Tanpa disadari
bahwa sejak munculnya “Teori Evolusi” hingga detik ini, suatu persoalan besar
masih tetap berlangsung antara agama dengan ilmu pengetahuan. Perbedaan paham
antara kaum Creationists (penciptaan) dengan kaum Scientist (ilmuwan) terletak
pada kesenjangan usia alam semesta dan asal-usul manusia di muka bumi. Para
ilmuwan yang kritis menilai bahwa kisah penciptaan di dalam Kitab suci sebagai
sesuatu hal yang tidak rasional karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Bukti-bukti fosil yang ditemukan diseluruh belahan bumi itu merupakan saksi
bagi suatu kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, menurut mereka. Adanya
sangkaan atau kecurigaan terhadap Kitab suci semata-mata karena adanya kesalah
fahaman dalam menginterpretasi wahyu yang bersifat universal itu. Oleh karena
itu Kitab suci (al-Qur’an) sebagai firman Allah,
tertantang akan hal ini untuk dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi para
ilmuwan.
Sekilas Teori Evolusi
Munculnya teori evolusi dari Charles Darwin
(1809-1882) pada hakikatnya merupakan kelanjutan saja dari teori ‘Omne vivum ex
vivo’ yang menyatakan bahwa timbulnya makhluk hidup tidak dari yang mati,
melainkan dari makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Teori ini muncul,
setelah Lazardo Spanlanzani, Francesco Redi (keduanya dari Itali) dan Louis
Pasteur dari Perancis mendeklarasikan teori tersebut diatas (tepatnya 1860).
Bila kita telusuri jauh ke belakang sebelum Darwin mengemukakan dua teori evolusi yang terkenal itu, kita akan
menemukan bahwa cendekia Yunani Purbapun pernah mengemukakan pendapatnya
bahwa species yang
ada sekarang ini meskipun telah mengalami pelbagai perubahan
evolusioner, tetap berasal dari species yang ada dari jaman sebelumnya. Dalam
gugus pemikiran cendekia Muslim, kita mendapati tokoh seperti Al-Jahiz dan Ibnu
Maskawaih (940-1030) yang meskipun kebenaran ilmiah boleh dipertanyakan, tetapi
menunjukkan bahwa cendekiawan Muslim kita pernah membuka pemikiran dalam bidang
/ masalah evolusi ini. Evolusi, menurut Maskawaih berlangsung dari alam mineral
ke alam tumbuh-tumbuhan selanjutnya ke alam binatang, dan seterusnya ke alam
manusia. Lebih lanjut menurutnya, transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan
terjadi melalui merjan (karang), dari alam tumbuhan ke alam binatang melalui
pohon kurma, dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.
Beberapa ulama Islampun telah mendahului,
bahkan melebihi Darwin dalam membuktikan bahwa ada kemiripan antara manusia dan
kera. Kamaluddin Muhammad ad-Damiri dalam bukunya berjudul ‘Hayat
al-Hayawan al-Kubra’ ketika menyinggung kera menyebutkan, “Binatang yang mirip
dengan manusia dalam kebanyakan karakternya. Kera dapat tertawa, bergembira,
berceritera, dan mengambil sesuatu dengan tangannya. Ia memiliki jemari yang
begitu sempurna hingga kuku, di samping dapat menerima pelajaran dan
pengarahan. Ia juga akrab dengan manusia, berjalan dengan kedua kaki dan kedua
tangannya dan terkadang dengan kedua kakinya saja, dan ia juga mempunyai bulu
mata. Ciri-ciri ini tidak dimiliki oleh binatang lainnya”.
Dalam bukunya “the origin of species” Darwin tidak dengan tegas
menyebutkan bahwa manusia itu berevolusi. Dia hanya menggambarkan bahwa nenek
moyang manusia itu primitif. Kemudian untuk mengambil model manusia yang primitif
itu, dibandingkan / diambil hewan yang paling dekat sekali kemiripannya dengan
manusia. Dibandingkannya mana ciri-ciri yang sama dan yang beda antara manusia
dan monyet. Lalu ia
berpendapat bahwa nenek moyang manusia itu mirip kearah monyet. Jadi evolusionist
yakin kita punya nenek moyang yang sama dengan monyet, terutama dengan
simpanse.
Sejak saat
itulah masalah kepurbakalaan dan asal usul
manusia mulai hangat dibicarakan oleh para ahli, sehingga membuat Darwin
semakin giat mempelajari masalah tersebut, dan buku pertamanya tidak membuat
dia puas, sehingga di tahun 1871 dengan memberanikan diri dia menerbitkan buku
keduanya yang lebih radikal dan menghebohkan dunia, buku itu berjudul ‘The
Decent of Man’ (asal-usul manusia), isinya lebih mempertegas lagi tentang
evolusi suatu mahluk hidup dari binatang kera menuju manusia dengan mengalami
proses ‘struggle of life’.
