarta” yang merupakan hasil dari Konferensi ‘Summit Of Word Muslim Leaders’, adalah: Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia. Deklarasi itu agaknya ingin menunjukkan, bahwa Islam adalah Agama moderat (pertengahan) yang cinta damai, anti kekerasan, dan tidak anti kemajuan.
        Benar, bahwa Islam sangat menekankan prinsip keseimbangan. Ketika ide pertengahan diterapkan kepada manusia, maka ia memiliki konotasi keseimbangan, equilibrium dan keadilan. Konsekuensinya, identitas peradaban Islam dicirikan dengan perimbangan, equilibrium dan keadilan. Bahkan dengan itu pula Allah tegakkan pilar langit, sebagaimana firmanNya:  “...dan langit, Dia telah meninggikannya dan Dia letakkan neraca (keadilan). Agar supaya engkau tidak melampaui batas neraca itu.” (QS.Ar-Rahmaan:7-8).
        Sebagai  agama pertengahan, Islam tidak mematikan akal ataupun menuhankannya. Batas antara akal yang benar dan yang tidak adalah wahyu. Wahyu ibarat bingkai yang mengemas akal agar tidak jatuh ke salah satu titik ekstrim. Dengan keadialan ini Islam telah mengukir sejarah emas di pentas sejarah.
       Sejarah Yunani menjadi tonggak sejarah terpenting praktik penuhanan rasio. Para filsuf Yunani mencoba menjawab semua kegelisahan manusia dengan rasio. Mereka berfikir dan menurunkan teori-teori tentang teologi, rasa, sains, logika, alam, materi, jiwa, kesehatan, seni, etika, politik, hukum, dan sebagainya. Walau begitu, wajib di catat, budaya Yunani tidak otomatis bebas dari konsep dewa-dewi dan ritus-ritus yang dibuat-buat.
        Para pakar Islam di masa awal memang merupakan penerus ilmuwan Yunani, tetapi mereka mengisinya dengan ruh keislaman dan dari itu mereka ciptakan penemuan-penemuan baru yang orang mau tak mau mengakuinya sebagai ‘produk’ Islami karya pakar Muslim. Dan orang-orang barat tidak dapat mengklaim begitu saja bahwa mereka meneruskan kegiatan keilmuan mereka dengan menyedot ilmu orang-orang Yunani secara langsung. Mereka harus mengakui peranan pakar Islam sebagai pengembang dan pencipta.
        Pakar-pakar Muslim masa awal mampu mencapai keberhasilan karena pertama sekali mereka menghayati keislaman mereka dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an dan sunnah Rasul, mereka jadikan pangkal gerak hidup mereka sepenuhnya. Dengan begitu maka kiprah mereka akan sepenuhnya Islami.
       Adalah merupakan fakta yang tidak bisa dibantah bahwa Barat telah belajar banyak hal tentang agama-agama Timur melalui Islam. Islam berperan sebagai jembatan peradaban antara Barat dan Timur serta Utara dan Selatan. Kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Menjadi perekat antara pemeluk agama yang telah menjadikan “kehidupan dunia” bagai segala-galanya, tidak mempercayai lagi hari akhir serta menjadikan materi diatas segala-galanya, sedangkan pemeluk agama lainnya, telah menjadikan para pemeluknya sebagai rahib-rahib, dan tidak lagi memperdulikan kehidupan duniawi.           
       Hal ini juga merupakan satu kesaksian dari  komunitas Barat,  sebagaimana yang disampaikan oleh David de Santillana (1845-1931) seorang orientalis berdarah Italia melalui  salah satu karyanya berjudul ‘ Hukum dan Masyarakat’, dalam satu bab menyatakan : “Ajaran Islam  meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaranNya. Bahkan lanjutnya, ajaran Al-Qur’an menuntun kembali kepada kepercayaan murni dan luhur, sebagaimana yang diajarkan para Nabi dan para kekasih Tuhan pada masa lalu (Nuh dan Ibrahim) yang dijauhi dan direduksi kaum Nasrani dan Yahudi. Ayat-ayat Al-Qur’an juga meluruskan semua paham salah yang mereka sebarkan serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran, sebagaimana yang telah disampaikan Nuh dan Ibrahim pada masa lalu.  Lebih lanjut beliau menggaris bawahi bahwa : Ayat-ayat Al-Qur’an juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa serta mengembalikannya kepada kemurnian ajaran yang disampaikan Musa dan Isa”.
