Sabtu, 23 Maret 2013

SISI NEGATIF SIFAT MANUSIA


SISI NEGATIF Sifat Manusia
     
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan:
·         Susah payah (QS. Al-Balad: 4).
·         Bersifat lemah (QS. An-Nisa: 28).
·         Banyak membantah (QS. Al-Kahfi: 54).
·         Melampaui batas (QS. Al-Alaq: 6).
·         Berkeluh-kesah (QS. Al-Ma’arij: 19).
·         Sangat kikir (QS. Al-Isra: 19).
·         Sangat ingkar (QS. Al-Adiyat: 6).
·         Sifat tergesa-gesa (QS. Al-Isra: 11).
·         Sangat zalim (QS. Ibrahim: 34).
·         Tidak berterima kasih kepada Tuhannya (QS. Al-Adiyat:  6).
·         Sangat bakhil karena cintanya kepada harta (QS. Al-adiyat:  8).
·         Mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat (QS. Al-Qiyamah:  20-21).
·         Sangat mengingkari (nikmat) Allah (QS. Ibrahim: 34).
Sifat hati manusia senantiasa bolak-balik, tiada tetap, kadang bersih, kuat iman, bercahaya, lemah lembut, tetapi suatu saat menjadi kotor, lemah iman, gelap gulita, atau buta, keras membatu terhadap kebenaran. Hal ini karena pengaruh malaikat dan syaitan. Lihat dan baca (QS. Al-An’am:110;  An-Nur: 35;  Al-Buruuj: 19-22;  An-Nur: 40).
     Demikian, Allah telah menciptakan manusia dengan sederet kekurangan dan kelemahannya. Pertanyaannya, Apakah ada yang salah dengan penciptaan manusia tersebut? Atas pertanyaan ini mari kita segarkan ingatan kita akan dialog para malaikat ketika Allah pertama kali akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi sbb: “Ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada para Malaikat”, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka Bumi”. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”  Allah  berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah: 30).
       Dalam Kitab Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir, apa yang dimaksud dalam kalimat/alinea terakhir dari ayat: 30 tersebut diatas adalah: (Allah) mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia), sesungguhnya terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka’. Jadi jelas disini, bahwa nabi dan rasul adalah manusia terpilih yang akan ditugasi Allah menjadi pembimbing dan ‘suri-tauladan’ bagi umat pengikutnya.
       Pada dasarnya, manusia, bagaimanapun kemampuan pikirannya dalam memahami fenomena alam, tidak akan dapat mencapai hakikat yang sebenarnya, terutama masalah-masalah yang menyangkut hal-hal yang gaib. Karena hawa nafsunya, manusia sangat mudah teerombang-ambing oleh kemauan hawa nafsu itu, sehingga kehidupannya-pun bisa tak terkontrol. Karena itu manusia memerlukan bimbingan rasul agar mereka dapat memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Kasih sayang Tuhan yang besar kepada manusia diwujudkan, salah satu diantaranya, dengan diutusnya rasul itu.
     Sebagai utusan dari Tuhan, rasul-rasul itu mempunyai sejumlah tugas pokok yang berkaitan dengan kelemahan/kekurangan manusia sebagaimana tersebut di atas, dan beberapa diantaranya adalah (1) memberikan penjelasan kepada manusia tentang Allah yang Maha Esa, sifat-sifatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah ketuhanan; (2) mengajak manusia untuk memiliki moral yang baik, berakhlak mulia dan hidup beradab; (3) memberikan aturan-aturan kehidupan manusia untuk memelihara mereka dari hal-hal yang dapat merugikan manusia itu sendiri; (4) mendorong manusia untuk giat dan gigih berusaha mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat kelak, dan mencegah manusia bersifat malas; (5) membawa manusia untuk memalingkan hawa nafsu mereka dari mengecap kelezatan dunia yang fana untuk mencapai cita-cita yang tinggi.
     Tugas-tugas tersebut dibebankan Allah Swt kepada rasul-rasul untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaan dan kerugian. Karena itu, hal yang paling pokok yang harus dilakukan rasul-rasul ialah membimbing manusia kepada tauhid (meng-Esakan) Allah Swt sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (QS. Al-Anbiya: 25). Dan kemudian lebih dipertegas dengan ayat: 92 Surat Al-Anbiya mengenai keberadaan agama tauhid tersebut sbb: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan-Mu, maka sembahlah Aku”. Dari sudut pandang Al-Qur’an, tak pernah ada beragam agama. Yang ada adalah satu agama, satu jalan hidup, dan satu tujuan, sebagaimana yang juga ditegaskan kepada Rasulullah Saw melalui firman-Nya: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang Agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama  dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS. As-Syura: 13). Yang dimaksud dengan agama disini, menurut catatan/penjelasan kitab Al-Qur’an dan terjemahannya ialah meng-Esakan Allah Swt, beriman kepada-Nya, Kitab-KitabNya, Rasul-rasulNya, Malaikat-malaikatNya dan hari akhirat, serta menaati segala perintah dan larangan-Nya.