Dari sinilah awal mulanya timbul pertentangan
antara agamawan dengan para ilmuwan dan antara sesama ilmuwan bahkan
antar sesama agamawan. Berlarutnya polemik masalah Adam
dan Anthropus sebetulnya disebabkan tidak adanya bukti-bukti yang kuat. Di
pihak teori Darwin tidak mampu membuktikan adanya ‘ the missing link’ nya
sehingga banyak pihak yang meragukannya.
Adalah Stephen Meyer, pendukung teory ’
intelligent design’ dari Amerika yang juga pengajar senior dari Discovery
Institute, Seattle, menyatakan bahwa teori Darwin modern mengandung terlalu
banyak penjelasan yang tidak memiliki bukti. Para pendukung teori intelligent
design juga mengatakan kerumitan dan teraturnya dunia ini terjadi akibat peran
intelligent cause, Sang Pencipta. Selain itu, Harris, seorang pakar asam lemak
omega 3 yang juga salah seorang pendiri Intelligent Design Network Inc, menolak
untuk meyakini kehidupan sederhana kuno menjadi cikal bakal terbentuknya
makhluk hidup yang lebih kompleks. Evolusi selama miliaran tahun diragukannya
dapat mengantarkan suatu makhluk menjadi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
Sebenarnya penolakan atas teori evolusi
bukan saja baru akhir-akhir ini terjadi, Carolus Linnaeus; seorang ahli ilmu
hayat abad ke-18 dari Inggris menyatakan, sampai abad ke-19 pendapat umum
mengatakan bahwa segala jenis dari awal sudah ada. Evolusi dalam arti peralihan
dari jenis yang satu ke jenis yang lain tidak diakui, bahkan beliau berpendapat
bahwa segala jenis sudah ada dari awal. Dan diluar dugaan ternyata Darwin
sendiri juga meragukan kebenaran teori yang diciptakannya itu. Ia tidak
mendapat bukti bahwa lapisan-lapisan batu di dalam tanah mengandung data dan
catatan yang kronologis sepanjang waktu geologis yang enam (dari Azoicum sampai
dengan Cenozoikum) mengenai evolusi hidup itu. Yang didapatkan justru
berlawanan dengan teorinya. Lebih spesifik lagi, kontradiktif yang ditunjukkan
dalam bukunya yang pertama (The Origin of species), dimana menurut Darwin,
dalam species yang sama terdapat perbedaan-perbedaan yang kecil (variability). Berkat
perbedaan-perbedaan itu muncullah ‘the
struggle for life’. Individu yang lemah akan hilang, sedangkan yang kuat akan
bertahan (survival of the fittest). Sifat-sifat yang lebih bisa bertahan itu
diwarisi oleh generasi berikutnya sehingga lahirlah bentuk-bentuk baru yang
kualitasnya lebih tinggi daripada sebelumnya (natural selection). Berkenaan
dengan keraguan Darwin tersebut, sejak awal salah seorang pengkritik Darwin
paling sengit, Uskup Samuel Wilberforce (1886) dari
gereja Anglikan Inggris mempertanyakan apakah Darwin
keturunan kera melalui keluarga kakek atau neneknya? Hal ini tidak mungkin
katanya, karena mereka masih ada bersama kita. Lebih lanjut beliau mengatakan
teori Darwin adalah bertentangan dengan kitab Suci, Wahyu Ilahi dan kewibawaan
gereja.
Evolusi bagi
ilmu positif sampai sekarang masih merupakan hipotesis, tetapi makin umum
diterima. Hal yang sama berlaku juga untuk evolusi manusia dari salah satu
jenis binatang. Sebagai
faktum, evolusi manusia belum terbukti, tetapi sebagai hipotesis makin umum
diterima terutama dalam ilmu hayat.
Pandangan Al-Qur’an
Ada dua kata dalam
Al-Qur’an yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar dan al-insan. Namun, jika
ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al-Qur’an sendiri, pengetian kedua
kata tersebut saling berbeda. Al-Basyar
adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu,
berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam
pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 35 kali di berbagai surah.
Dari pengertian-pengertian tersebut, beberapa diantaranya berbicara tentang hal
“penciptaan”
manusia itu sendiri. Penciptaan
manusia (dalam arti kata al-basyar) di dalam al-Qur’an diulang sebanyak empat
kali, sementara penciptaan manusia (dalam arti kata al-insan) diulang sebanyak
tiga puluh lima kali. Kedua kata
itu mempunyai karakteristik makna sendiri-sendiri sesuai dengan konteks.
