Rabu, 31 Juli 2013

Upaya memperoleh HIDAYAH ALLAH



    
     Setelah sekian tahun bangsa ini mengembara entah kemana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, menjelma ibarat sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan apalagi dimengerti. Tuntunan agama menjadi kabur, ajaran adat berubah menjelma kepingan kaca yang susah disambung kembali. Untuk pulang kembali ke Rumah Bunda Pertiwi, tampaknya sulit dilakukan. Untuk kembali ke Hadirat Allah, sungguh akan jauh lebih rumit. Hanya kasih sayang dan hidayah (petunjuk) Allah yang dapat mengembalikan ini semua.
       Oleh sebab itu kejarlah hidayah Allah, karena dari sanalah “pertolongan Allah” akan sampai kepada kita, bukankah fase-fase kehidupan kita selama ini semuanya merupakan pertolongan Allah ?
       Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah kita dapat memperoleh hidayah Allah tersebut. Apa wujudnya dan siapa yang berhak memperolehnya? Mengingat tidak semua orang dapat menerima petunjuk dan hidayah dari Allah, sebab petujuk dan hidayah itu hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang dicintaiNya saja sebagaimana Sabda Rasulullah Saw yang terjemahannya kira-kira sbb: “Sesungguhnya Allah Swt memberikan harta kepada orang yang Ia cintai dan orang yang tidak Ia cintai, tetapi tidaklah Ia memberikan agama (hidayah) selain kepada orang yang Ia cintai saja”. Penjelasan Rasul tersebut, nampak erat kaitannya dengan firman Allah yang menyebutkan: “Fa yuzillullaahu many-yashaaa-‘u wa yahdii many- yashaa’, wa huwal- ‘aziizul-hakiim” yang artinya ‘maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi Petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana’ (QS. Ibrahim: 4).
        Bey Arifin dalam karyanya berjudul ‘Mengenal Tuhan’ menyebutkan, orang-orang yang jalan pemikirannya benar, sehingga tindak perbuatanya benar dan baik, orang ini dikatakan mendapat hidayah (petunjuk) dari Allah. Sedang orang yang jalan pemikirannya salah, sehingga tindak perbuatannya salah dan jahat, berarti tidak mendapat petunjuk dari Allah, tetapi mendapat petunjuk atau pengaruh dari syaitan atau iblis. Pendapat tersebut tentunya tidak terlepas dari firman Allah yang menyebutkan: “Many yahdil-laahu fahuwal-muhtadii, wa many-yuzlil fa-‘ulaaa-‘ikahumul-khaasiruun”, yang artinya, ‘Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang berada di jalan yang benar; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’raf: 178).
        Dari uraian ringkas diatas, dapatlah kita ketahui betapa tinggi nilai petunjuk atau hidayah dari Allah itu. Nikmat pemberian Allah yang paling penting dan paling tinggi nilainya yang diberikan Allah kepada kita manusia, bukanlah nikmat/pemberian berupa makanan dan minuman, harta kekayaan maupun pangkat tinggi, tetapi adalah nikmat atau pemberian berupa hidayah atau petunjuk. Oleh sebab itu, yang harus kita cari dalam hidup ini utamanya adalah petunjuk (hidayah) dari Allah, di samping tentunya kita mencari harta kekayaan atau pangkat/jabatan. Apa artinya kekayaan atau pangkat bila hidup kita tersesat, bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan.
        Karenanya, rasulullah Saw dan orang-orang beriman setiap saat dari kehidupan mereka selalu bermunajat dan bermohon, agar Allah selalu memberikan petunjuk-petunjukNya. Antara lain do’a yang dipanjatkan dalam sehari semalam minimal tujuh belas kali dengan ucapan: “Ihdinas shiraathal-Mustaqiim” : ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’. Ihdinaa (tunjukilah kami), terambil dari kata hidayaat yang mengandung makna bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Dari buku kamus Al-Qur’an karya Hasanain Muhammad Makhluf, ayat 6 surat Al-Faatihah tersebut ditafsirkan juga sebagai: “Berilah kami hidayah (petunjuk) untuk tetap berada pada jalan yang benar dan tidak bengkok, yaitu al-Islam”. Tafsir ini sejalan pula dengan penegasan Allah melalui surat Az-Zumar ayat 23 yang artinya : “Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu (Al-Qur’an) Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya;....”. Lebih lanjut Allah melengkapi penegasan-Nya :  “Dan barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberiNya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas Jalan yang lurus” (QS. Al-An’am: 39). Dengan demikian, ‘Ihdinas shiraathal-Mustaqiim’ tidak lain adalah permohoman kepada Allah Swt agar kiranya diberikan kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an sebagai petunjuk/pedoman dalam rangka mengimani serta mengamalkan ajaran agama yang benar, yakni al-Islam (Jalan yang lurus).
        Dengan mengacu pada ayat 185 surat Al-Baqarah yang menerangkan : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”. Dari penggalan ayat tersebut, dapat kita simak adanya dua hal pokok masing-masing yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan hal lain adalah Al-Qur’an merupakan penjelasan-penjelasan atas petunjuk tersebut. Sebagaimana pendapat sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang saling terkait, dapat saling menjelaskan satu sama lainnya. Maka keberadaan tuntunan do’a ‘Ihdinas Shiraathal-Mustaqiim’ kiranya tidak terlepas dari janji Allah kepada hamba-Nya yang tertuang dalam surat Al-Baqarah 269  yang artinya : “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari Firman Allah)”. Sebagaimana kita pahami, selain memberikan hidayah agama, Allah Swt juga memberikan kepada hamba-Nya berupa hidayah garizah (naluri), hidayah hawasi (indera), dan hidayah akal. Keempat hidayah ini bagaikan jalan raya yang dibentangkan di hadapan manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
         Sehubungan dengan itu, apabila seseorang sudah merasa mendapat petunjuk dari Allah, kita masih harus selalu berdo’a agar hati kita jangan sampai membelok dari petunjuk Allah tersebut, mengingat tidak sedikit manusia yang sebenarnya sudah mendapat hidayah (petunjuk) dari Allah, tetapi hatinya lalu membelok dari hidayah itu. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman dan selalu beramal shaleh merasa tidak takut bila kehilangan harta dan jiwa, tetapi mereka sangat takut bila kehilangan hidayah Allah. Dan untuk itu telah ada tuntunan do’a yang harus selalu kita panjatkan : “Rabbana la tuzigh qulubana ba’da izh hadaitana, wa hablana min ladunka rahmatan innaka antal wahhab” (QS. Ali-Imran : 8).

Siapa berhak memperoleh Hidayah
        Akal adalah satu senjata atau kekuatan pemberian Allah yang amat berharga yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama yang sudah dewasa, kecuali bagi yang kurang waras. Dengan dibantu panca indera, akal dapat membedakan antara hitam dan putih, tinggi dan rendah, buruk dan baik, merugikan dan menguntungkan. Bahkan, dengan akal pula manusia sudah berhasil menciptakan alat-alat teknik yang modern dan super canggih sekalipun. Namun sangat disayangkan, kecanggihan teknologi tersebut bukan dimanfaat- kan untuk kemaslahatan (kesejahteraan dan kedamaian) umat manusia secara keseluruhan, namun digunakan untuk membunuh, menzholimi, menjajah serta menguras kekayaan alam bangsa lain secara mudah dan murah. Demikianlah kehebatan manusia dengan pikirannya, dan begitu pula kejelekan manusia dengan pikirannya pula. Oleh sebab itu, di samping adanya akal pikiran, manusia harus mendapat kekuatan atau senjata yang lebih ampuh, tidak lain adalah Hidayah Allah.
         Berhubungan hidayah atau petunjuk itu hanya Allah yang memiliki, maka hanya Allah-lah yang dapat membagi-baginya kepada siapa yang ia sukai/cintai saja. Hal ini jelas terungkap dalam firmanNya : “Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang engkau cintai, tetapi hanya Allah-lah yang dapat memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (hidayah)” (QS. Al-Qashash: 56). Oleh karenanya, bila manusia ingin mendapat petunjuk, ingin keluar dari kesesatan, ia harus terlebih dahulu iman kepada Allah lalu berusaha mejadi orang yang dicintai oleh Allah. Iman dan taqwa terhadap Allah adalah pancing untuk mendapatkan rasa cinta dari Allah.
       Agar dapat menjadi orang yang dicintai Allah, kiranya perlu kita perhatikan ayat 31 dari surat Ali-Imran yang artinya: “Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah / taatilah aku (Muhammad), niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Dan ayat 32 surat yang sama sbb: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak Mencintai orang-orang yang kafir”.  Jadi tanda-tanda seseorang mencintai Allah adalah :
·         Mentaati perintah Allah.
·         Mentaati perintah Rasulullah.
·         Cintanya terhadap Allah dan Rasul dan jihad fi Sabilillah melebihi cintanya terhadap sanak keluarga dan hartanya.
·         Mencintai sesama manusia karena Allah.
·         Benci terhadap kekufuran.
·         Hanya takut kepada Allah, tidak takut dicela, dibenci, digertak oleh manusia. Bila seseorang telah cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan memenuhi tanda-tanda di atas, maka Allah akan cinta kepadanya. Mencintai dan dicintai Allah, adalah setinggi-tingginya rahmat Iman dan Taqwa.
    
        Andaikan seseorang jatuh cinta terhadap sesamanya, tentunya di dasarkan beberapa sebab. Begitu pula seseorang yang jatuh cinta terhadap Allah, tidak lepas dari faktor-faktor penyebab, diantaranya:
1.      Sering membaca Al-Qur’an dan memahami isi serta maknanya.
2.      Sering taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan menjalankan ibadat-ibadat sunnat sesudah melaksanakan ibadat fardhu.
3.      Memperbanyak Zikir (mengingat Allah) dengan qalbu maupun dengan lidah.
4.      Berusaha menundukkan hawa nafsu yang bertentangan dengan keridhaan Allah.
5.      Sering berkhalwat (bersunyi diri sendiri) menghubungkan sekujur jiwa/perasaan kita dengan Allah, sambil berdo’a atau bermunajat kepadaNya dan mohon ampun serta bertaubat.
6.      Bergaul dengan orang-orang shalih yang menjadi kekasih Allah.
7.      Meninggalkan bincang-bincang yang tak berguna.
8.      Menjauhi segala sebab yang dapat membatasi antara qalbu kita dengan Allah Swt.
9.      Mensyukuri segala nikmat dan rahmat serta kebaikan dari Allah Swt.

         Dengan menjalankan / mengamalkan segala sebab dan hal-hal tersebut diatas, mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberikan peluang dan kemampuan kepada kita untuk mencapai kedudukan cinta dan dicintai oleh Allah Swt. Insya Allah... Amien..!

                                                           ==@ ==    27/1/2013