     Untuk melaksanakan tugas-tugas kerasulan tersebut, Allah telah membekali para rasul dimaksud dengan wahyu yang kelak dijadikan umat manusia sebagai petunjuk/pedoman dalam mengarungi kehidupan, baik di dunia sekarang maupun di akhirat kelak. Wahyu untuk masing-masing rasul diturunkan dalam bentuk kitab suci yang kita kenal sebagai Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an. Adapun maksud serta tujuan Allah atas semua itu, tidak lain sebagaimana tergambar dalam ayat berikut ini: “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 165).
        Namun, apa yang terjadi setelah Allah menurunkan Rasul-rasul beserta wahyunya masing-masing? Apakah kekhawatiran para Malaikat sejak awal penciptaan manusia cukup beralasan? Dan nyatanya hingga kini, manusia selalu membuat kerusakan serta tidak pernah berhenti dari menumpahkan darah. Apakah misi dari rasul-rasul telah gagal?. Atas pertanyaan ini kiranya Allah telah terlebih dahulu menjelaskan: “Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) Rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami Jadikan mereka buah tutur (manusia), maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman” (QS. Al-Mu’minun: 44). Lebih dari itu, mereka bukan hanya mendustakan Rasul-rasul, namun mereka telah menjadikan agama tauhid itu terpecah belah dan masing-masing mereka membuat sekte-sekte pada agamanya masing-masing serta mengadakan sembahan lain selain Allah, sebagaimana firman Allah berikut ini: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)” (QS. Al-Mu’minun: 53). “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat cinta kepada Allah” (QS. Al-Baqarah: 165).
        Atas sikap dusta dan durhaka umat-umat terhadap Rasul-rasul tersebut, Allah tidaklah membebankan tanggung jawabnya terhadap rasul, mengingat kewajiban rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, sebagaimana firmanNya: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (Amanat Allah) dengan terang” (QS. At-Taghabun: 12). “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah” (QS. An-Nisa: 80). Itu berarti, bila kita dusta dan durhaka terhadap Rasul, maka sesungguhnya kita juga telah dusta dan durhaka terhadap Allah Swt. “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS. Al-Jinn: 23).  Nauzubillah hi min zalik!
      Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa manusia cendrung berpaling, durhaka dan melampaui batas dalam beragama? Atas pertanyaan ini, kita teringat akan perkenan Allah terhadap Iblis ketika memohon tangguh sampai hari kiamat, setelah Allah memutuskan sesat terhadap Iblis karena keengganannya untuk bersujud kepada manusia. “Iblis berkata, ‘Ya Tuhan-Ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Al-Hijr: 39). Dan kenyataan yang terjadi saat ini, juga sekaligus menjadi bukti konkrit bahwa apa yang pernah diperingatkan Allah kepada kita, bila kita tidak mengindahkannya maka suatu saat akan terbukti kebenarannya. Dan salah satu contohnya, dimana sebagai kontributor Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, Sdr. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan bahwa: “Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular...sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus”. (Buku: Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam; Adnin Armas, M.A & Adian Husaini, M.A. Hal 69).
        Bila sudah demikian persepsinya terhadap Islam, apakah agama masih berguna bagi kita? Yang kita pahami selama ini, agama (Islam) hadir di antara kita, antara lain untuk mencegah kemungkaran, termasuk di dalamnya kemaksiatan. Kalaupun ada yang sudah berpersepsi lain terhadap suatu ketetapan Allah dan Rasul-Nya berarti ia sudah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia sesat, sesat yang nyata. (Baca: QS. Al-Ahzab: 36). Terkait dengan surat Al-Hijr ayat: 39 diatas, dimana bagi orang-orang yang memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi, maka Iblis mengancam akan menyesatkan mereka semuanya, “kecuali Hamba-hamba Engkau yang Mukhlis di antara mereka” (QS. Al-Hijr: 40).
         Untuk itu pada kesempatan yang baik ini, marilah kita merenung sejenak, apakah kita telah berusaha untuk menjadi orang yang mukhlis, yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Apa saja yang dilakukannya, hanya karena Allah semata, sebagaimana yang kita ikrarkan pada setiap shalat wajib: “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin” (QS. Al-An’am: 162). Semoga kita termasuk orang yang terlindung dari bujuk rayu Iblis/Syaitan yang senantiasa tak henti-hentinya ingin menjadikan kita sebagai pengikutnya. Hal ini terkait erat dengan firman Allah berikut ini: “Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu (Iblis) dan dengan orang-orang yang mengikut kamu di antara mereka kesemuanya” (QS. Shad: 85).  Mohonlah perlindungan hanya kepada Allah semata;  Amien...Ya Robb al-amin...!!!

                                                                      ==@==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar