Setelah sekian tahun bangsa ini mengembara entah
kemana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu
pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang
teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi
kabur, ajaran adat berubah menjelma kepingan kaca yang susah disambung kembali.
Untuk pulang kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk
kembali ke Hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan
hidayah (petunjuk) Allah yang dapat mengembalikan ini semua.
Oleh sebab itu kejarlah hidayah Allah, karena
dari sanalah “pertolongan Allah” akan sampai kepada kita, bukankah fase-fase
kehidupan kita selama ini semuanya merupakan pertolongan Allah ?
Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah kita
dapat memperoleh hidayah Allah tersebut. Apa wujudnya dan siapa yang berhak
memperolehnya? Mengingat tidak semua orang dapat menerima petunjuk dan hidayah
dari Allah, sebab petujuk dan hidayah itu hanya diberikan Allah kepada
orang-orang yang dicintaiNya saja sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang
terjemahannya kira-kira sbb: “Sesungguhnya Allah Swt memberikan harta kepada
orang yang Ia cintai dan orang yang tidak Ia cintai, tetapi tidaklah Ia
memberikan agama (hidayah) selain kepada orang yang Ia cintai saja”. Penjelasan
Rasul tersebut, nampak erat kaitannya dengan firman Allah yang menyebutkan: “Fa
yuzillullaahu many-yashaaa-‘u wa yahdii many- yashaa’, wa huwal-
‘aziizul-hakiim” yang artinya ‘maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki,
dan memberi Petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana’ (QS. Ibrahim: 4).
Bey Arifin dalam karyanya berjudul ‘Mengenal
Tuhan’ menyebutkan, orang-orang yang jalan pemikirannya benar, sehingga tindak
perbuatanya benar dan baik, orang ini dikatakan mendapat hidayah (petunjuk)
dari Allah. Sedang orang yang jalan pemikirannya salah, sehingga tindak
perbuatannya salah dan jahat, berarti tidak mendapat petunjuk dari Allah,
tetapi mendapat petunjuk atau pengaruh dari syaitan atau iblis. Pendapat
tersebut tentunya tidak terlepas dari firman Allah yang menyebutkan: “Many
yahdil-laahu fahuwal-muhtadii, wa many-yuzlil fa-‘ulaaa-‘ikahumul-khaasiruun”,
yang artinya, ‘Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
berada di jalan yang benar; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka
merekalah orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf: 178).
Dari uraian ringkas diatas, dapatlah kita
ketahui betapa tinggi nilai petunjuk atau hidayah dari Allah itu. Nikmat
pemberian Allah yang paling penting dan paling tinggi nilainya yang diberikan
Allah kepada kita manusia, bukanlah nikmat/pemberian berupa makanan dan
minuman, harta kekayaan maupun pangkat tinggi, tetapi adalah nikmat atau
pemberian berupa hidayah atau petunjuk. Oleh sebab itu, yang harus kita cari
dalam hidup ini utamanya adalah petunjuk (hidayah) dari Allah, di samping
tentunya kita mencari harta kekayaan atau pangkat/jabatan. Apa artinya kekayaan
atau pangkat bila hidup kita tersesat, bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan.
Karenanya, rasulullah Saw dan orang-orang
beriman setiap saat dari kehidupan mereka selalu bermunajat dan bermohon, agar
Allah selalu memberikan petunjuk-petunjukNya. Antara lain do’a yang dipanjatkan
dalam sehari semalam minimal tujuh belas kali dengan ucapan: “Ihdinas
shiraathal-Mustaqiim” : ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’. Ihdinaa (tunjukilah
kami), terambil dari kata hidayaat yang mengandung makna bukan sekedar memberi
hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Dari buku kamus Al-Qur’an karya
Hasanain Muhammad Makhluf, ayat 6 surat Al-Faatihah tersebut ditafsirkan juga
sebagai: “Berilah kami hidayah (petunjuk) untuk tetap berada pada jalan yang
benar dan tidak bengkok, yaitu al-Islam”. Tafsir ini sejalan pula dengan penegasan
Allah melalui surat Az-Zumar ayat 23 yang artinya : “Itulah petunjuk Allah,
dengan kitab itu (Al-Qur’an) Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya;....”. Lebih
lanjut Allah melengkapi penegasan-Nya : “Dan
barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberiNya petunjuk), niscaya Dia
menjadikannya berada di atas Jalan yang lurus” (QS. Al-An’am: 39). Dengan
demikian, ‘Ihdinas shiraathal-Mustaqiim’ tidak lain adalah permohoman kepada
Allah Swt agar kiranya diberikan kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an sebagai
petunjuk/pedoman dalam rangka mengimani serta mengamalkan ajaran agama yang
benar, yakni al-Islam (Jalan yang lurus).
Dengan
mengacu pada ayat 185 surat Al-Baqarah yang menerangkan : “Bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”. Dari penggalan ayat
tersebut, dapat kita simak adanya dua hal pokok masing-masing yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan hal lain adalah Al-Qur’an
merupakan penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut. Sebagaimana pendapat
sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang
saling terkait, dapat saling menjelaskan satu sama lainnya. Maka keberadaan
tuntunan do’a ‘Ihdinas Shiraathal-Mustaqiim’ kiranya tidak terlepas dari janji
Allah kepada hamba-Nya yang tertuang dalam surat Al-Baqarah 269 yang artinya : “Allah menganugerahkan
Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari Firman Allah)”. Sebagaimana
kita pahami, selain memberikan hidayah agama, Allah Swt juga memberikan kepada
hamba-Nya berupa hidayah garizah (naluri), hidayah hawasi (indera), dan hidayah
akal. Keempat hidayah ini bagaikan jalan raya yang dibentangkan di hadapan
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Sehubungan
dengan itu, apabila seseorang sudah merasa mendapat petunjuk dari Allah, kita
masih harus selalu berdo’a agar hati kita jangan sampai membelok dari petunjuk
Allah tersebut, mengingat tidak sedikit manusia yang sebenarnya sudah mendapat
hidayah (petunjuk) dari Allah, tetapi hatinya lalu membelok dari hidayah itu.
