“Allah menganugerahkan Al-hikmah (kepahaman yang
dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah) ” (QS.Al-Baqarah:269).
Mengungkap
makna, kandungan, dan hikmah Al-Qur’an, sungguh merupakan suatu pekerjaan yang
tidak mudah. Menyampaikan “pesan Allah” yang merupakan Dzat Yang Tak Terbatas
ke dalam pemahaman manusia yang terbatas ini, tidak saja memerlukan suatu
kearifan, ilmu, ketulusan hati, dan kebersihan jiwa, tetapi lebih dari itu,
menuntut adanya ‘kedekatan’ jiwa antara mahluk dengan Khaliq-Nya. Meski begitu,
tidak berarti bahwa upaya tersebut harus terhenti. Terbukti, bahwa sejak dulu
hingga sekarang, upaya penafsiran Al-Qur’an masih terus berlangsung.
Telah
berabad-abad lamanya, AlQur’an ditafsir ditengah peradaban dan pergaulan umat
manusia. Selama sejarahnya yang panjang itu ia telah berperan sebagai unsur
utama pembentukan kepribadian ajaran Islam. Al-Qur’an berkedudukan sebagai
Kitab Suci, yang merupakan sumber utama rujukan segala hal yang bersangkut-paut
dengan kepercayaan, peribadatan, pedoman moral dan perilaku individual, sosial
masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidaklah berlebihan kiranya bila
kita simak kesaksian dari seorang ilmuwan dan sejarawan besar Amerika, George
Sarton (1884-1956) mengenai Al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam karyanya ' The
Incubation of Western Cultuer in the Middle East' antara lain menyebutkan : " Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara
langsung kepada nabi agama ini (Muhammad). Ajaran Al-Qur’an meliputi seluruh
aspek kehidupan, nilai-nilai religi, ilmu pengetahuan, aturan
perundang-undangan, tata laksana kehidupan, bahasa, dan lain-lain. Intinya
menurut beliau, tiada satupun masalah kehidupan yang tidak tersolusikan dalam
Al-Qur’an ". Jadi, jika kita hendak mengetahui wajah, watak dan hakikat ajaran
Islam yang asli, maka kita harus menatap kepada Kitab Suci ini, menyimaknya
secara mendalam, menghikmatinya serta mengamalkannya dalam keseharian kita.
Dalam
eskatologi Islam terdapat prediksi, atau lebih tepatnya, janji Tuhan, bahwa Dia
akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda atau ayat-ayatNya yang ada pada
seluruh horizon dan dalam diri manusia sendiri, sehingga akan jelas bagi
manusia bahwa “Dia” adalah benar. Umat Islam harus yakin bahwa Al-Qur’an adalah
wahyu terakhir dari Allah swt, dan dengan sendirinya, ia menegaskan dimensi
universal. Tanggung jawab mereka di hadapan Allah adalah menjadikan pesan
amanah ini diketahui dan menjelaskan kandungannya sebanyak mungkin.
Tiada
iman sejati tanpa pemahaman; bagi seorang Muslim, pernyataan ini berarti
keharusan memahami sumber ajaran (Al-Qur’an dan Sunnah sebagai penjelas) dan
konteks tempat dia hidup. Sejarah umat manusia sebelumnya dan berbagai
keteladanan, banyak diukir dalam Al-Qur’an. Tetapi dalam realita, manusia
cenderung membuat jarak jauh dari Al-Qur’an; mengapa? Memang terdapat banyak
kendala dan rintangan. Semua itu disebabkan karena tabir yang menghijabnya amat
tebal dan belum ada upaya maksimal untuk menyingkapkannya, meskipun Allah telah
memberikan jalan untuk itu dengan firman
Nya : “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka
adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.Al-Qamar:17,22,32,40). ”Sesungguhnya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” (QS.Az-Zumar:9).
Jadi bagi orang-orang yang tidak menerima Al-Qur’an sebagai pelajaran,
merekalah orang-orang yang enggan menggunakan akal. Dan bagi orang-orang
tersebut, Allah telah menjanjikan akan menimpakan kemurkaannya” (QS.Yunus:100).
Kiranya ayat-ayat tersebut diataslah yang
memberikan landasan kuat bagi khalifah Umar bin Khattab r.a dalam memotivasi
kaumnya agar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan sikap hidupnya sebagaimana
tercermin dalam sebagian dari isi khotbah beliau sesaat setelah menerima
penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius,
antara lain sbb: “Wahai Kaum Muslimin, aku menasehatkan kepada engkau sekalian
untuk membaca Al-Qur’an. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya.
