Jumat, 21 Desember 2012

MEMPERTEGUH IMAN TERHADAP AL-QUR'AN


   


Allah menganugerahkan Al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) ” (QS.Al-Baqarah:269).
    
       Mengungkap makna, kandungan, dan hikmah Al-Qur’an, sungguh merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Menyampaikan “pesan Allah” yang merupakan Dzat Yang Tak Terbatas ke dalam pemahaman manusia yang terbatas ini, tidak saja memerlukan suatu kearifan, ilmu, ketulusan hati, dan kebersihan jiwa, tetapi lebih dari itu, menuntut adanya ‘kedekatan’ jiwa antara mahluk dengan Khaliq-Nya. Meski begitu, tidak berarti bahwa upaya tersebut harus terhenti. Terbukti, bahwa sejak dulu hingga sekarang, upaya penafsiran Al-Qur’an masih terus berlangsung. 
       Telah berabad-abad lamanya, AlQur’an ditafsir ditengah peradaban dan pergaulan umat manusia. Selama sejarahnya yang panjang itu ia telah berperan sebagai unsur utama pembentukan kepribadian ajaran Islam. Al-Qur’an berkedudukan sebagai Kitab Suci, yang merupakan sumber utama rujukan segala hal yang bersangkut-paut dengan kepercayaan, peribadatan, pedoman moral dan perilaku individual, sosial masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidaklah berlebihan kiranya bila kita simak kesaksian dari seorang ilmuwan dan sejarawan besar Amerika, George Sarton (1884-1956) mengenai Al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam karyanya ' The Incubation of Western Cultuer in the Middle East' antara lain menyebutkan : " Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan secara langsung kepada nabi agama ini (Muhammad). Ajaran Al-Qur’an meliputi seluruh aspek kehidupan, nilai-nilai religi, ilmu pengetahuan, aturan perundang-undangan, tata laksana kehidupan, bahasa, dan lain-lain. Intinya menurut beliau, tiada satupun masalah kehidupan yang tidak tersolusikan dalam Al-Qur’an ". Jadi, jika kita hendak mengetahui wajah, watak dan hakikat ajaran Islam yang asli, maka kita harus menatap kepada Kitab Suci ini, menyimaknya secara mendalam, menghikmatinya serta mengamalkannya dalam keseharian kita.
       Dalam eskatologi Islam terdapat prediksi, atau lebih tepatnya, janji Tuhan, bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda atau ayat-ayatNya yang ada pada seluruh horizon dan dalam diri manusia sendiri, sehingga akan jelas bagi manusia bahwa “Dia” adalah benar. Umat Islam harus yakin bahwa Al-Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allah swt, dan dengan sendirinya, ia menegaskan dimensi universal. Tanggung jawab mereka di hadapan Allah adalah menjadikan pesan amanah ini diketahui dan menjelaskan kandungannya sebanyak mungkin.
       Tiada iman sejati tanpa pemahaman; bagi seorang Muslim, pernyataan ini berarti keharusan memahami sumber ajaran (Al-Qur’an dan Sunnah sebagai penjelas) dan konteks tempat dia hidup. Sejarah umat manusia sebelumnya dan berbagai keteladanan, banyak diukir dalam Al-Qur’an. Tetapi dalam realita, manusia cenderung membuat jarak jauh dari Al-Qur’an; mengapa? Memang terdapat banyak kendala dan rintangan. Semua itu disebabkan karena tabir yang menghijabnya amat tebal dan belum ada upaya maksimal untuk menyingkapkannya, meskipun Allah telah memberikan jalan  untuk itu dengan firman Nya : “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS.Al-Qamar:17,22,32,40). ”Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran” (QS.Az-Zumar:9). Jadi bagi orang-orang yang tidak menerima Al-Qur’an sebagai pelajaran, merekalah orang-orang yang enggan menggunakan akal. Dan bagi orang-orang tersebut, Allah telah menjanjikan akan menimpakan kemurkaannya” (QS.Yunus:100).
       Kiranya ayat-ayat tersebut diataslah yang memberikan landasan kuat bagi khalifah Umar bin Khattab r.a dalam memotivasi kaumnya agar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan sikap hidupnya sebagaimana tercermin dalam sebagian dari isi khotbah beliau sesaat setelah menerima penyerahan kota suci Jerusalem dari Patriarch Jerusalem Uskup Agung Sophronius, antara lain sbb: “Wahai Kaum Muslimin, aku menasehatkan kepada engkau sekalian untuk membaca Al-Qur’an. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya. Reguklah isi ajaran Al-Qur’an itu. Kemudian amalkan apa yang diajarkan Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekedar ajaran teoritis, ia harus menjadi sikap hidup yang wajib diamalkan. Al-Qur’an tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi belaka; ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini”.       
       Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang merupakan pegangan utama untuk seluruh insan.  Didalamnya tersurat dan tersirat berbagai pedoman, inspirasi, isyarat, dan basis utama ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu Al-Qur’an memberikan penghargaan kepada orang-orang yang menggunakan akal untuk merenungi ayat-ayat Allah. Al-Qur’an senantiasa memadukan antara potensi qalbu dan akal. Qalbu (instrumen persepsi ma’rifat) berfungi memahami, menghayati dan merasakan keagungan dan kekuasan Allah;  sedangkan akal berfungsi memikirkan, merenungi, dan menganalisis ayat-ayat Allah yang ada di alam ini. Maka ayat-ayat Allah pada dasarnya tidak terbatas pada teks Al-Qur’an semata, tetapi juga terdapat di jagat raya.
       Betapa banyak ayat Al-Qur’an yang memotivasi umat Islam untuk selalu menggunakan akal pikiran dan penalaran. Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidiki dirinya sendiri dan mendorong umat manusia untuk memperhatikan alam hewani dan nabati; dari yang paling kecil seperti nyamuk sampai kepada yang paling besar semisal gajah. Begitu pula Al-Qur’an memotivasi manusia untuk melakukan tadabbur (perenungan atau penyelidikan) terhadap segala kejadian yang menyangkut perjalanan masa, perputaran matahari, peredaran berbagai planet, bulan dan seluruh kosmos kita ini dengan segala isinya.
       Al-Qur’an sedemikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, Al-Qur’an menyifati masa Arab pra-Islam dengan jahiliah (kebodohan).  Di dalam Al-Qur’an terdapat cukup banyak ayat yang menyebut tentang ilmu pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu, bahkan bagi orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, Islam memposisikannya pada tingkatan ketiga setelah Allah dan malaikat-Nya dalam rangka meminta petunjuk kepada Allah dan mengakui kebera- daan dan keesaan-Nya (lihat QS.Ali-Imran :18).
       Tak dapat disangkal, bahwa kelahiran Islam adalah untuk merombak peraturan-peraturan jahiliah, membenarkan keyakinan beragama umat yang lain, mengatur urusan-urusan kehidupan, menggunakan akal dalam hal yang baik dan meninggalkan yang buruk. Kemudian membangun kebesaran umat, memposisikannya dalam keagungan dan kemuliaan. Hal ini bukan sekedar klaim dari kita umat Islam, namun lebih dari itu seorang orientalis berdarah Italia, David de Santillana (1845-1931) dalam karyanya 'Al Qanun wal Mujtama' antara lain menyebutkan : "Ajaran Islam datang meluruskan kitab-kitab suci Tuhan masa lalu yang telah tereduksi dari jalur kebenaran-Nya. Ayat-ayat Al-Qur'an, juga mengoreksi dan meluruskan paham salah yang ditebar para pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mereduksi kitab suci yang diajarkan Musa dan Isa. Dengan demikian lanjutnya, ajaran agama ini meluruskan tabiat manusia kepada jalur yang benar selaras dengan kemuliaan manusia serta memberi solusi segala masalah yang dihadapi umat manusia".
        Menjadi jelas, perbedaan penghormatan ilmu dan pikiran diantara orang-orang muslim dan orang-orang Eropa (Barat) pada abad pertengahan. Orang-orang muslim telah menjadi  guru-guru di seluruh penjuru dunia dengan keutamaan Al-Qur’an, sedang selain mereka tenggelam dalam kebodohan. 