        Agama Islam datang menjadi penengah antara keduanya, tidak membenarkan orang hidup serba menahan diri, juga tidak membenarkan ‘ibahiyah’ atau hidup serba boleh; Dan juga tidak meninggalkan akhirat serta tidak mengabaikan duniawi, sebagaimana firman Allah berikut ini:  “Atas apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, carilah kebaha- giaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS.Al-Qashash:77). Islam datang menyapa manusia melalui akal yakni penggunaan rasio dan intuisi secara bersamaan. Dan dengan ke-universalannya; Dia mengatur segala sendi kehidupan manusia.  Islam juga merupakan agama yang bersumber dari Tuhan, dan berorientasi pada manusia. Dan sebagai agama yang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin) serta untuk kedamaian, umat manusia merasa ‘ditantang’ untuk mampu merespons persoalan kemanusiaan yang tengah menjadi harapan besar umat manusia pada masa kini.
        Adalah takdir Islam untuk menjadi “bangsa tengah” bukan hanya dalam pengertian geografis, tetapi juga dalam pengertian teologi, budaya dan peradaban. Dan sisi makna literalnya, kata  “wasathan”  mengacu kepada lokasi geografis dunia Muslim yang berada di pertengahan, antara Cina, Korea, dan Jepang pada sisi timur dan Eropa pada sisi barat; antara Rusia di bagian utara dan sub-sahara Afrika dan Australia di bagian selatan. Yang dimaksud dengan “Dunia Muslim” adalah bagian bumi yang mayoritas ditempati oleh masyarakat pemeluk agama Islam, yang terbentang dari Maroko di ujung barat hingga Merauke (Indonesia) di ujung timur, Rusia di bagian utara hingga Comoro di lautan India di bagian selatan. Singkat kata, secara geografis, dunia Muslim merupakan jembatan antara Timur dan Barat. Juga antara Utara dan Selatan.
       Gagasan Islam sebagai “bangsa tengah” bukan merupakan pemikiran yang muncul belakangan atau penemuan belakangan yang muncul setelah Islam menjadi suatu kerajaan, suatu agama dunia, dan peradaban dunia. Gagasan ini bisa ditemukan dalam kitab suci Islam sendiri, yaitu Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an masih diwahyukan secara parsial di Makkah, ketika pula komunitas dan negara Muslim pertama di Madinah belum berdiri, Allah telah menggambarkan keimanan baru, dan para pengikutnya disebut sebagai “ummatan wasathan”, yang berarti ‘bangsa atau komunitas tengah’ atau orang-orang yang mengambil jalan tengah.

Umat pertengahan (Ummatan Wasathan)
        “Wa kazaalika ja’alnaakum ummataw wasatal li takuunuu syuhadaa ’a’alan naasi;....” yang artinya: “ Demikian Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (QS.Al-Baqarah: 143).  Menurut Yusuf Qardhawi, umat pertengahan adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, bersikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
      Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula selalu bersikap proporsional (I’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf). Tidak melampaui batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan juga tidak bertele-tele (tanathu), serta tidak mempersulit diri (tasydid). Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrim seperti fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah, memperberat yang tidak pada tempatnya, sikap kasar dan keras dalam berdakwah, berburuk sangka atau memandang orang lain dengan ’kacamata hitam’.