Reguklah isi ajaran Al-Qur’an itu. Kemudian amalkan apa yang diajarkan
Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekedar ajaran teoritis, ia harus menjadi sikap
hidup yang wajib diamalkan. Al-Qur’an tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi
belaka; ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di
dunia ini”.
Tidak
diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang merupakan pegangan utama
untuk seluruh insan. Didalamnya tersurat
dan tersirat berbagai pedoman, inspirasi, isyarat, dan basis utama ilmu
pengetahuan. Oleh sebab itu Al-Qur’an memberikan penghargaan kepada orang-orang
yang menggunakan akal untuk merenungi ayat-ayat Allah. Al-Qur’an senantiasa
memadukan antara potensi qalbu dan akal. Qalbu (instrumen persepsi ma’rifat) berfungi
memahami, menghayati dan merasakan keagungan dan kekuasan Allah; sedangkan akal berfungsi memikirkan,
merenungi, dan menganalisis ayat-ayat Allah yang ada di alam ini. Maka
ayat-ayat Allah pada dasarnya tidak terbatas pada teks Al-Qur’an semata, tetapi
juga terdapat di jagat raya.
Betapa banyak ayat Al-Qur’an yang memotivasi
umat Islam untuk selalu menggunakan akal pikiran dan penalaran. Al-Qur’an
mengajak manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dan mendorong umat manusia
untuk memperhatikan alam hewani dan nabati; dari yang paling kecil seperti
nyamuk sampai kepada yang paling besar semisal gajah. Begitu pula Al-Qur’an
memotivasi manusia untuk melakukan tadabbur (perenungan atau penyelidikan) terhadap
segala kejadian yang menyangkut perjalanan masa, perputaran matahari, peredaran
berbagai planet, bulan dan seluruh kosmos kita ini dengan segala isinya.
Al-Qur’an
sedemikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan
bandingannya dalam kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, Al-Qur’an
menyifati masa Arab pra-Islam dengan jahiliah (kebodohan). Di dalam Al-Qur’an terdapat cukup banyak ayat
yang menyebut tentang ilmu pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu
disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu, bahkan bagi orang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, Islam memposisikannya pada tingkatan ketiga setelah
Allah dan malaikat-Nya dalam rangka meminta petunjuk kepada Allah dan mengakui
kebera- daan dan keesaan-Nya (lihat QS.Ali-Imran :18).
Tak dapat disangkal, bahwa kelahiran Islam
adalah untuk merombak peraturan-peraturan jahiliah, membenarkan keyakinan
beragama umat yang lain, mengatur urusan-urusan kehidupan, menggunakan akal dalam hal yang
baik dan meninggalkan yang buruk. Kemudian membangun kebesaran umat,
memposisikannya dalam keagungan dan kemuliaan. Hal ini bukan sekedar klaim dari kita umat Islam, namun lebih dari itu seorang orientalis berdarah Italia, David de Santillana (1845-1931) dalam karyanya 'Al Qanun wal Mujtama' antara lain menyebutkan : "Ajaran Islam datang meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaran-Nya. Ayat-ayat Al-Qur'an, juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa. Dengan demikian lanjutnya, ajaran agama ini meluruskan tabiat manusia kepada jalur yang benar selaras dengan kemuliaan manusia serta memberi solusi segala masalah yang dihadapi umat manusia".
Menjadi jelas, perbedaan penghormatan ilmu
dan pikiran diantara orang-orang muslim dan orang-orang Eropa (Barat) pada abad
pertengahan. Orang-orang muslim telah menjadi
guru-guru di seluruh penjuru dunia dengan keutamaan Al-Qur’an, sedang
selain mereka tenggelam dalam kebodohan.
Tingkat
pemahaman Al-Qur’an
Al-Qur’an itu termasuk
kitab / buku yang ‘tak pernah tamat’ dibaca. Itu artinya kitab yang harus
terus-menerus dibaca ulang, dipilih-pilih lagi, diingat-ingat lagi. Mengapa
demikian, karena ternyata tingkat pemahaman yang terkadung di dalamnya bisa
berlapis-lapis. Meskipun Al-Qur’an al Karim diturunkan dalam bahasa arab, dan
oleh karenanya pada umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya
dengan mudah, namun diantara para sahabat Rasul sendiri, mempunyai tingkatan
yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an. Hal ini tentunya di sebabkan antara
lain karena perbedaan tingkat pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu
sendiri, disamping ada sahabat yang kerab mendampingi nabi Muhammad Saw,
sehingga lebih banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu
diturunkan.
