SISI NEGATIF
Sifat Manusia
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan:
·
Susah
payah (QS. Al-Balad: 4).
·
Bersifat
lemah (QS. An-Nisa: 28).
·
Banyak
membantah (QS. Al-Kahfi: 54).
·
Melampaui
batas (QS. Al-Alaq: 6).
·
Berkeluh-kesah
(QS. Al-Ma’arij: 19).
·
Sangat
kikir (QS. Al-Isra: 19).
·
Sangat
ingkar (QS. Al-Adiyat: 6).
·
Sifat
tergesa-gesa (QS. Al-Isra: 11).
·
Sangat
zalim (QS. Ibrahim: 34).
·
Tidak
berterima kasih kepada Tuhannya (QS. Al-Adiyat: 6).
·
Sangat
bakhil karena cintanya kepada harta (QS. Al-adiyat: 8).
·
Mencintai
kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat (QS. Al-Qiyamah: 20-21).
·
Sangat
mengingkari (nikmat) Allah (QS. Ibrahim: 34).
Sifat hati manusia senantiasa bolak-balik,
tiada tetap, kadang bersih, kuat iman, bercahaya, lemah lembut, tetapi suatu
saat menjadi kotor, lemah iman, gelap gulita, atau buta, keras membatu terhadap
kebenaran. Hal ini karena pengaruh malaikat dan syaitan. Lihat dan baca (QS. Al-An’am:110;
An-Nur: 35; Al-Buruuj: 19-22; An-Nur: 40).
Demikian, Allah telah menciptakan manusia
dengan sederet kekurangan dan kelemahannya. Pertanyaannya, Apakah ada yang
salah dengan penciptaan manusia tersebut? Atas pertanyaan ini mari kita
segarkan ingatan kita akan dialog para malaikat ketika Allah pertama kali akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi sbb: “Ingatlah ketika Tuhan-Mu
berfirman kepada para Malaikat”, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
Khalifah di muka Bumi”. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS.
Al-Baqarah: 30).
Dalam Kitab Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir,
apa yang dimaksud dalam kalimat/alinea terakhir dari ayat: 30 tersebut diatas
adalah: (Allah) mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia),
sesungguhnya terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang
kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di
antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka’. Jadi
jelas disini, bahwa nabi dan rasul adalah manusia terpilih yang akan ditugasi
Allah menjadi pembimbing dan ‘suri-tauladan’ bagi umat pengikutnya.
Pada dasarnya, manusia, bagaimanapun
kemampuan pikirannya dalam memahami fenomena alam, tidak akan dapat mencapai
hakikat yang sebenarnya, terutama masalah-masalah yang menyangkut hal-hal yang
gaib. Karena hawa nafsunya, manusia sangat mudah teerombang-ambing oleh kemauan
hawa nafsu itu, sehingga kehidupannya-pun bisa tak terkontrol. Karena itu
manusia memerlukan bimbingan rasul agar mereka dapat memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Kasih sayang Tuhan yang
besar kepada manusia diwujudkan, salah satu diantaranya, dengan diutusnya rasul
itu.
Sebagai utusan dari Tuhan, rasul-rasul itu
mempunyai sejumlah tugas pokok yang berkaitan dengan kelemahan/kekurangan
manusia sebagaimana tersebut di atas, dan beberapa diantaranya adalah (1)
memberikan penjelasan kepada manusia tentang Allah yang Maha Esa,
sifat-sifatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah ketuhanan; (2)
mengajak manusia untuk memiliki moral yang baik, berakhlak mulia dan hidup
beradab; (3) memberikan aturan-aturan kehidupan manusia untuk memelihara mereka
dari hal-hal yang dapat merugikan manusia itu sendiri; (4) mendorong manusia
untuk giat dan gigih berusaha mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di
akhirat kelak, dan mencegah manusia bersifat malas; (5) membawa manusia untuk
memalingkan hawa nafsu mereka dari mengecap kelezatan dunia yang fana untuk
mencapai cita-cita yang tinggi.
Tugas-tugas tersebut dibebankan Allah Swt
kepada rasul-rasul untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan dan kerugian.
Karena itu, hal yang paling pokok yang harus dilakukan rasul-rasul ialah
membimbing manusia kepada tauhid (meng-Esakan) Allah Swt sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya, Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al-Anbiya: 25). Dan kemudian lebih
dipertegas dengan ayat: 92 Surat Al-Anbiya mengenai keberadaan agama tauhid
tersebut sbb: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama
yang satu dan Aku adalah Tuhan-Mu, maka sembahlah Aku”. Dari sudut pandang
Al-Qur’an, tak pernah ada beragam agama. Yang ada adalah satu agama, satu jalan
hidup, dan satu tujuan, sebagaimana yang juga ditegaskan kepada Rasulullah Saw
melalui firman-Nya: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang Agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”
(QS. As-Syura: 13). Yang dimaksud dengan agama disini, menurut
catatan/penjelasan kitab Al-Qur’an dan terjemahannya ialah meng-Esakan Allah
Swt, beriman kepada-Nya, Kitab-KitabNya, Rasul-rasulNya, Malaikat-malaikatNya dan
hari akhirat, serta menaati segala perintah dan larangan-Nya.