Oleh karenanya, orang-orang yang beriman dan selalu beramal shaleh merasa tidak
takut bila kehilangan harta dan jiwa, tetapi mereka sangat takut bila
kehilangan hidayah Allah. Dan untuk itu telah ada tuntunan do’a yang harus
selalu kita panjatkan : “Rabbana la tuzigh qulubana ba’da izh hadaitana, wa
hablana min ladunka rahmatan innaka antal wahhab” (QS. Ali-Imran : 8).
Siapa
berhak memperoleh Hidayah
Akal
adalah satu senjata atau kekuatan pemberian Allah yang amat berharga yang
dimiliki oleh setiap manusia, terutama yang sudah dewasa, kecuali bagi yang
kurang waras. Dengan dibantu panca indera, akal dapat membedakan antara hitam
dan putih, tinggi dan rendah, buruk dan baik, merugikan dan menguntungkan.
Bahkan, dengan akal pula manusia sudah berhasil menciptakan alat-alat teknik
yang modern dan super canggih sekalipun. Namun sangat disayangkan, kecanggihan
teknologi tersebut bukan dimanfaat- kan untuk kemaslahatan (kesejahteraan dan
kedamaian) umat manusia secara keseluruhan, namun digunakan untuk membunuh,
menzholimi, menjajah serta menguras kekayaan alam bangsa lain secara mudah dan
murah. Demikianlah kehebatan manusia dengan pikirannya, dan begitu pula
kejelekan manusia dengan pikirannya pula. Oleh sebab itu, di samping adanya
akal pikiran, manusia harus mendapat kekuatan atau senjata yang lebih ampuh,
tidak lain adalah Hidayah Allah.
Berhubungan
hidayah atau petunjuk itu hanya Allah yang memiliki, maka hanya Allah-lah yang
dapat membagi-baginya kepada siapa yang ia sukai/cintai saja. Hal ini jelas
terungkap dalam firmanNya : “Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) tidak akan
dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang engkau cintai, tetapi hanya
Allah-lah yang dapat memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (hidayah)” (QS.
Al-Qashash: 56). Oleh karenanya, bila manusia ingin mendapat petunjuk, ingin
keluar dari kesesatan, ia harus terlebih dahulu iman kepada Allah lalu berusaha
mejadi orang yang dicintai oleh Allah. Iman dan taqwa terhadap Allah adalah
pancing untuk mendapatkan rasa cinta dari Allah.
Agar
dapat menjadi orang yang dicintai Allah, kiranya perlu kita perhatikan ayat 31
dari surat Ali-Imran yang artinya: “Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka
ikutilah / taatilah aku (Muhammad), niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni
dosa-dosamu. Allah maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan ayat 32 surat yang
sama sbb: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak Mencintai orang-orang yang kafir”. Jadi tanda-tanda seseorang mencintai Allah
adalah :
·
Mentaati
perintah Allah.
·
Mentaati
perintah Rasulullah.
·
Cintanya
terhadap Allah dan Rasul dan jihad fi Sabilillah melebihi cintanya terhadap sanak
keluarga dan hartanya.
·
Mencintai
sesama manusia karena Allah.
·
Benci
terhadap kekufuran.
·
Hanya
takut kepada Allah, tidak takut dicela, dibenci, digertak oleh manusia. Bila
seseorang telah cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan memenuhi tanda-tanda
di atas, maka Allah akan cinta kepadanya. Mencintai dan dicintai Allah, adalah
setinggi-tingginya rahmat Iman dan Taqwa.
Andaikan
seseorang jatuh cinta terhadap sesamanya, tentunya di dasarkan beberapa sebab.
Begitu pula seseorang yang jatuh cinta terhadap Allah, tidak lepas dari
faktor-faktor penyebab, diantaranya:
1.
Sering
membaca Al-Qur’an dan memahami isi serta maknanya.
2.
Sering
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan menjalankan ibadat-ibadat
sunnat sesudah melaksanakan ibadat fardhu.
3.
Memperbanyak
Zikir (mengingat Allah) dengan qalbu maupun dengan lidah.
4.
Berusaha
menundukkan hawa nafsu yang bertentangan dengan keridhaan Allah.
5.
Sering
berkhalwat (bersunyi diri sendiri) menghubungkan sekujur jiwa/perasaan kita
dengan Allah, sambil berdo’a atau bermunajat kepadaNya dan mohon ampun serta
bertaubat.
6.
Bergaul
dengan orang-orang shalih yang menjadi kekasih Allah.
7.
Meninggalkan
bincang-bincang yang tak berguna.
8.
Menjauhi
segala sebab yang dapat membatasi antara qalbu kita dengan Allah Swt.
9.
Mensyukuri
segala nikmat dan rahmat serta kebaikan dari Allah Swt.
Dengan
menjalankan / mengamalkan segala sebab dan hal-hal tersebut diatas, mudah-mudahan
Allah Swt senantiasa memberikan peluang dan kemampuan kepada kita untuk
mencapai kedudukan cinta dan dicintai oleh Allah Swt. Insya Allah... Amien..!
==@ == 27/1/2013