Tingkat pemahaman Al-Qur’an
      Al-Qur’an itu termasuk kitab / buku yang ‘tak pernah tamat’ dibaca. Itu artinya kitab yang harus terus-menerus dibaca ulang, dipilih-pilih lagi, diingat-ingat lagi. Mengapa demikian, karena ternyata tingkat pemahaman yang terkadung di dalamnya bisa berlapis-lapis. Meskipun Al-Qur’an al Karim diturunkan dalam bahasa arab, dan oleh karenanya pada umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya dengan mudah, namun diantara para sahabat Rasul sendiri, mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an. Hal ini tentunya di sebabkan antara lain karena perbedaan tingkat pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri, disamping ada sahabat yang kerab mendampingi nabi Muhammad Saw, sehingga lebih banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu diturunkan.
       Ayat-ayat Al-Qur’an pada garis besarnya dapat dibedakan antara ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat. Meskipun sebagian ulama cenderung pasrah dalam menyikapi ayat-ayat Mutasyabihat, para saintis hendaknya menyikapinya sebagai tantangan dan sekaligus bahan kajian untuk mengembangkan penalaran ilmiah. Karena, Al-Qur’an ini diturunkan agar dibaca, dipahami dan diamalkan pesan-pesannya, maka untuk menafsirkan ayat-ayat dan menangkap isyaratnya adalah tugas manusia ;  karena Al-Qur’an ini diperuntukkan sebagai petunjuk bagi manusia.
      Oleh sebab itu, bila kita ingin mengkaji dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik sedangkan kita tidak menguasai bahasa aslinya (bahasa Arab), maka sebaiknya kita dapat memper- gunakan beberapa sumber rujukan, seperti: terjemahan, jika mungkin dalam beberapa bahasa, dan perlu pula didukung oleh sains.