Ayat-ayat Al-Qur’an pada garis besarnya dapat
dibedakan antara ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat. Meskipun
sebagian ulama cenderung pasrah dalam menyikapi ayat-ayat Mutasyabihat, para
saintis hendaknya menyikapinya sebagai tantangan dan sekaligus bahan kajian
untuk mengembangkan penalaran ilmiah. Karena, Al-Qur’an ini diturunkan agar
dibaca, dipahami dan diamalkan pesan-pesannya, maka untuk menafsirkan ayat-ayat
dan menangkap isyaratnya adalah tugas manusia ;
karena Al-Qur’an ini diperuntukkan sebagai petunjuk bagi manusia.
Oleh sebab itu, bila kita ingin mengkaji dan
memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik sedangkan kita tidak menguasai bahasa
aslinya (bahasa Arab), maka sebaiknya kita dapat memper- gunakan beberapa sumber
rujukan, seperti: terjemahan, jika mungkin dalam beberapa bahasa, dan perlu
pula didukung oleh sains.
Keraguan
terhadap Al-Qur’an
Sejak awal turunnya Al-Qur’an sampai sekarang
banyak orang yang meragukan Al-Qur’an atau tidak mau mempercayai dengan
berbagai macam dalih, meskipun sudah ditunjukan bukti-bukti kebenarannya.
Mereka menuduh bahwa Al-Qur’an merupakan hasil dari sihir Muhammad; Al-Qur’an hanya jiplakan dari alkitab milik
kaum yahudi dan kaum kristen dan lain sebagainya.
Meskipun pihak kompetensi nampaknya berhasil
membuktikan kekeliruan sejumlah argumentasi aktivis liberalisasi Islam, penulis
juga merasa masih risau dengan keseriusan kaum Muslimin menghadapi serbuan
pemikiran orientalis di bidang Al-Qur’an ini. Mereka bekerja luar biasa untuk
meruntuhkan Al-Qur’an. Selama puluhan tahun mereka mengumpulkan berbagai
manuskrip dan berkeliling ke berbagai negara Arab untuk itu. Lebih berat lagi,
faktanya, ‘murid-murid orientalis’ dari kalangan Muslim kini juga aktif ikut
menyerang Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang andai
pepohonan di dunia di jadikan pena serta seluruh samudera menjadi tintanya, tak
kan habis mengurai makna-makna Al-Qur’an. Mengapa? Karena Al-Quran adalah
Kalamullah Dzat Pencipta langit dan bumi dan seisinya. Dzat yang tentunya Maha
Mengetahui tentang apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.
Namun
demikian, tabiat buruk manusia yang selalu ‘melampaui batas’ dan ‘berpaling’
telah memposisikan Al-Qur’an sebagai objek cemoohan, pelecehan dan pengingkaran.
Tentu, bukan hanya orang kafir saja yang melakukannya, diantara mereka adalah
orang Islam itu sendiri. Betul... tanpa disadari, umat Islam telah mengotori
Al-Qur’an baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu ketika Al-Qur’an
dipinggirkan dari kancah kehidupan.
Realitas
inilah yang terjadi. Al-Qur’an hanya dibaca beramai-ramai ketika ada upacara
kematian orang yang mungkin selama hidupnya tidak pernah mambaca bahkan menyentuh
Al-Qur’an. Hari turunnya Al-Qur’an memang dimeriahkan bahkan menjadi hari
nasional di berbagai negeri muslim. Bahkan hampir setiap tahun, seni membaca
Al-Qur’an dilombakan dari tingkat kecamatan hingga internasional. Tapi, untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan, semua serempak menjawab “nanti dulu... “. Untuk mereka-mereka
inilah kiranya Allah telah mempertanyakan melalui firmanNya : “..; Maka kepada
berita manakah lagi mereka akan
beriman selain kepada Al-Qur’an itu ?” (QS. Al-A’raf: 185).
Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ?
Sejarah atheis dalam
Islam memang tidak banyak dikenal, bahkan hampir dinyatakan tidak pernah ada.
