ISLAM
Agama Peradaban
Universal
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS.An-Nahl: 125).
Kitab suci umat
Islam, Al-Qur’an telah mendorong umatNya, baik secara langsung maupun tidak,
untuk turut serta dalam aktivitas dialog peradaban. Kutipan ayat di atas
merupakan salah satu contohnya. Adapun tujuan utama dialog peradaban, salah
satunya adalah membimbing berbagai komunitas yang berbeda-beda agar bekerja
mewujudkan kesejahteraan sosial secara umum, sebagaimana mereka juga dihadapkan
oleh keadaan agar hidup berdampingan satu sama lain sekalipun dengan keyakinan
spiritual, way of life keagamaan, dan ideologi politik yang berbeda-beda.
Peradaban Islam
adalah peradaban universal yang pertama
kali dalam sejarah dunia. Berabad-abad sebelum Eropa menemukan kembali Plato
dan Aristoteles serta unsur-unsur lain dari warisan Yunani–Romawi, Islam telah
memberi kontribusi utama dan positif terhadap berkembangnya ide peradaban
manusia universal melalui keterlibatannya dalam peradaban global yang
konstruktif dengan dunia lainnya, baik dengan peradaban Timur tradisional,
maupun Barat modern.
Adalah fakta historis bahwa Islam telah
membangun
peradaban universal kompre- hensif yang pertama
kali dalam sejarah, bahkan
sekiranya kita mengikuti seluruh kreteria universalitas modern sekalipun. Berbagai macam peradaban telah disaksikan dunia
sebelum Islam datang. Setiap peradaban telah memberikan sumbangsih peradaban
dengan kadar bilangan yang terdapat dalam bidang estetika kemanusiaan. Namun,
seluruhnya terbenam di balik syahwat dan kelezatan sehingga menjadi semacam
tirani dan bentuk kezaliman, terpasung dalam dinding kebinasaan para rahib.
Lantas setelah itu datanglah peradaban yang bernuansa kemanusiaan, mewariskan
apa yang paling mulia dalam sisi peradaban ini, menghadirkan untuk kita suatu
peradaban yang mempunyai rasa, warna, dan aroma semerbak dimana masyarakat yang
hidup dalam naungannya, penuh rasa aman dan bahagia. Bukankah peradaban
yang dibangun di Spanyol Muslim oleh Muslim, Yahudi dan Kristen yang berada di
bawah bendera peradaban Islam merupakan peradaban universal ? Fakta empiris pelaksanaan HAM dalam Islam juga dengan
sangat bagus telah diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw ketika bermukim di
Madinah. Saat itu, dengan kehidupan yang
meliputi beragam suku, agama, budaya,
dan strata sosial, beliau melindungi semua masyarakat dengan lahirnya Piagam
Madinah. Piagam tersebut dijadikan pedoman perilaku sosial, keagamaan, serta
perlindungan semua anggota komunitas yang hidup bersama-sama di Madinah.
Fenomena tersebut sampai mengundang decak kagum dari seorang Robert N. Bellah
yang menyatakan bahwa kehidupan Madinah yang sangat menjunjung tinggi HAM,
terlampau modern untuk ukuran zaman
itu.
Demikian pula halnya dengan sejumlah
pemikir Yahudi dan Kristen juga beranggapan sama.
Max Dimont, diantaranya, seorang ahli sejarah tentang pemikiran dan
peradaban Yahudi menyatakan bahwa era keemasan Yahudi pada priode abad
pertengahan bersesuaian dengan era keemasan Islam, yang dengan demikian meng isaratkan bahwa apa
yang dibangun bersama-sama oleh Muslim, Yahudi dan lainnya dalam peradaban
Islam benar-benar memiliki sifat universal.
Disamping itu ada pula kesaksian dari Baron
Carra de Vaux (1868-1939), orientalis dari lembaga seminari Katolik Prancis.
Dalam karya monumentalnya berjudul ‘Les Penseurs de l’Islam’ (para pemikir Islam),
ybs menjelaskan bahwa sejak abad ke-12
dan seterusnya, masyarakat barat
mulai bangkit dari tidur panjang (keterbelakangan). Mereka mulai fokus kepada dunia keilmuwan,
mulai menerjemahkan karya-karya hebat bangsa Arab (Islam) ke dalam bahasa Eropa
seperti halnya bangsa Arab menerjemahkan karya-karya Yunani Kuno ke dalam
bahasa Arab. Sungguh bangsa Arab adalah
‘agen of change’, bahkan jasa mereka sangat besar dalam menjembatani peradaban
dan keilmuan masa lalu dengan peradaban masa kini. Berkat kerja keras para ilmuwan Arab pula,
manusia-manusia pada zaman ini mampu menciptakan karya-karya ilmiah baru. Satu
hal yang dinafikan masyarakat barat atas kehebatan bangsa Arab, bangsa ini
adalah manusia-manusia yang cinta ilmu dan memiliki mobilitas tinggi dalam
bidang keilmuan, bangsa Arab juga merupakan duta peradaban Islam yang menerangi
peradaban umat manusia secara universal, lanjutnya. Karena jasa bangsa Arab
inilah, mereka masyarakat Eropa mampu bangkit dari keterpurukan panjang,
uangkapnya lebih lanjut.
Bila
dalam perkembangannya, beralihnya suatu peradaban ke peradaban yang
lain dan meskipun sebagian besar orang-orang barat (non Muslim) berupaya
mengecilkan ‘eksistensi dan peran peradaban Islam’ dalam memberikan kontribusi
terhadap perkembangan peradaban dan kemajuan manusia, tidak demikian halnya
bagi Wells, seorang pakar sejarah Inggris yang mengatakan, “Setiap agama apabila
ajaran-ajarannya tidak sejalan dengan peradaban, maka campakkan dan buang
jauh-jauh. Sesungguhnya agama yang benar yang pernah aku temukan berjalan
seiring dengan irama peradaban, kemanapun peradaban berjalan, maka ia itu
adalah Islam”.
Barangsiapa
menginginkan bukti, maka silahkan membaca Al-Qur’an berikut kandungannya yang
berisi tentang teori-teori dan konsep-konsep ilmiah serta hukum-hukum sosial. Hingga detik ini, Al-Qur’an adalah sumber inspirasi bagi
para ilmuwan dan sastrawan. Mustahil
manusia bisa menciptakan karya seperti Al-Qur’an
karena ia adalah kalam Tuhan, bukan ciptaan manusia. Ia sumber pengetahuan yang melahirkan
metedologi berpikir, sumber hikmah, dan lahan yang tiada pernah habis bagi
rujukan ilmu. Para penulis yang menjadikan Al-Qur’an sumber tulisannya, ia akan
menjadi penulis hebat. Sedemikian itu kesaksian dari Marcel A. Boisard; seorang
pemikir besar dan pakar hukum Prancis kontemporer yang termuat dalam karyanya
berjudul ‘Humanism in Islam’ (sisi humanis ajaran Islam) hal 52-53 yang dianggap sebagai karya
yang banyak memberi kontribusi positif dalam meluruskan pemahaman keliru bangsa
barat terhadap Islam.
Demikian
pula pendapat seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia
barat yang lahir di Skotlandia; William Montgomery Watt (1909-2006). Dia adalah
pendeta yang cukup disegani di Gereja Episkopal Skotlandia dan pernah menjadi
spesialis bahasa bagi Uskup Yerussalem. Ybs termasuk pemikir yang gencar
menyuarakan ‘kerukunan’ atau sinergi peradaban antara peradaban Islam dengan
peradaban barat. Karya-karyanya juga turut meluruskan kesalahan pemahaman
manusia-manusia barat terhadap esensi ajaran
Islam. Dalam pengantar karyanya yang berjudul ‘The Influence of Islam on
Medieval Europe’ , Watt memaparkan pengaruh peradaban Islam terhadap masyarakat
Eropa. Dia mengatakan, ‘Saya tidak pernah sekalipun menganggap ekspansi kaum
muslim ke ranah Eropa sebagai langkah impria- lisme seperti umumnya ekspansi
yang dilakukan pihak-pihak nonmuslim. Namun, saya menganggap mereka—kaum
muslim—sebagai pencerah peradaban yang melahirkan kesuksesan besar bagi bangsa
Eropa. Setiap orang yang ada
di bumi ini berutang
budi kepada kaum muslim karena jasa besar mereka sebagai penyi’ar
peradaban agung nan luhur, ungkapnya lebih lanjut.
Disamping
itu, ada pula seorang orientalis Prancis ternama; Gustave Le Bon (1841– 1921),
dalam karyanya yang populer ‘ La Civilisation des Arabes ’ antara lain
menyebutkan: ‘Realitas sejarah menunjukkan, tidak kurang dari satu abad setelah
kaum muslim menduduki Spanyol, mereka berhasil menghidupkan Bumi yang
mati—berkat kemajuan dunia pertanian dan perkebunan—memenuhi kota-kota di
Spanyol dengan gedung-gedung indah, meramaikan dunia perniagaan, tidak saja
perdagangan dalam negeri, tetapi juga perdagangan luar negeri. Menghidupkan
semangat keilmuawan di berbagai disiplin ilmu, menerjemahkan kitab-kitab Yunani
Kuno, membangun banyak universitas dan lembaga-lembaga kajian ilmiah. Oleh
karena itu, Spanyol menjadi kiblat keilmuan dan peradaban bagi masyarakat Eropa
yang berlangsung berabad-abad lamanya. Itulah risalah peradaban Islam yang
termungkiri di ranah Eropa’, ungkap beliau.
Terkait hal itu, ada pula pengakuan dari
seorang orientalis kelahiran Prancis yang juga pengajar kajian sejarah
peradaban timur di Sorbone University; melalui
karyanya yang berjudul ‘Hestoire des Arabes’, LP Eugene Sedillot (1808-1875)
memberikan kesak sian bahwa pengaruh peradaban Arab (Islam) menyentuh semua
lini kehidupan dan semua dimensi peradaban Eropa modern. Oleh karena itu, kita
harus jujur mengakui bahwa bangsa Arab adalah guru kita,
pembelajaran yang didapatkan bangsa Eropa dari bangsa Arab pada abad
pertengahan sungguh tidak ternilai harganya. Mereka telah mentransfer ilmu-ilmu
Yunani Kuno dan memberinya anotasi sehingga kita bisa memahami peradaban ilmu
Yunani kuno. Mereka banyak menciptakan teori-teori ilmiah sehingga kita mampu
bangkit dari keterpurukan abad pertengahan. Mereka menciptakan metodologi
berpikir dan teori ilmu logika sehingga kita bisa berpikir konstruktif. Mereka
telah mewariskan kepada kita rumus-rumus keilmuan yang mengantar kita pada
pencapaian kemajuan seperti yang ada sekarang ini dan akan terus berkembang
pada masa yang akan datang.
Memang,
diantara hal yang menarik perhatian dari pergantian peradaban-peradaban adalah
bahwa sesungguhnya peradaban yang datang belakangan berdiri di atas peradaban
yang lama. Tidak ada suatu peradaban yang berangkat dari nol. Dari situ
peradaban Islam memiliki pengaruh sangat besar terhadap peradaban Eropa modern
yang datang setelahnya. Pengaruh peradaban
Islam terhadap Eropa mancakup banyak bidang dan mendominasi beberapa sisi
hingga mencakup bermacam-macam level kehidupan di Eropa secara umum.
Kenyataan ini
diakui dan disampaikan pula oleh
seorang ilmuwan peneliti berkebangsaan Jerman Dokter Piere Bormann yang
mengatakan: “Keberhasilan umat Islam
mewarnai dunia dalam segala bidang keilmuwan dan kebudayaan sangat jelas
terlihat tanpa dapat disangkal lagi. Bahkan keberhasilan
kaum muslimin dalam bidang kedokteran, tidak seorangpun mampu mengingkarinya.
Karena ini pulalah, saya terdorong untuk menulis buku
berjudul “Kedokteran Islam pada Abad Pertengahan”. Dia menambahkan, “Demi ilmu, adalah faktor penting yang mendorong diriku
menulis buku ini. Meskipun aku pengikut agama Nasrani
yang berkebangsaan Jerman, namun dalam khazanah intelektual, aku merasa banyak
berhutang kepada kebudayaan dan Peradaban Islam”. Dan demikian pula pengakuan
Rowelt Briffault, seorang sejarawan berkebangsaan Amerika dalam bukunya
berjudul ‘Making of Humanity’ mengatakan, “Tidak satu pun
kemajuan peradaban di Eropa kecuali secara meyakinkan dan pasti telah mengambil
dari
kemajuan peradaban Islam dan sangatlah
mungkin kalau tidak karena umat Islam, peradaban Eropa modern tidak akan muncul sama sekali”.
Untuk
itu sudah saatnya kita (kaum Muslimin dan komunitas Barat) mencermati pandangan
yang diungkapkan oleh seorang Pangeran Charles dalam presentasi kajian keislaman yang disampaikan di Oxford University 27 Oktober 1993 antara
lain menyebutkan:
“Bila ada banyak kesalahpahaman
di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang utang kebudayaan dan peradaban kita
kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari
ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini”.
Ada dua hal pokok yang diungkap Pangeran
Charles dalam pidatonya tersebut, pertama,
mengenai utang kebudayaan / peradaban dan kedua, adalah ditutupinya sejarah yang diwarisi kepada
mereka. Mengenai utang peradaban, jauh sebelumnya telah ada yang mengingatkan kita semua akan hal tersebut. Dalam
bukunya “Islam and the Arab”, Rom Landau (1899-1974), pemerhati masalah
ketimuran di Inggris dan dosen luar biasa di Universitas Columbia serta guru
besar di Lembaga Kajian Islam dan Afrika utara di San Francisco menyatakan: “Sesungguhnya,
peradaban barat sangat berhutang budi kepada peradaban Islam. Jasa besar kaum
muslim terhadap bangsa barat, boleh dikatakan pada level yang orang barat tidak
akan mampu membalas budi kebaikan, karena besarnya jasa Islam dan kaum muslim”. Dan demikian pula pendapat serupa
juga disampaikan oleh Gulliver
Costauray sejarawan Perancis melalui bukunya
’Hukum Sejarah’, yang menyebutkan:
“Eropa berhutang kepada kondisi yang mem-
berikan manfaat pada masa-masa pemikiran Arab. Telah
berlalu empat abad tanpa ada peradaban selain peradaban Arab yang mana para
ilmuwan mereka merupakan para pengibar bendera peradabannya dengan sangat
kuat”. Demikian juga hal-nya dengan Max Fantigo, dalam seminar peradaban Arab Islam di Universitas Bronx Town di
Washington tahun 1953 dalam sambutannya antara lain
mengatakan, ”Setiap
apa yang terlihat di Barat mengukuhkan bahwa Barat telah berhutang kepada
peradaban Arab
Islam. Sesungguhnya methode riset
modern yang pelaksanaannya didasarkan pada observasi, pengamatan dan uji coba,
disamping segala sesuatu yang digunakan ilmuwan Eropa dewasa ini, itu tidak
lain karena hasil interaksi ilmuwan Eropa dengan dunia Islam melalui Daulah
Islam Arab di Andalusia (Spanyol)”, ungkapnya. Akan hal ini pula, Pemikir Leopold
Weiss, seorang Yahudi berkebangsaan Austria mengukuhkan peran Cordova dalam
perintisan jalan menuju masa kebangkitan bagi barat. Ia mengatakan, ‘Kita tidak
berlebihan ketika kita mengatakan bahwa zaman ilmiah modern yang sekarang kita
hidup di dalamnya jalan pertama kali tidaklah dibuka di kota-kota Eropa. Akan
tetapi, dibuka kantong-kantong Islam, di Damaskus,Baghdad, Kairo dan Cordova’.
Untuk
itu, tidaklah lengkap statement utang peradaban, apabila tidak disertai
pernyataan seorang mantan president Amerika, Richard Nixon, dalam buku
terakhirnya sebelum meninggal dunia “Seize the
Moment, America Challenges
in One Super Power World’, antara lain mengatakan,
Barat berhutang besar kepada dunia Islam
untuk Renaissance-nya. Adapun mengenai
warisan sejarah yang ditutupi terhadap generasi berikutnya,
Barat tentunya mesti menyadari, kemana mereka selama 1000 tahun?
Alkisah, pada tahun 410 M, Alaric, raja
Jerman dari suku Visigoth, menyerbu Roma dan menghancurkan kota besar itu dalam
amukan yang berlangsung hanya tiga hari. Enam puluh enam tahun kemudian,
Romulus Augustus, kaisar Romawi Barat terakhir digulingkan, dan pusat kekaisaran
dipindahkan secara sepihak ke Konstanti-
nopel.
Bersamaan dengan peristiwa ini, cahaya
kehidupan menghilang dari peradaban dan dunia Barat tenggelam dalam zaman
kegelapan--zaman tanpa ilmu, sastra atau bahkan kehidupan yang beradab.
Baru 1000 tahun kemudian dunia Barat kembali menemukan ilmu-ilmu klasiknya melalui
peradaban Arab (Islam) dan berakhirlah kegelapan dunia Barat dengan menyingsingnya
fajar baru yang cerah dari munculnya zaman Renaissance. Setidak-tidaknya
seperti itulah ceritanya. Lalu dalam kurun waktu 1000 tahun tersebut apa yang
sebenarnya terjadi?