Sedangkan kata Al-Insan bukan berarti
basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an,
al-insan mengandung pengertian makhluk mukallaf (ciptaan Tuhan yang dibebani
tanggung jawab), pengemban amanah Allah dan Khalifah Allah SWT di atas bumi. Al-Insan
dalam pengertian ini didapati pada 65 tempat dalam Al-Qur’an. Penjelasan
tersebut menunjukkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia dalam pengertian
al-insan. Dari berbagai ayat yang
memaparkan keistimewaan dan ciri-ciri manusia inilah, Bintu Syati (pakar tafsir dan dosen pada
Universitas Qurawiyyin di Maroko)
mengatakan bahwa manusia (al-insan) adalah Khalifah Allah Swt di atas
bumi yang diberi tanggung jawab dan amanah karena kekhususannya adalah dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk, mempunyai ilmu, akal, dan memiliki
kemampuan al-bayan (berbicara). Yang dimaksud dengan kemampuan berbicara
(al-bayan) adalah pembicaraan yang
menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti al-basyar berubah
menjadi manusia yang berarti al-insan yang sanggup menerima Al-Qur’an sebagai
petunjuk. Perubahan tersebut bukanlah terjadi dengan sendirinya, namun campur
tangan Sang Pencipta-lah semua itu dapat terjadi. Mari kita
simak bersama firman Allah terhadap malaikat dalam surat Shad (38) ayat 71 yang
berbunyi: “ Iz Qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii khaaliqum basyaram min
tiin”. Setelah al-basyar yang diciptakan dari tanah ini berkembang biak dalam
kurun waktu yang tidak kita temukan pertandanya dalam Al-Qur’an, maka Allah
berkehendak / ingin menjadikan atau mengangkat khalifah yang akan mewakili
semua urusanNya di muka bumi. Untuk itu Allah kembali berfirman kepada
malaikat: “ Wa iz qaala rabbuka lil-malaa’ikati innii jaa’ilun fil-ardi
khaliifah; …”(QS: Al-Baqarah (2): 30). Dari dialog tersebut para malaikat
bertanya: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah’. Tentunya bagi kita orang
yang beriman, dialog tersebut merupakan petunjuk bahwa pada saat itu para
malaikat telah mengetahui adanya makhluk (al-basyar) yang hidup di muka bumi
ini yang dikira akan diangkat sebagai khalifah. Namun Allah menutup kecemasan para
malaikat tadi dengan berfirman: ‘ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui’.
Nampaknya
benar, hanya Allah sendiri yang Maha mengetahui, apa yang Ia
kehendaki, maka terjadilah ia. Dan
untuk itu Allah melanjutkan firmanNya kepada malaikat: “Fa izaa sawwaituhuu wa
nafakhtu fiihi mir ruuhii fa qa’uu lahuu saajidiin” (QS. Shad (38): 72); yang artinya ‘Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya’. Kepada siapa, Allah memerintahkan
malaikat bersujud, bila tidak kepada Adam (al-insan). Dan dari kedua ayat
tersebut diatas, maka jelas bahwa ciptaan Allah tidak sempurna jika manusia
(al-basyar) tidak diciptakan lebih dahulu dari
manusia Adam (al-insan), karena ini adalah prinsip kesempurnaan ciptaan
Allah. Untuk itu, Allah telah memerintahkan
hamba-hambaNya melalui Rasulullah Saw agar melakukan perjalanan dimuka bumi, dan memperhatikan
serta mengamati bagaimana Allah menciptakan makhluk
(manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya
sekali lagi, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Qul siiruu fil-ardi fanzuruu
kaifa bada-al khalqa summallaahu yunsyi’un-nasy’atal aakhirah, innallaaha ’alaa
kulli syai’in qadiir” (QS. Al-‘Ankabut (29): 20). Dari ayat diatas, kita dapati dua kata
yang berlainan arti, yaitu menciptakan dan menjadikan. Mencipta artinya sesuatu
yang terjadi dari yang tidak ada menjadi ada, sedangkan menjadikan adalah dari
bahan yang sudah ada sebelumnya, dijadikan
sesuatu sesuai kehendakNya. Allah
menciptakan Al-Basyar dan kemudian menjadikannya sekali lagi dalam wujud
Al-Insan.
Kesempurnaan apa saja yang telah dianugerahkan Allah terhadap makhluk manusia (al-insan) ? Dr. Abdus
Shobur Syahin (Ulama Mesir) dalam bukunya: ‘Abi Adam, Qishshah al-Khaliqah
Baina al-Usthurah wa al-Haqiqah’ antara lain menyebutkan bahwa selain
penyempurnaan materi dan fisik, manusia (al-insan)
juga dilengkapi Allah dengan keahlian, bakat, kemampuan, dan potensi diri yang agung yang esensinya adalah akal sempurna.
Dengan akal, makhluk ini berbuat
sesuatu dalam hidupnya, dan darinya kehidupan sosial itu ada. Mereka dengan
akalnya melakukan interaksi dengan yang lain lewat medium bahasa. Disinilah,
manusia dalam pengertian al-insan itu ada. Lahirlah Adam abu al-insan yang menerima
tanggung jawab (taklif) untuk meng-Esakan dan menyembah Allah.
Tatkala tanggung jawab dan amanah itu
dijalankan dengan baik, manusia dikatakan sebagai ‘ahsan taqwim’ (penciptaan yang sempurna).
Namun tatkala tindak-tanduk dan bicara manusia itu tidak lagi mempergunakan
akal pikiran, maka kemanusiaan manusia waktu itu gugur dan ia kembali sebagai ‘
basyar’, yang hanya memiliki anggota tubuh yang membutuhkan makan dan minum
serta berjalan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedemikian
belum berartinya seorang basyar, sampai-sampai di dalam al-Qur’an tak satupun
kata al-basyar digunakan sebagai subyek yang diajak dialog. Faktanya, di
dalam al-Qur’an tidak ditemukan rangkaian kata ‘ya ayyuha al-basyar’ tetapi
yang ada hanyalah kata ‘ya ayyuha al-nas’ (bentuk jamak dari kata al-insan).
Terkait hal
ini, sesungguhnya kita telah diingatkan oleh Allah Swt tentang keberadaan
manusia di muka bumi ini melalui surat Al-Insan ayat 1 sbb: “ Hal ataa
‘alal-insaani hiinum minad-dahri lam yakun syai’am mazkuuraa”; yang artinya
‘Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?’. Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menyebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman mengabarkan tentang manusia, bahwa Dia
telah menciptakannya setelah sebelumnya tidak pernah menjadi sesuatu yang
disebut karena kerendahan dan kelemahannya
(Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir, jilid 8 hal
358). Satu waktu dari masa,
analog dengan satu periode atau kurun waktu tertentu dimana manusia itu belum
berati apa-apa dan belum dapat mewakili tugas-tugas ke-Ilahian di muka bumi.
Adapun terhadap Bani Adam, Allah telah menegaskannya melalui firmanNya berikut
ini: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,.. Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang lebih sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan” (QS. Al-Isra (17): 70). Kelebihan-kelebihan dimaksud adalah
sebagaimana yang telah kami uraikan diatas.
Oleh sebab
itu, perlu kita rasakan pentingnya mengkaji serta memahami proses terjadinya
diri kita, sebagaimana telah dipertanyakan Allah kepada hamba-hambaNya melalui
firmanNya yang terjemahannya sbb: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan
bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar
dan waktu yang ditentukan;……”(QS. Ar-Rum (30): 8).
Memang, pada saat sebagian
orang
mengalami kebingungan dalam mendapatkan pengertian yang sebenarnya dari
ayat-ayat tertentu, seringkali dengan nada cemas mereka berlindung diri dengan
ucapan: ‘Allah lebih tahu mana yang benar’ (Wallahu a’lam bish shawab). Namun
demikian, sebaiknya kita tidak begitu saja menggunakan kata-kata itu. Kemampuan
berpikir yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita, umat manusia (insan
sempurna), yang dalam banyak ayat selalu dituntut untuk dipergunakan,
menunjukkan bahwa pemikiran yang mendalam terhadap makna al-Qur’an perlu
mendapatkan tempat yang wajar. Seseorang yang
memahami tuntunan wahyu dengan akalnya sambil berserah diri kepada Allah Swt,
berbeda dengan mereka yang menggunakan akalnya sesuai kecenderungannya guna
memahaminya. Yang pertama, menjadikan
wahyu pokok sambil menundukkan akalnya kepadanya, dan yang kedua menjadikan
akalnya sebagai pokok lalu menundukkan wahyu kepada akalnya. Yang pertama tadi
adalah sikap penyerahan diri kepada wahyu dan yang kedua mengalihkan wahyu
tunduk kepada akal sehingga melahirkan ta’wil yang sesuai dengan tuntutan akal,
walaupun bukan pada tempatnya.
Untuk itu,
melalui tulisan ini dan dengan didasari niat yang tulus karena Allah semata,
marilah kita coba untuk lebih mendalami ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang
berkaitan dengan hal penciptaan manusia, tanpa harus mempertentangkan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, satu dan lain mengingat firman Allah yang
menyebutkan: “…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(QS. Al-Mujaadilah (58): 11).
Kajian Lintas Komunal
Persoalan yang
mendasar dari para evolusionist adalah belum ditemukannya fosil tertentu
sebagai patokan mata rantai yang hilang atau ‘missing link’ dalam proses evolusi.
Hingga saat
ini garis perkembangan dari Homo Erectus (manusia jalan tegak) sampai pada
manusia mutakhir (Homo Sapiens) masih
belum menentu. Fosil-fosil leluhur manusia sukar diperoleh. Dari sedikit fosil
yang telah didapati, jejak evolusi dapat diikuti sampai taraf tertentu. Dan
satu-satunya yang masih dicari adalah bukti timbulnya manusia itu sendiri.
Para ilmuwan / evolusionist telah menetapkan
dua jenis makhluk dalam proses evolusi manusia, masing-masing adalah species
kera dan species manusia. Dari species kera, terdapat jenis-jenis yang
dinamai: Pliopithecus, Proconsul, Dryopithecus, Oreopithecus, Ramaphitecus
serta Australopithecus. Sedangkan dari species Homo (manusia) terdapat
jenis-jenis: Homo Habilis, Homo Erectus, Homo sapiens purba, Manusia
Neanderthal, Manusia Cro-Magnon dan
Manusia Modern. Dari species kera yang paling akhir atau yang lazim disebut
dengan ‘Australopithecus’ inilah kemudian berevolusi ketingkat lebih tinggi
yang mereka sebut dengan: Homo (manusia). Namun dari hasil penelitian anatomis yang
dilakukan oleh antropolog Dean Falk dari State University of New York, Albany
pada 1980-an, dapat diketahui bahwa: Dua juta tahun yang lalu, Homo hidup
berdampingan dengan beberapa species Australopithecus di Afrika Timur dan
Selatan selama sejuta tahun. Ini mengindikasikan
bahwa tidak pernah ada evolusi dari species Kera ke tingkat Homo (manusia),
sebagaimana hingga sekarang manusia masih bersama kera dalam segala jenisnya.
Pendapat diatas juga diperkuat oleh hasil survei atas fosil yang diduga milik
manusia, yang dilakukan oleh Jeffrey Laitman, dari Mount Sinai Hospital Medical
School, New York. Dia
menemukan bahwa basikranium (bagian bawah batok kepala) pada manusia adalah
melengkung, sedangkan
pada ‘Australopithecus’ jelas-jelas datar.
Dengan basikranium seperti itu, sebagaimana banyak ciri biologis
lainnya, Australopithecus terlihat mirip kera dan layaknya kera, komunikasi
suara mereka pasti terbatas. Australopithecus
tidak bakal bisa membunyikan huruf-huruf vokal universal yang menjadi ciri pola
ucapan manusia.
Persoalannya
adalah, genus Homo jenis apa yang hidup berdampingan selama sejuta tahun
bersama Australopithecus? Dari sejarah perkembangan bumi dan penghuni-penghuni
sejak awal terciptanya bumi, para ahli geologi membagi jaman atau masa menjadi
tiga bagian yakni: Paleozoikum, Mesozoikum dan Kaenozoikum. Masa atau jaman
bagi berkembangnya binatang menyusui hingga monyet dalam berbagai jenisnya
serta timbulnya makhluk manusia, dinamakan era Kaenozoikum yang terbagi menjadi
dua priode yakni: Tertair dan Kwartair.
Priode Kwartair inilah yang menjadi priode dimana manusia mulai muncul. Kurang lebih
1,8 juta tahun yang lalu pada permulaan zaman Pleistoseen timbul Hominid yang
sungguh-sungguh, yang merupakan makhluk manusia (Homo). Homo inilah
yang kemudian dikenal dengan Homo Erectus atau makhluk manusia purba yang
berjalan tegak dan merupakan satu species kunci dalam sejarah kejadian manusia.