        Dengan demikian, sebagai umat pertengahan umat tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam segala hal, termasuk ibadah ritual (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) serta dalam peperangan sekalipun (QS.Al-Baqarah: 190). Tidak membesar-besarkan masalah kecil, mendahulukan yang lebih penting ketimbang yang kurang penting, berbicara seperlunya serta tidak terlalu panjang membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
         Rasulullah Saw bersabda, “Hindarkanlah darimu sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya “ (HR Ahmad, Nasa‘I, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah Bin Abbas).  Meneladani golongan yang selamat adalah golongan Rasulullah Saw, karena Rasulullah Saw telah bersabda: “Golongan yang selamat dariNya hanya satu; para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah siapakah mereka? Nabi Saw bersabda ”Ahlus sunnah wal jama’ah” Sahabat bertanya kembali siapakah golongan tersebut ?  Nabi bersabda : ” Apa yang aku dan para sahabatku tempuh” (HR. Tirmidzi). Mereka tidak pernah mengambil dunia untuk dunia tetapi untuk agama. Mereka tidak pernah meninggalkan dan menghindari dunia secara total. Mereka tidak pernah terjebak ke dalam tafrith  (berlebih-lebihan) ataupun ifrath (sangat kurang) dalam sesuatu. Tetapi mereka senantiasa seimbang yaitu adil dan pertengahan antara dua sisi yang merupakan perkara paling dicintai Allah.
        Bila kita meyakini akan hadis tersebut diatas, kiranya sudah sepatutnya kita kembali meneladani apa yang Rasul beserta para sahabatnya laksanakan. Periode Rasulullah Saw, yakni suatu masa ketika Rasul masih hidup, pastilah ajaran Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat benar dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan tidak menyimpang sedikitpun. Khususnya oleh pribadi Rasul Saw sebagai suri-teladan yang terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahiah. Juga oleh para sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasulullah Saw.
       Amaliah Rasulullah Saw, mustahil jika sampai menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an. Karena amaliah inilah yang bakal di teladani oleh para sahabat dan umat berikutnya. Namun priode berikutnya, Islam seakan-akan telah berhenti sebagai kekuatan pemersatu umat dan bahkan merana dan menjadi tawanan di tangan pemeluknya. Inilah di antara tragedi yang memilukan yang masih berlangsung di depan pelupuk mata kita semua. Apa yang diingatkan Rasul berabad-abad yang lalu kembali kita rasakan benar sekarang ini; Berkata Rasul : ” Ya Tuhan-ku, sesungguhnya kaumku telah mengabaikan Al-Qur’an ini ” .
         Pertanyaannya adalah : Apakah kotak-kotak sunni, syi’i, khawarij, dan sub-sub yang lahir dari rahim mereka yang telah banyak menumpahkan darah sesama Muslim dalam bilangan abad sampai hari ini, adalah sesuatu yang sah dilihat dalam perspektif Al-Qur’an? Bukankah semuanya adalah buatan sejarah yang tidak boleh ‘diberhalakan’, sebab di masa Rasul kotak-kotak itu tidak pernah muncul ! Hal ini tentunya karena di masa itu Rasul dan para sahabatnya, masih berpegang teguh terhadap firman Allah berikut ini : “...dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar-Rum : 31-32).
        Semua orang kiranya sepakat bahwa Islam mengajarkan kebajikan, perdamaian, kerukunan, persamaan, dan keadilan. Kekerasan (kecuali dalam hal perang fisik dan mempertahankan aqidah), diskriminasi, adalah larangan Tuhan. Dalam hal teologi, Tuhan adalah satu, Nabi Muhammad adalah sebagai media antara manusia dan Tuhan, Rasul dan Al-Qur’an merupakan sumber Hukum, ajaran, dan moral, baik di ranah teologis maupun sosiologis. Kesemua itu merupakan titik temu diantara pemahaman kita yang berbeda-beda tentang Islam;  Sebagaimana juga pernah diungkap oleh Dr. Mahathir Mohamad pada suatu kesempatan di KTT OKI ke-10 di Malaysia sbb: “ Selama kurang lebih 1.400 tahun, pemahaman Islam, ajaran yang satu, tapi diartikan berbeda-beda oleh umat Islam sendiri”. Semoga di hari-hari mendatang, kita di persatukan kembali oleh Allah Swt dalam satu wadah “Ummatan wasathan”.  InsyaAllah...!!!

                                                                       ==@==