Jika kita masuk mesin waktu menuju kurun
pertengahan sekitar abad ke-10 Masehi dan terbang menyusuri kota-kota dunia
Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan tercengang melihat perbedaan besar
antara kedua belahan dunia itu. Kita akan melihat dunia yang penuh dengan
kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan dunia lain yang
primitif, tak mengenal ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat. Dalam buku ‘ Sejarah Umum’ karya Lavis dan
Rambou dijelaskan, Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga abad ke-10 M
merupakan negeri tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan
batu kasar tidak dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya
dibangun di dataran rendah, berpintu sempit, tidak terkunci kokoh dan dinding
serta temboknya tidak berjendela. Kala
itu Eropa penuh dengan hutan belantara. Sistem pertaniannya terke
belakang. Dari rawa-rawa di pinggiran
kota, tersebar bau-bau busuk yang menyengat. Rumah-rumah di Paris dan London
dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jerami dan bambu. Rumah-rumah
itu tidak berventilasi dan tidak punya kamar-kamar yang teratur. Permadani sama
sekali belum dikenal di kalangan mereka. Mereka juga tidak punya tikar, kecuali
jerami-jerami yang ditebarkan di atas tanah. Mereka tidak mengenal kebersihan.
Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau
busuk yang meresahkan. Satu keluarga semua anggotanya (laki-laki, perempuan dan
anak-anak) tidur di satu kamar
bahkan
seringkali binatang piaraan dikumpulkan bersama mereka.
Tempat tidur mereka berupa sekantung jerami yang di atasnya diberi sekantung
bulu domba sebagai bantal. Jalan-jalan raya tidak ada saluran air, tidak ada
batu-batu pengeras dan lampu. Begitu lah keadaan bangsa Barat pada abad
pertengahan sampai abad ke-11 Masehi, menurut pengakuan para sejarawan mereka
sendiri.
Kenyataan
bahwa hanya segelintir masyarakat Barat yang mengetahui dan menyadari akan
utang kebudayaan dan peradaban tersebut,
yang diakibatkan dari ditutupinya sejarah yang mereka warisi, disebut oleh
Michael Hamilton Morgan dari Morgan Foundation of Peace sebagai “sejarah yang
hilang”. Sejarawan Jack Goody lebih jauh lagi menyebutnya sebagai
“pencurian sejarah”. Sesungguhnya, bangsa Arab bukan hanya
menyelamatkan peradaban Yunani dari kepunahan dengan menyusun dan
menatanya kembali kemudian menghadiahkannya kepada bangsa
barat. Namun, mereka juga merupakan peletak dasar metode praktik dalam ilmu
kimia, fisika, geometri, geografi, geologi, ilmu sosial, dan ilmu-ilmu lainnya.
Selain itu, bangsa Arab baik
secara individu maupun kelompok juga
telah berhasil menciptakan temuan-temuan baru di berbagai disiplin keilmuan.
Akan tetapi, temuan-temuan brilian mereka dicuri dan diklaim sebagai hasil
penemuan para pencurinya. Terkait hal ini, Montgomery Watt guru
besar studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh dalam pengantar bukunya berjudul: ‘The
Influence of Islam on Medieval Europe’
menyampaikan sebuah kenyataan yang tidak ditemukan pada diri masyarakat Eropa
saat kebangkitan mereka (1100 M). Saat bangsa
Eropa bangkit dari tidur panjang mereka, banyak karya yang dihasilkan oleh anak
bangsa ini, tetapi mereka sadur dari karya para pemikir Arab Islam tanpa
menyebut literatur maupun menyebut penulis aslinya (plagiat).
Bukan rahasia lagi, bahwa pencurian karya
cipta terburuk pernah terjadi pada ilmuwan besar Islam semisal Ibnu Nafis, yang
menemukan ‘Pulmonar Circulation’ (peredaran sel-sel darah kecil), yang telah
dikemukakannya secara mendetil dalam kitabnya ‘Syarah Tasyrih Al-Qanun’.
Kebenaran ini ditutup-tutupi pada masa yang cukup panjang, dan kemudian secara
tiba-tiba penemuan tersebut dinisbatkan pada dokter Inggris William Harvey
(1578-1657) yang membahas dan mengkaji masalah peredaran darah sesudah wafatnya
Ibnu Nafis lebih dari tiga kurun generasi. Orang-orang terus menerus dalam
prasangka yang seperti itu sampai terkuaklah faktanya oleh Dokter Muhyiddin
At-Tathawi dari Mesir setelah menemukan naskah dari manuskrip kitab ‘Syarah
Tasyrih Al-Qanun’ di perpustakaan Berlin dalam rangka menyiapkan disertasi
doktornya di bidang ini pada tahun 1924 M.
Adapun fakta lainnya, adalah apa
yang diungkapkan oleh Sigrid Hunke (1913-1999), orientalis terkemuka Jerman dalam bukunya
berjudul “Allah ist Ganz Anders” antara lain menyebutkan: ‘Meski manuskrip-manuskrip
Arab yang sangat berharga sengaja dibakar hangus oleh para ilmuwan barat
setelah semuanya diterjemahkan dalam bahasa latin dan Eropa, jasa-jasa besar
bangsa Arab tidak akan pernah bisa dimungkiri. Sejarah mencatat kehebatan
keilmuan bangsa Arab. Sebaliknya sejarah juga mencatat perilaku licik dan keji
mereka yang mencuri ilmu-ilmu bangsa Arab. Kenapa disebut pencuri? Karena
mereka menyadur temuan-temuan ilmiah para ilmuwan Arab lalu menglkaim sebagai
temuan diri mereka sendiri. Michael Claussius, misalnya, dia mengklaim diri
penemu teori termodinamika, padahal jelas-jelas dia menyadur dari temuan
ilmuwan Arab tanpa menyebut nama si penemu atau menyebut literatur rujukan yang
sebenarnya’. Fakta yang lain adalah apa
yang kita dapati dalam buku Roger Bacon (ahli filsafat dari Inggris) yang
berjudul ‘Cepus Majus’ dengan perincian yang sempurna, yaitu bagian kelima, tak
lain hanyalah terjemahan secara harfiyah dari buku ‘Al-Manazhir’ karya Ibnu
Haitsam. Hal itu tanpa menyebutkan sumber atau pengarang asli dari bab yang
diterjemahkan. Demikian pula halnya dengan para ilmuwan barat lainnya juga
melakukan hal yang sama.
Oleh sebab
itu, kiranya kita sepakat bahwa tidaklah perlu membanggakan diri sendiri dan
mengklaim bahwa ilmu yang berkembang hingga saat ini adalah milik dan temuan
pihak Barat secara absolut, sebagaimana yang disampaikan Girolamo Cardano
seorang profesor terkenal dari Bologna pada tahun 1500-an, bahwa tidak ada
agama yang memiliki monopoli atas sains atau filsafat. Memang benar adanya, semua ilmu yang ada di
seantero jagat ini adalah ilmu milik Allah Swt, sebagaimana disebutkan oleh dr. H . Muhammad TH dalam bukunya
berjudul ‘Kedudukan Ilmu Dalam Islam’ bahwa ‘Al-Qur’an merupakan refleksi dasar
dari Ilmu Allah yang dibutuhkan manusia jika ia ingin berinterksi dengan sesama
ciptaan-ciptaan Allah secara optimal’. Penjelasan ini didasarkannya pada Firman
Allah, surat: Luqman ayat 27 yang berbunyi sbb: “Dan seandainya seluruh pohon
yang ada di muka bumi dijadikan pena dan seluruh lautan menjadi tintanya,
kemudian sesudah kering habis digunakan ditambahkan lagi tujuh lautan, niscaya
tidak akan habis-habisnya, dituliskan ‘Ilmu Allah’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Dengan
demikian, layaklah kita bersepakat bahwa tidak satu peradaban-pun boleh
mengklaim ilmu pengetahuan adalah milik mereka. Dalam sains, teknologi maupun
filsafat sebagai misal, Islam pertama kali meminjam—dengan menyebut beberapa
diantaranya yang terpenting—dari Yunani, cina, India, dan ilmu Persia, dan
selanjutnya mengembangkan sains tersebut guna menghasilkan ilmu universal
pertama dalam sejarah peradaban yang benar-benar bersifat global dari segi
sifat maupun cakupannya dan kemudian memberi pengaruh yang besar terhadap
lahirnya Renaisance Eropa dan lahirnya ilmu modern di Barat.
Jadi seluruh
umat manusia dimuka bumi ini, mempunyai andil dan sumbangan atas perjalanan
peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dimaksud. Kemajuan dalam pemahaman
kita tentang dunia ini terjadi pada saat para ilmuwan menyerap pengetahuan
terbaru dalam bidang seperti fisika atau biologi kemudian memodifikasi dan
mengembangkannya. Mereka bekerja seperti atlet lari estafet, menyerahkan
tongkat pembelajaran dari satu ilmuwan ke ilmuwan lainnya. Sains modern, yang
dianggap sebagai mahkota peradaban Barat modern, meraih tempatnya setelah
beberapa kali pengoperan tongkat. Tongkat tersebut sampai ditangan ilmuwan
Eropa dari para ilmuwan dunia non-Barat. Para ilmuwan non-Barat itu adalah
termasuk mereka yang hidup di kebudayaan Islam dalam rentang waktu 800 tahun
mulai dari abad ke-8 sampai abad ke-16.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwasanya ilmu pengetahuan di
seantero jagad raya ini adalah kepunyaan Allah semata, maka Allah telah
menggilirkan keikut- sertaan segenap umat manusia dalam pengembangan ilmu
pengetahuan serta peradaban manusia. Hal ini telah dijanjikan Allah melalui
firmanNya: “....; wa tilka al-ayyaamu nudaawi-luhaa bainan-naasi wa li ya’lama
Allaahu allaziina aamanu; ..” (QS: Ali Imran:140) yang artinya: “Dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman
(dengan orang-orang kafir)“. Realitas kehidupan menunjukkan bahwa dalam hidup
ini ada kemajuan dan kemunduran, ada kemenangan dan kekalahan, demikian halnya
dengan peradaban suatu bangsa juga mengalami pasang surut serupa.
Jadi, kita
umat Islam yang sedang mengalami kevakuman/stagnan, sangatlah tidak beralasan
bila mendiskriditkan ajaran Agama yang seolah-olah menjadi penyebab kemunduran,
dimana ajaran agama tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman modern saat
ini, jadi perlu di reformasi /
disesuaikan. Sebagaimana pihak Barat dapat mencapai kemajuan pesat, setelah mereka menyingkirkan
segala sesuatu yang berbau agama dari kehidupan yang sebenarnya, yakni
kehidupan duniawi, menurut mereka. Sehingga pihak-pihak yang mengklaim dirinya
sebagai ‘Intelektual Muslim’ beramai-ramai ingin mengadakan pembaharuan dengan
berbagai cara dan upaya agar agamanya menyingkir dari kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Mereka merasa malu dan inferior terhadap ajaran agamanya yang
dianggap sudah usang.
Di Indonesia misalnya, keinginan itu telah
melahirkan kelompok atau pemikiran yang disebut Modernisme
Islam, neo-modernisme, Islam and civil society, Post
tradisionalisme Islam, Islam Liberal, Islam Moderat, Islam Realitas, Islam
Humanis, dan masih banyak lagi. Semuanya berlomba-lomba menghadirkan Islam
sebagai agama yang kompatibel dengan nilai-nilai dan institusi liberal-Barat
seolah-olah tidak pernah mengetahui pernah ada yang namanya peradaban
Islam. Padahal, sebagaimana kita ketahui, pandangan tentang Islam
dari sebagian komunitas barat sendiri seperti apa yang disampaikan oleh seorang pemikir besar dan pakar hukum Prancis
kontemporer: Marcel A. Boisard, dalam
bukunya berjudul ‘Humanism in Islam’ antara lain menyebutkan: “Nilai-nilai
ajaran Al-Qur’an beserta tata laksana kehidupan yang disyariatkan Islam sangat
relevan diterapkan pada zaman ini dan sangat pas diterapkan untuk membangun
masyarakat ideal pada zaman modern ini, dan juga selaras dengan realitas
kehidupan manusia serta sejalan dengan pranata kehidupan manusia sepan- jang masa”. Demikian juga, Emile Dermenghem orientalis
kelahiran Prancis melalui bukunya berjudul ’La Vie De Mohamet (Kehidupan
Muhammad) antara lain menyatakan: “Apa yang dituturkan Muhammad—meski untuk
merespons permasalahan manusia pada zamannya—sejatinya adalah nasihat untuk
kemanusiaan universal, kapan pun dan dimana pun. Sebab, Kandungan Al-Qur’an
selalu relevan dengan keadaan dan permasalahan umat manusia di altar kehidupan
ini hingga hari Akhir kelak” ungkapnya lebih lanjut !
Semoga
melalui diskusi sederhana ini, kita dapat meraih kembali kemurnian ke-Islaman
kita sebagaimana yang telah digambarkan oleh pihak-pihak non Muslim yang justru
mampu melihat secara jernih betapa luhurnya ajaran murni dari Islam yang mereka peroleh dari pembelajaran dan
penelitian yang mendalam terhadap khazanah ke-Islaman. Memang bisa dimengerti,
dari perjalanan sejarah umat Islam yang cukup panjang, telah banyak terjadi
perubahan-perubahan persepsi yang membuat umat menjadi cenderung ekstrim ke
kanan ataupun ekstrim ke kiri. Dimana semestinya umat Islam mengemban misinya
sebagai “Ummatan Wasathan” satu dan lain mengingat konsep agama Islam sendiri
sejak turunnya, merupakan agama Pertengahan yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip keadilan serta menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan
dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sambil mempersiapkan bekal untuk
kehidupan di akhirat kelak.
Untuk itu,
kita umat Islam harus bangkit meraih kembali kepercayaan diri agar kita bisa
hidup sejajar/setara dengan bangsa manapun di jagat raya ini, karena apa saja
yang telah diraih di abad modern ini tidak terlepas dari andil besar umat Islam
didalamnya. Adalah juga Mulyadhi Kartanegara (Direktur Center for Islamic
Philoso-phical Studies and Information/CIPSI) dan Juftazani dalam sebuah
artikel di harian tebitan Ibukota, menyebutkan bahwa:
Diakui atau tidak, jika Islam tidak muncul ke permukaan bumi di abad ketujuh
Masehi maka tidak akan pernah ada, apa yang kita saksikan hari ini, seperti
pesawat F- 18 Hornet, komputer, pesawat ulang-alik Challenger atau
Soyuz, kulkas, listrik, mobil dan banyak lagi. Bahkan menurutnya, buku-buku
filsafat, pada abad kedelapan yang bila tidak digali oleh sarjana-sarjana
Muslim dan dipelajari penuh antusias, sampai hari ini boleh jadi masih berupa
tumpukan-tumpukan perpustakaan yang sangat tak terurus. Jika naskah-naskah
Yunani Kuno itu tak digali dan diselamatkan sarjana Muslim, buku-buku tersebut
telah lama musnah. Tapi, sarjana Muslim di abad kedelapan telah membalikkan
keadaan dengan mengeluarkannya dari tumpukan lumut dan batu-batu, bahkan
mencerahkan kembali pemikiran Aritoteles,
Plato, Plotinus, Ptolemi,
Socrates, dan banyak lagi.
Demikian pula pendapat Profesor
Zainuddin Sardar, penulis Muslim dari Inggris, pada saat berkunjung ke Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (5/10/06) mengatakan bahwa, Islam telah
berhasil mencapai sebuah kegemilangan dan menjadi acuan masyarakat
dunia. Bahkan kemajuan yang dicapai Barat sejak Renaisance hingga sekarang
merupakan kemajuan yang dipelajari dari umat Islam. Sebagai contoh: George Sabila dari
Columbia University, misalnya menunjukkan dalam bukunya ‘Islamic Science and the making of the
European Renaissance’ bagaimana ahli astronomi Polandia
Nicolaus Copernicus menggunakan hasil karya ahli astronomi Islam sebagai dasar
dari penemuan barunya pada tahun 1514 bahwa, Bumi
mengelilingi Matahari. Intinya, dapat dikatakan bahwa
tak ada Barat tanpa Islam. Sebab pada kenyataannya, sejarah menunjukkan bahwa
perkembangan peradaban Barat berdasar pada peradaban yang dikembangkan oleh
umat
Islam, ungkapnya.
Yang terakhir, penulis ingin menyampaikan pandangan dari guru besar Universitas
Ummul Qura Makkah Arab Saudi Prof Muhammad Jamil al-Khayyat seusai pembukaan
seminar internasional “Islamisasi Sains” di Jakarta tanggal 13 Juli 2012.
Beliau menjelaskan, Islam datang dengan ilmu, Allah Swt dalam kitab suci
Al-Qur’an maupun melalui hadis Rasulullah Saw menyuruh umat Islam untuk
mempelajari ilmu seluruhnya tanpa ada perbedaan. Islam itu agama ilmu, dalil
untuk itu adalah firman Allah Swt lima ayat pertama pada surah ‘Al-Alaq’.
Ayat-ayat tersebut, menurut al-Khayyat, menunjukkan bahwa ilmu adalah dasar
dalam Islam. Allah Swt juga memberikan kedudukan yang sangat mulia kepada
orang-orang yang berilmu. “Sungguh orang-orang yang takut kepada Allah dari
hamba-hambaNya adalah ulama”. Ulama yang dimaksud disini ungkap beliau, adalah
ahli pertanian, hewan, nabati, lingkungan, dan tambang. Jadi semua ini adalah
ilmu Islam; Inilah yang ingin kita jelaskan melalui seminar internasional ini,
bahwa Islam adalah Agama ilmu...!!!
Wassalam...
==@==