Keraguan terhadap Al-Qur’an
       Sejak awal turunnya Al-Qur’an sampai sekarang banyak orang yang meragukan Al-Qur’an atau tidak mau mempercayai dengan berbagai macam dalih, meskipun sudah ditunjukan bukti-bukti kebenarannya. Mereka menuduh bahwa Al-Qur’an merupakan hasil dari sihir Muhammad;  Al-Qur’an hanya jiplakan dari alkitab milik kaum yahudi dan kaum kristen dan lain sebagainya.
      Meskipun pihak kompetensi nampaknya berhasil membuktikan kekeliruan sejumlah argumentasi aktivis liberalisasi Islam, penulis juga merasa masih risau dengan keseriusan kaum Muslimin menghadapi serbuan pemikiran orientalis di bidang Al-Qur’an ini. Mereka bekerja luar biasa untuk meruntuhkan Al-Qur’an. Selama puluhan tahun mereka mengumpulkan berbagai manuskrip dan berkeliling ke berbagai negara Arab untuk itu. Lebih berat lagi, faktanya, ‘murid-murid orientalis’ dari kalangan Muslim kini juga aktif ikut menyerang Al-Qur’an.
      Al-Qur’an adalah kitab suci yang andai pepohonan di dunia di jadikan pena serta seluruh samudera menjadi tintanya, tak kan habis mengurai makna-makna Al-Qur’an. Mengapa? Karena Al-Quran adalah Kalamullah Dzat Pencipta langit dan bumi dan seisinya. Dzat yang tentunya Maha Mengetahui tentang apa yang terbaik untuk makhluk-Nya.
        Namun demikian, tabiat buruk manusia yang selalu ‘melampaui batas’ dan ‘berpaling’ telah memposisikan Al-Qur’an sebagai objek cemoohan, pelecehan dan pengingkaran. Tentu, bukan hanya orang kafir saja yang melakukannya, diantara mereka adalah orang Islam itu sendiri. Betul... tanpa disadari, umat Islam telah mengotori Al-Qur’an baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu ketika Al-Qur’an dipinggirkan dari kancah kehidupan.
       Realitas inilah yang terjadi. Al-Qur’an hanya dibaca beramai-ramai ketika ada upacara kematian orang yang mungkin selama hidupnya tidak pernah mambaca bahkan menyentuh Al-Qur’an. Hari turunnya Al-Qur’an memang dimeriahkan bahkan menjadi hari nasional di berbagai negeri muslim. Bahkan hampir setiap tahun, seni membaca Al-Qur’an dilombakan dari tingkat kecamatan hingga internasional. Tapi, untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai tuntunan, semua serempak menjawab “nanti dulu... “. Untuk mereka-mereka inilah kiranya Allah telah mempertanyakan melalui firmanNya : “..; Maka kepada berita  manakah lagi  mereka  akan  beriman selain kepada Al-Qur’an itu ?” (QS. Al-A’raf: 185).

Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ?
      Sejarah atheis dalam Islam memang tidak banyak dikenal, bahkan hampir dinyatakan tidak pernah ada. Alasanya adalah tidak mungkin ada atheis dalam Islam. Mungin secara ringkas dapat dikatakan disini bahwa kata ateis dalam hal ini dapat diungkapkan sebagai Islam tanpa Al-Qur’an. Mungkinkah Islam tanpa Al-Qur’an ? Karena Al-Qur’an disini dianggap tidak ada sebagai konsekuensi dari tidak diakuinya keberadaan kenabiaan. Dalam kerangka yang lebih besar mungkinkah beragama tanpa kitab suci ?
       Atas pertanyaan ini, para orientalis memberikan perhatian yang besar terhadap spirit atheis dalam Islam yang memiliki sejarah mengasyikkan. Mereka memberikan perhatian lebih terhadap sejarah ini, sebab kebanyakan teori aliran Mu’tazilah tidak dapat dipahami tanpa mengetahui berbagai perseteruan yang sengit antara tokoh-tokoh Mu’tazilah dan kelompok ateis, sebagai kelompok yang mengobarkan perseturuan. Adanya perseturuan inilah yang mendesak kelompok Mu’tazilah untuk mengambil sikap tersendiri dalam menghadapi kelompok tersebut. Bahkan, seandainya kita berkesempatan untuk mengkaji pembentukan berbagai teori yang dimiliki oleh aliran Mu’tazilah secara teliti dan cermat mengamati perkembangannya dan menggambarkan kecenderungan yang diikutinya, pastilah kita dapat menemukan bahwa ateis memiliki pengaruh besar dalam pemben- tukannya.
        Oleh sebab itu, bila hingga saat ini masih ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya seorang muslim, namun baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan menyatakan bahwa sebenarnya hukum Allah itu tidak ada, bahkan sama sekali tidak mempercayai adanya hukum Allah, maka itulah bagian dari perjalanan sejarah kelam yang selama ini banyak ditutup-tutupi;  yaitu sejarah Ateis dalam Islam.

Generasi Al-Qur’an
        Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya di awal periode Islam disebut sebagai ‘Generasi Qur’ani’.  Mereka merupakan generasi terbaik Islam yang pernah hadir di tengah umat manusia. Generasi inilah, menurut Sayyid Quthub, yang ditunjuk oleh firman Allah : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali-Imran:110). Generasi terbaik Islam seperti diatas, menurut Quthub, belum pernah lahir kembali, sampai masa kita sekarang.  Padahal, lanjutnya, Al-Qur’an masih di tangan kita, tetap utuh seperti dahulu.
       Sementara itu kaum Yahudi Kembali berusaha menyusupkan kekuatan spiritual dan motivasi-motivasi keagamaannya. Dengan kekuatan itu mereka kembali membangunkan umatnya dari ketertidurannya, kembali mengumpulkan kelompok-kelompoknya yang terpecah-belah, dan kembali menghidupkan bahasanya dari kematiaan. Hingga suatu saat mereka kembali menghadapi kita dengan Taurat ditangan, sementara kita tidak lagi memiliki Al-Qur’an ! . “Mereka” kembali bersatu dalam agama Yahudi sementara kita telah terpisah jauh dari Islam! Mereka kembali pada ajaran-ajaran Talmud, sementara kita hanya merasa bangga dengan Bukhari dan Muslim! (DR. Yusuf Qardhawi; Titik Lemah Umat Islam; 2001).
        Kembali pada konteks ayat tersebut diatas (QS. Al-Baqarah : 269), dimana Allah telah menjanjikan kepada kita semua bahwa : “Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki;...”. Pertanyaannya, siapakah dan bagaimanakah orang-orang yang Dia kehendaki tersebut?
        Bila kita kembali mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 152 yang berbunyi “Faz-kuruuniii  ‘az-kurkum washkuruu lii wa laa takfuruun” (Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku Ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari Nikmat-Ku). Maka, mudah-mudahan kita semua sepakat bahwa orang-orang yang ’Dia’ kehendaki, tentunya adalah orang-orang yang menghendaki anugerah Allah tersebut! Untuk itu kiranya kita wajib memanjatkan do’a dengan khusyuk kehadirat-Nya : “Allah-humma a-‘innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika”.  Insya Allah !!!


                                                                                ==@==
                                                                           [15/12/2012]

Oleh : Chairullah Idris  ~  e-mail : chairullah.idris@gmail.com     
                                                                                                   

1 komentar:

  1. Mens Wedding Band Titanium T Shirt - Etching
    T-shirt featuring titanium tv alternative your favourite band - T Shirt. The T-Shirt titanium plate flat iron features an elegant design in the titanium dab tool middle, with an columbia titanium elegant design in the middle. Rating: 4 aftershokz trekz titanium · ‎5 reviews

    BalasHapus