Penemuan rangka
bocah Turkana oleh Team yang dipimpin oleh Richard Leakey, di tepi barat Danau
Turkana, Kenya pada tahun 1984 memberikan suatu gagasan yang amat bagus
mengenai anatomi manusia purba (Homo erectus) yang hidup sekitar 1,8 juta tahun
yang lampau. Rangka Homo erectus yang ditemukan itu nyaris seluruhnya merupakan
rangka lengkap yang telah disusun ulang dan memperlihatkan betapa miripnya
species ini dengan manusia (Homo sapiens) dilihat dari susunan tubuhnya. Dari
penelitian lebih lanjut dapat diketahui bahwa Homo erectus bertubuh jangkung
(180 cm), atletis dan kekar-berotot, namun ukuran otaknya masih lebih kecil
dari otak manusia modern (Homo sapiens)—sekitar 900 cc dibandingkan dengan
rata-rata 1.350 cc otak Homo sapiens sekarang ini. Batok kepala Homo erectus panjang dan
rendah, dengan dahi sempit dan dinding tempurung kepala tebal, rahang agak
menjorok, dan tulang rongga mata bagian atas menonjol. Disamping itu ditemukan
pula perubahan bentuk basikranium pada Homo erectus yang diketahui paling tua
berupa tengkorak 3733 dari Kenya sebelah utara, yang berasal dari masa hampir
dua juta tahun yang lalu. Menurut analisa, individu Homo erectus kemungkinan
telah memiliki kemampuan menghasilkan vokal-vokal tertentu, seperti dalam
kata-kata: ‘boot’, ‘father’, dan ‘feet’. Jeffrey Laitman memperkirakan bahwa letak
laring pada Homo erectus akan sama dengan anak manusia modern umur enam tahun,
sehingga kecakapan
berbahasa Homo erectus juga sepadan dengan kemampuan berbahasa manusia modern
pada umur enam tahun.
Lebih lanjut,
Dean Falk menyatakan bahwa Homo erectus adalah species yang luar biasa sukses, karena species ini adalah manusia pertama
yang menyebar keluar Afrika dan menghuni kawasan yang luas di Asia dan Eropa.
Dari benua hitam ini Homo erectus berkelana hingga ke Asia melalui Georgia di
daerah Kaukasus. Di Asia, ia sempat bermukim di Cina yang
kemudian dikenal sebagai manusia Peking
(Peking Man), sebelum akhirnya tiba di Indonesia yang kemudian disebut juga
sebagai Java Man (fosil Homo sapiens
ditemukan di Jawa). Dan jika
umur baru fosil-fosil Java Man yang diumumkan awal 1994 itu benar adanya, maka
Homo erectus telah memperluas daerah penjelajahannya keluar Afrika hampir dua
juta tahun yang lalu. Dengan menyebarnya populasi-populasi pramodern (Homo
erectus) ke seluruh Eropa, Asia, dan Afrika, lebih besar kemungkinan akan
timbul varian perkawasan, sehingga kecenderungan penyempur- naan ke
arah Homo sapiens terjadi bersamaan di manapun populasi Homo erectus itu
berada. Namun yang
jelas, dari semua bukti-bukti yang ditemukan; manusia Peking, manusia
Cro-Magnon, manusia Broken Hill, manusia Steinheim, manusia Petralona, manusia
Arago, manusia Java, dan lain sebagainya adalah merupakan cabang keluarga /
rumpun dari Homo erectus.
Dalam pandangan
mengenai prasejarah manusia purba ini, leluhur kita (Homo erectus) menjadi jauh
kurang manusiawi, tidak hanya dalam cara bertahan hidup, tetapi juga dalam
unsur-unsur perilaku lain: sebagai contoh, bahasa, moralitas, dan kesadaran,
tidak ada pada mereka. Bahkan bukti-bukti keberagamaan tidak ada karena tidak
pernah diketemukan tempat pemujaan terhadap Tuhan. Meskipun demikian Homo erectus adalah
species manusia pertama yang menggunakan api, yang pertama menjadikan berburu
sebagai bagian penting untuk bertahan hidup, yang pertama bisa berlari seperti manusia
modern, yang pertama membuat perkakas dari batu, dan yang pertama berkelana ke luar wilayah Afrika.
Adalah
seorang Perancis yang bernama ‘Issac de la Peyrere’ mencoba mempelajari
sekumpulan batu aneh di pedalaman negaranya, batu itu terjadi bukan karena
proses alam, tetapi seperti ada yang membuatnya, lalu akhirnya dia merasa yakin
bahwa batu tersebut dibuat oleh tangan manusia sebelum Adam ada, dan kemudian
dia memberanikan diri menerbitkan buku tentang hal tersebut.