Untuk melaksanakan tugas-tugas kerasulan
tersebut, Allah telah membekali para rasul dimaksud dengan wahyu yang kelak
dijadikan umat manusia sebagai petunjuk/pedoman dalam mengarungi kehidupan,
baik di dunia sekarang maupun di akhirat kelak. Wahyu untuk masing-masing rasul
diturunkan dalam bentuk kitab suci yang kita kenal sebagai Taurat, Injil, Zabur
dan Al-Qur’an. Adapun maksud serta tujuan Allah atas semua itu, tidak lain
sebagaimana tergambar dalam ayat berikut ini: “(Mereka Kami utus) selaku
Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak
ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan
adalah Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 165).
Namun, apa yang terjadi setelah Allah
menurunkan Rasul-rasul beserta wahyunya masing-masing? Apakah kekhawatiran para
Malaikat sejak awal penciptaan manusia cukup beralasan? Dan nyatanya hingga
kini, manusia selalu membuat kerusakan serta tidak pernah berhenti dari
menumpahkan darah. Apakah misi dari rasul-rasul telah gagal?. Atas pertanyaan
ini kiranya Allah telah terlebih dahulu menjelaskan: “Kemudian Kami utus
(kepada umat-umat itu) Rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul
datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian
mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami Jadikan mereka buah tutur (manusia),
maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS. Al-Mu’minun: 44).
Lebih dari itu, mereka bukan hanya mendustakan Rasul-rasul, namun mereka telah
menjadikan agama tauhid itu terpecah belah dan masing-masing mereka membuat
sekte-sekte pada agamanya masing-masing serta mengadakan sembahan lain selain
Allah, sebagaimana firman Allah berikut ini: “Kemudian mereka
(pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi
beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
sisi mereka (masing-masing)” (QS. Al-Mu’minun: 53). “Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman, sangat cinta kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 165).
Atas
sikap dusta dan durhaka umat-umat terhadap Rasul-rasul tersebut, Allah tidaklah
membebankan tanggung jawabnya terhadap rasul, mengingat kewajiban rasul tidak
lain hanyalah menyampaikan, sebagaimana firmanNya: “Taatlah kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul
Kami hanyalah menyampaikan (Amanat Allah) dengan terang” (QS. At-Taghabun: 12).
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”
(QS. An-Nisa: 80). Itu berarti, bila kita dusta dan durhaka terhadap Rasul,
maka sesungguhnya kita juga telah dusta dan durhaka terhadap Allah Swt. “Dan
barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah
neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Al-Jinn: 23). Nauzubillah hi min zalik!
Pertanyaan
berikutnya adalah, mengapa manusia cendrung berpaling, durhaka dan melampaui
batas dalam beragama? Atas pertanyaan ini, kita teringat akan perkenan Allah
terhadap Iblis ketika memohon tangguh sampai hari kiamat, setelah Allah
memutuskan sesat terhadap Iblis karena keengganannya untuk bersujud kepada
manusia. “Iblis berkata, ‘Ya Tuhan-Ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat)
di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Al-Hijr:
39). Dan kenyataan yang terjadi saat ini, juga sekaligus menjadi bukti konkrit
bahwa apa yang pernah diperingatkan Allah kepada kita, bila kita tidak
mengindahkannya maka suatu saat akan terbukti kebenarannya. Dan salah satu
contohnya, dimana sebagai kontributor Jaringan Islam Liberal (JIL) di
Indonesia, Sdr. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan bahwa: “Islam liberal
bisa menerima bentuk negara sekular...sebab, negara sekular bisa menampung
energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus”. (Buku: Tantangan
Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam; Adnin Armas, M.A & Adian Husaini,
M.A. Hal 69).
Bila
sudah demikian persepsinya terhadap Islam, apakah agama masih berguna bagi
kita? Yang kita pahami selama ini, agama (Islam) hadir di antara kita, antara
lain untuk mencegah kemungkaran, termasuk di dalamnya kemaksiatan. Kalaupun ada
yang sudah berpersepsi lain terhadap suatu ketetapan Allah dan Rasul-Nya
berarti ia sudah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia sesat, sesat yang nyata. (Baca: QS.
Al-Ahzab: 36). Terkait dengan surat Al-Hijr ayat: 39 diatas, dimana bagi
orang-orang yang memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi, maka Iblis
mengancam akan menyesatkan mereka semuanya, “kecuali Hamba-hamba Engkau yang
Mukhlis di antara mereka” (QS. Al-Hijr: 40).
Untuk itu pada kesempatan yang baik ini,
marilah kita merenung sejenak, apakah kita telah berusaha untuk menjadi orang
yang mukhlis, yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Apa saja yang dilakukannya, hanya karena Allah semata, sebagaimana yang kita
ikrarkan pada setiap shalat wajib: “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahi robbil ‘alamin” (QS. Al-An’am: 162). Semoga kita termasuk orang yang
terlindung dari bujuk rayu Iblis/Syaitan yang senantiasa tak henti-hentinya ingin
menjadikan kita sebagai pengikutnya. Hal ini terkait erat dengan firman Allah
berikut ini: “Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis
kamu (Iblis) dan dengan orang-orang yang mengikut kamu di antara mereka
kesemuanya” (QS. Shad: 85). Mohonlah
perlindungan hanya kepada Allah semata; Amien...Ya
Robb al-amin...!!!
==@==