Alasanya adalah tidak mungkin ada atheis dalam Islam. Mungin secara ringkas
dapat dikatakan disini bahwa kata ateis dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai
Islam tanpa Al-Qur’an. Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ? Karena Al-Qur’an
disini dianggap tidak ada sebagai konsekuensi dari tidak diakuinya keberadaan
kenabiaan. Dalam kerangka yang lebih besar mungkinkah beragama tanpa kitab suci
?
Atas pertanyaan ini, para orientalis
memberikan perhatian yang besar terhadap spirit atheis dalam Islam yang
memiliki sejarah mengasyikkan. Mereka memberikan perhatian lebih terhadap
sejarah ini, sebab kebanyakan teori aliran Mu’tazilah tidak dapat dipahami
tanpa mengetahui berbagai perseteruan yang sengit antara tokoh-tokoh Mu’tazilah
dan kelompok ateis, sebagai kelompok yang mengobarkan perseturuan. Adanya
perseturuan inilah yang mendesak kelompok Mu’tazilah untuk mengambil sikap
tersendiri dalam menghadapi kelompok tersebut. Bahkan, seandainya kita
berkesempatan untuk mengkaji pembentukan berbagai teori yang dimiliki oleh
aliran Mu’tazilah secara teliti dan cermat mengamati perkembangannya dan
menggambarkan kecenderungan yang diikutinya, pastilah kita dapat menemukan
bahwa ateis memiliki pengaruh besar dalam pemben- tukannya.
Oleh sebab itu, bila hingga saat ini masih
ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya seorang muslim, namun baik secara
tersembunyi maupun secara terang-terangan menyatakan bahwa sebenarnya hukum
Allah itu tidak ada, bahkan sama sekali tidak mempercayai adanya hukum Allah,
maka itulah bagian dari perjalanan sejarah kelam yang selama ini banyak
ditutup-tutupi; yaitu sejarah Ateis
dalam Islam.
Generasi
Al-Qur’an
Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya di
awal periode Islam disebut sebagai ‘Generasi Qur’ani’. Mereka merupakan generasi terbaik Islam yang
pernah hadir di tengah umat manusia. Generasi inilah, menurut Sayyid Quthub,
yang ditunjuk oleh firman Allah : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah” (Ali-Imran:110). Generasi terbaik Islam seperti diatas, menurut
Quthub, belum pernah lahir kembali, sampai masa kita sekarang. Padahal, lanjutnya, Al-Qur’an masih di tangan
kita, tetap utuh seperti dahulu.
Sementara itu kaum Yahudi Kembali berusaha
menyusupkan kekuatan spiritual dan motivasi-motivasi keagamaannya. Dengan
kekuatan itu mereka kembali membangunkan umatnya dari ketertidurannya, kembali
mengumpulkan kelompok-kelompoknya yang terpecah-belah, dan kembali menghidupkan
bahasanya dari kematiaan. Hingga suatu saat mereka kembali menghadapi kita
dengan Taurat ditangan, sementara kita tidak lagi memiliki Al-Qur’an ! .
“Mereka” kembali bersatu dalam agama Yahudi sementara kita telah terpisah jauh
dari Islam! Mereka kembali pada ajaran-ajaran Talmud, sementara kita hanya
merasa bangga dengan Bukhari dan Muslim! (DR. Yusuf Qardhawi; Titik Lemah Umat
Islam; 2001).
Kembali pada konteks ayat tersebut diatas
(QS. Al-Baqarah : 269), dimana Allah telah menjanjikan kepada kita semua bahwa
: “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki;...”. Pertanyaannya, siapakah dan
bagaimanakah orang-orang yang Dia kehendaki tersebut?
Bila kita
kembali mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi “Faz-kuruuniii ‘az-kurkum washkuruu lii wa laa takfuruun”
(Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku Ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari Nikmat-Ku). Maka, mudah-mudahan kita semua sepakat bahwa
orang-orang yang ’Dia’ kehendaki, tentunya adalah orang-orang yang menghendaki
anugerah Allah tersebut! Untuk itu kiranya kita wajib memanjatkan do’a dengan
khusyuk kehadirat-Nya : “Allah-humma a-‘innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa
husni ‘ibaadatika”. Insya Allah !!!
==@==
[15/12/2012]
[15/12/2012]
Oleh : Chairullah Idris ~ e-mail : chairullah.idris@gmail.com