Jadi, sebenarnya siapa hominid pertama
penghuni bumi ini, sudah jelas; Yang tidak jelas atau tepatnya belum jelas
ialah Adam itu termasuk manusia tingkat mana. Apakah Homo Erectus, Homo
Neanderthalensis, Homo Cromagnon ataukah Homo Sapiens? Menurut Dr. H. Supanji
Kusumamihardja Msc, dkk yang menyusun buku Studia Islamica, buku teks pokok
untuk mata kuliah Agama Islam di IPB, Adam termasuk manusia tingkat Homo
Sapiens. Karena itu
genotipa manusia sekarang sama dengan genotipa Adam. Sedangkan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
Adam sebagai nabi, dan menurut hemat penulis jika Adam dikatakan sebagai nabi
maka pengertian nabi adalah pemimpin umat dan sekaligus membawa missi dari
Tuhan (risalah Tuhan). Jadi, jelas kiranya Adam adalah manusia dari genus Homo
sapiens, karena ia sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi (mengenal
Tuhan). Pertanyaan
berikutnya, sejak kapankah munculnya manusia mutakhir, Homo sapiens ? Bila Homo
erectus muncul pada permulaan zaman Pleistoseen, maka pada akhir pleistoseen
muncullah zaman Holoseen dimana kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, mulai
tampak manusia mutakhir dan mereka berbudaya. Kemudian sesuatu berubah. Dalam sekejap mata dalam hitungan waktu
geologis, dan demi alasan-alasan yang masih belum diketahui oleh para ahli
antropologi, manusia berkembang pesat. Manusia mulai berbicara satu sama lain. Mereka mulai
melukis dan membuat patung, menyanyi serta menari. Segera mereka bercocok tanam
serta membangun tempat-tempat pemukiman
permanen. Dan yang terpenting, menurut Dr.
Dean Hamer seorang ahli genetika perilaku dari Harvard University, ada bukti
yang menunjukkan bahwa mereka memiliki dan mengembangkan keyakinan spiritual
sejak awal species kita.
Perubahan yang cukup mengejutkan tersebut,
menuntut para ahli untuk lebih meneliti bagaimana Homo sapiens ini muncul
dengan seketika. Diantaranya terdapat Arkeolog Lewis Binford dari University of
New Mexico. Dia menyimpulkan bahwa species kita (Homo sapiens) muncul bukan
sebagai hasil proses yang lambat-laun dan progresif (berevolusi) melainkan
mendadak dalam masa yang relatif pendek. Disamping itu Naturalis
Inggris abad ke-19 Alfred Russel Wallace, yang juga menciptakan teori seleksi
alam (theory of natural selection), secara terpisah dari Darwin menolak
menerapkan teori itu pada aspek-aspek kemanusiaan yang paling kita junjung. Wallace
menganggap manusia (Homo sapiens) terlalu cerdas, terlalu beradab, terlalu
canggih sebagai produk seleksi alam semata. Ia merasa, tentulah campur tangan supranatural yang menjadikan manusia (Homo sapiens)
sedemikian istimewa. Bagi mereka yang ingin mempertahankan pendapat bahwa
manusia merupakan makhluk istimewa akan menyambut gembira bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa bahasa muncul belakangan dan tiba-tiba. Demikian pula,
Paleontolog Skotlandia, Robert Broom, yang karyanya sebagai peneliti perintis
di Afrika Selatan pada 1930-an dan 1940-an telah ikut meneguhkan Afrika sebagai
tempat lahir manusia, juga mengungkapkan pandangan yang sama kuatnya tentang
keistimewaan manusia. Seperti Wallace, Broom menganggap kekuatan supranatural
bekerja dalam asal-usul spesies manusia (baik Homo erectus maupun Homo
sapiens).
Sebagaimana
kajian dari sudut pandang Al-Qur’an, proses kejadian Adam melalui tahapan
penciptaan dan tahapan penyempurnaan dengan membentuk / membaguskan rupanya
yang kemudian meniupkan ruh ciptaan-Nya. Hal ini dapat kita simak dari surat
Al-A’laa ayat: 1-2 yang berbunyi ” Sabbihis ma rabbikal-a’la, allazi
khalaqa fa sawwa” yang artinya, Sucikanlah nama Tuhan-mu yang Maha Tinggi, yang
menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya)”. Perihal proses penyempurnaan,
tidak kurang seorang Kenneth Oakley adalah termasuk ilmuwan pertama yang dalam
bukunya ‘Man the Tool maker’ menyatakan bahwa timbulnya manusia
modern (Homo Sapiens) dipicu oleh ‘perfection’
/ penyempurnaan bahasa sampai ke tingkat yang kita alami sekarang; dengan kata
lain, bahasa modern menciptakan manusia modern. Bila dikatakan ada proses
penyempurnaan, itu berarti ada campur tangan Sang Penyempurna / Sang Pencipta
ujarnya lebih lanjut. Dan juga dikatakannya manusia muncul tidak
dengan proses lambat-laun, yang berarti juga tidak
melalui proses evolusi.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan tidaklah layak
dipertentangkan dengan agama (Wahyu), mengingat Wahyu-lah yang memotivasi
manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bahkan Allah menjanjikan akan
memberikan beberapa derajat lebih tinggi bagi mereka yang beriman dan berilmu.
Hanya saja dalam mengembangkan ilmu pengetahuan kita tetap menjadikan wahyu
sebagai tuntunan dan kontrol terhadap keinginan manusia yang cenderung
melampaui batas. Sebagai
contoh nyata, Charles Darwin yang awalnya adalah seorang yang berasal dari
keluarga Kristen yang saleh, namun akhirnya menjadi atheis (dalam pengertian
tidak ambil peduli pada masalah ketuhanan dan agama), karena hasil
penelitiannya secara diametral bertentangan dengan dogma Gereja tentang
kosmogoni, termasuk kejadian Adam
‘manusia pertama’ yang memiliki Roh. Pertanyaannya, mengapa terjadi
demikian? Tidak lain karena sekularisme dan materialisme telah mendominasi
nafas kehidupan manusia, baik dari kalangan Kristen sendiri maupun dari
kalangan Muslim. Untuk itulah beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
telah mengeluarkan fatwa haram terhadap isme-isme yang berkembang saat ini
termasuk didalamnya ‘Sakularisme’.
Dalam perkembangan
sains akhir-akhir ini, para ilmuwan justru berupaya memadukan dan menyelaraskan
antara agama dengan ilmu pengetahuan, diantaranya adalah: Charles Tawney, Profesor di Universitas Berkeley
California, pemenang Nobel Prize bidang Fisika tahun 1964 memperoleh
penghargaan pada April 2005 atas upayanya memasukkan aspek spiritual dalam
karya-karyanya. Menurutnya
agama dan ilmu pengetahuan (sains) sejalan dan mestinya keduanya akan menemukan
dasar yang sama. Agama mencoba memahami tujuan dan arti dari alam kita ini.
Ilmu pengetahuan mencoba memahami fungsi dan strukturnya. Jika ada pengertian,
struktur, pasti banyak kaitannya dengan arti, dan dalam jangka panjang keduanya
pasti akan sejalan. Perbedaannya sebenarnya kabur atau superficial bahkan jika
kita lihat sifat realnya sama. Temuan-temuan di bidang astronomi telah membuka
mata manusia kepada agama. Fakta bahwa
alam ini ada awalnya merupakan hal yang menakjubkan, mana mungkin kejadian itu
ada tanpa Tuhan? tegasnya.
Profesor Paul Davies,
Guru besar filsafat alam dari Australian Centre for Astrobiologi, Macquarie
University, Australia, dalam bukunya ‘The Mind of God’ ia sangat menyangsikan
teori Darwin. Lewat riset
kosmologinya, ia justru membuktikan keberadaan Tuhan. Dari ketekunan 35 tahun
membedah ruang angkasa, Davies menemukan sisi spiritual alam semesta. Lewat
sejumlah buku, salah satunya ‘New Physics and God’, ia memberi penjelasan
muthahir soal keterkaitan erat antara alam semesta dan Tuhan. Inilah yang
membuatnya diganjar Templeton Prize (1995), sebuah penghargaan yang sama
prestisiusnya dengan Nobel. Adapun
pandangan terhadap perkembangan konflik antara sains dan agama, menurutnya
perlu pengertian antara kedua kutub. Agama harus merangkul sains. Agama perlu
berupaya memahami dan mengakui temuan-temuan saintifik abad ke-20 dan ke-21,
sedangkan dalam konteks hubungan sains dan agama, lebih tepat jika agama
berkontribusi memberi interpretasi tentang alam semesta, satu hal yang tak
bisa dilakukan sains. Maksud
memberi interpretasi adalah memberi makna terhadap alam semesta dan keberadaan
manusia, menjaga kehidupan manusia tetap pada tujuan awal. Lebih lanjut
menurutnya, semua agama, saya pikir mencoba menjaga nilai-nilai kemanusiaan
dengan memposisikan manusia pada
tujuan penciptaannya. Sedangkan sains memberi kontribusi dengan menyodorkan
bukti-bukti bahwa benar, alam semesta
diciptakan dengan satu tujuan. Riset saya selama ini memberi keyakinan soal
ini, ujarnya.
Di akhir
kesimpulan, kiranya relevan untuk dikemukakan di kesempatan ini pendapat
Rektor PTIQ yang juga dirjen Bimas Islam Departemen Agama
(saat ini sebagai wamenag), Nasaruddin Umar dalam seminar nasional bertajuk ‘Membangun
Karakter Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Qur’ani’ di Kendari Sulawesi Tenggara
pada tanggal 30/7/2006, yang
antara lain menerangkan
bahwa pertentangan sains
dengan Al-Qur’an bisa terjadi disebabkan temuan
sains belum final, tapi bisa pula disebabkan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang
keliru. Jadi bukan
Al-Qur’an yang salah. Yang salah itu penafsiran kita terhadap Al-Qur’an,
tegas beliau. Wassalaam...!!
= @ =
e-mail: chairullah.Idris@gmail.com
Oleh: Chairullah Idris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar