Selasa, 11 Desember 2012

MAKNA IBADAH MENURUT AL-QUR'AN


                       MAKNA IBADAH  MENURUT AL-QURAN
                       
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka beribadahlah kepada Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia    
( yang patut disembah ) ?”   (QS. Maryam :65)
      
       Dalam salah satu kolom harian Ibukota, terdapat headline yang berjudul  “Bisnis dan Ibadah bisa dipadukan’’. Hal ini dapat dianalogikan  bahwa  kegiatan duniawi dan ibadah adalah dua hal yang terpisah, sehingga terpikir oleh penulisnya kedua hal tersebut masih dapat dipadukan atau disatukan.
     Tentunya, penulis artikel tersebut tidaklah sendirian yang beranggapan demikian, banyak kalangan muslim lainnya yang berpendapat seperti itu. Terlebih-lebih lagi mereka yang  telah terkontaminasi oleh paham sekular liberal yang sejak masa penjajahan pun sudah ditanamkan oleh Snouck Horgronye, yang pada saat itu berperan sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah keislaman dan penasihat Menteri  jajahan.
       Salah satu kebijaksanaan yang disarankannya adalah, pemerintah agar tidak terlalu optimis terhadap usaha pemurtadan umat Islam. Usaha permurtadan itu tidak mungkin berhasil karena kenyataan menunjukan bahwa semakin hari pengaruh kebudayaan santri semakin berkembang luas. Karena itu, usaha kristenisasi yang dilakukan tidak terlalu besar manfaatnya. Untuk itu dia lebih memilih memberikan kebebasan dalam bidang agama dalam arti sempit, dimana pemerintahan Hindia Belanda diminta untuk melestarikan tradisi nenek moyang orang Indonesia dan menempatkan hukum Islam kedalam hukum adat, serta mengusahakan agar Islam hanya menjadi “Agama Masjid’’. Artinya agama hanya dijadikan sekedar ibadah ritual semata.
       Hingga memasuki masa kemerdekaan pun upaya tersebut tetap berlanjut bahkan semakin meluas dan semakin mengakar dan terlebih lagi, pengaruh Kemal Attaturk saat itu sangat dominan mewarnai pola pikir pemimpin negeri kita dalam menyiasati nilai-nilai agamis yang dianggap menghambat usaha menuju negara modern yang baru saja terlepas dari tangan penjajah.
      Dengan penggalan ayat 112, Surat Ali-Imran ‘hablim minallaahi wa hablim minan-naasi’, para sekularis militan dan modernis berusaha keras menyakinkan umat, bahwa pemisahan antara hubungan dengan Allah dan hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan) adalah merupakan petunjuk dan perintah Allah yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Lebih lanjut mereka menekankan bahwa hubungan dengan Allah hanya terjadi manakala kita berada di Masjid, sedangkan di luar Masjid terjadilah hubungan antara sesama manusia dengan media hukum / peraturan ciptaan manusia, tanpa sedikitpun campur tangan Allah. Sedangkan ayat tersebut sesuai dengan Asbabun nuzul adalah ayat yang ditujukan kepada kelompok Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Allah. Dan Allah akan menimpakan kehinaan, kerendahan dan kemurkaan apabila  mereka tidak memperdulikan Perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan Perlidungan yang diberikan oleh Pemerintah Islam atas mereka.
       Ayat tersebutlah yang sengaja disalah-fahami dan dimanfaatkan kalangan sekular untuk memisahkan antara kehidupan keagamaan dengan kehidupan keduniawian bagi umat Islam. Sedangkan Islam yang kaffah, menganggap setiap gerak manusia di muka bumi ini dan apa saja hal baik yang dilakukan, adalah komitmennya terhadap perintah Allah yang terkandung di dalam petunjuk Nya,  yakni Al-Qur’an.
      Demikianlah sekelumit sejarah perkembangan kehidupan beragama di bumi Nusantara ini, sehingga terciptalah keberagaman cara umatnya dalam menyikapi ajaran agamanya. Sampai-sampai para tokoh agama sendiri dan para cendekiawan muslimnya bisa jadi berang dan murka begitu mendengar adanya upaya penegakan Syariat Islam. Bahkan sampai tindakan memvonis bahwa upaya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Dengan perkataan lain bahwa orang-orang yang berusaha untuk beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, digolongkan sebagai orang-orang yang tidak berdaya dan tidak rasional. Nauzubillah hi min zalik! Ya Allah, ampunilah dosa besar hamba-hambaMu itu...!
       Sosiolog Muslim Akbar S. Ahmed menegaskan dalam kajiannya tentang Citra Muslim (1992) : “Munculnya citra Islam yang buruk di mata dunia sebagaian karena gagalnya kaum Muslim untuk menjelaskan tentang diri mereka”. Apapun, stigmatisasi negatif terhadap umat Islam itu telah dan sedang berlangsung, dan itu sangat merugikan umat islam. Karena itu, harus ada upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam , khususnya pemahaman tentang pengertian Ibadah menurut Al-Qur’an.

Mengapa harus menurut Al-Qur’an ?
   Dengan meminjam pendapat dari Prof. Dr. A Syafi’i Maarif dalam satu acara seminar Internasional di Jakarta beberapa waktu lalu bahwa, terkait dengan respons terhadap dunia global, Islam menjelma menjadi dua wajah yaitu Islam quranik dan historis. Islam quranik, merupakan representasi pandangan dunia Islam berdasarkan interpretasi Al-Qur’an yang otentik. Sedangkan Islam histori, merupakan pergumulan dan interaksi Islam dengan sejarah yang tak jarang berdarah dan tak sesuai dengan misi yang dibawa Nabi Muhammad. ”Keberadaan suniisme, syiisme maupun khawarijisme merupakan bagian dari Islam histori’’. Pendek kata jelas beliau, semua teori politik kultural buatan manusia terbatas oleh waktu dan harus diletakkan di bawah cahaya Al-Qur’an jika seseorang ingin menyimpulkan tentang Islam sebagai bagian dari kekuatan spritual dalam sejarah manusia.
    Sebagai contoh lain, lanjut beliau: Keterbukaan dunia, membuat Eropa menjadi bangsa penakluk. Dan dunia Muslim yang jauh dari kerangka sain dan teknologi modern dengan mudah menjadi korban dari imperialisme dan kolonialsme, karena telah lama mengabaikan Al-Qur’an.

Makna Ibadah
       Dengan memahami ajaran Islam secara benar, kita bisa menyadari dengan sepenuhnya tujuan dan tugas hidup di permukaan bumi ini. Tujuan hidup manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana FirmanNya: “Wa maa khalaqtul-jinna wal-‘insa ‘illaa liya’-budunn”.-“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyebah / beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat :56)
      Ibadah dalam ayat ini harus dipahami secara luas, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan segala sesuatu yang diridhai dan disukai oleh Allah Swt, baik amalan batin maupun lahir. Baik perkataan maupun perbuatan.
       Pada hakikatnya Manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepadaNya. Maka dari itu, aspek ibadah yang menjadi alasan diciptakannya manusia, harus dipahami dalam koridor yang benar.
       Pada prinsipnya, ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun anjuran dan perintahNya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-laranganNya, jika manusia mematuhi nya, maka semuanya mempunyai nilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia  yang  sesuai  dengan  ketentuan  Allah SWT  bernilai ibadah.
        Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab-akibat). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah, karena Allah-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
        Secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, masing-masing ibadah khassah atau ibadah mahdah, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaanya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada Allah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ‘ammah’ (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah semata, seperti minum, makan, bekerja (QS. At-Taubah : 105),  mencari nafkah (QS. An-naba: 11), dan berbisnis  (QS Al-Furqan:47), sampai dengan kegiatan me-manage pun merupakan kegiatan dari ibadah kepada Allah Swt (QS. Az-zukhruf: 32).
       Jadi, jelaslah disini bahwa semua kegiatan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini adalah bentuk dari pengabdian kepada Allah semata yang diaplika- sikan  melalui  ’amal ibadah’  yang  kelak  akan dipertanggung-jawabkan di hari akhir.
       Islam adalah agama yang dirahmati Allah. Islam dikenal sebagai agama yang syaamil dan kaamil (lengkap dan sempurna). Agama samawi ini tidak hanya memperdulikan kepentingan individu, tapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat. Islam tidak hanya memfokuskan diri pada kesalehan individu, tetapi juga pada kesalehan sosial. Bila kita perhatikan ibadah-ibadah yang kita lakukan sehari-hari, maka kita akan memahami bahwa seluruh ibadah itu mengandung unsur ibadah / kesalehan sosial dan ibadah / kesalehan individu. Kita tidak diperkenankan hanya melakukan ritual individu, dan mengabaikan ritual sosial. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini tidak dapat dipisah-pisah. Kedua ibadah itu merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang kesemuanya adalah wujud dari pengabdian kepada Allah Swt dan telah diatur dalam Al-Qur’an al karim.
      Memang, bila kita berniat mengaplikasikan ajaran Islam haruslah berangkat dari pemahaman yang benar terhadap Islam itu sendiri.  Islam tidaklah dipahami sebagai agama dengan sejumlah upacara ritual atau hanya sebagai sumber nilai luhur semata. Islam harus dipahami sebagai agama yang menjadi ‘manhajul hayah’ yang mengatur segala kehidupan manusia (ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, dan pendidikan). Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur oleh Islam. Agama Islam adalah sumber segala nilai yang abadi, universal dan komprehensif yang tidak bisa ditandingi oleh nilai manapun di atas dunia ini.
        Namun, kita sebagai pemeluk Islam dituntut untuk dapat menerjemahkan nilai-nilai Islam itu dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan, sehingga keistimewaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam betul-betul dapat dirasakan oleh umat manusia seluruhnya.
    Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim, dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim patut diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syariat tentang kewajiban pengabdian kepada Allah Swt sebagaimana kita berikrar lima kali dalam sehari-semalam: “Sesunguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS.Al-an’am: 162).  Amien..!!!

                                                                          ==@==

Oleh :  Chairullah Idris  [08/12/2012]
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar