MAKNA IBADAH MENURUT AL-QURAN
“Rabb
(yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka beribadahlah kepada Nya. Apakah
kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia
(
yang patut disembah ) ?” (QS. Maryam :65)
Dalam salah satu kolom harian
Ibukota, terdapat headline yang berjudul
“Bisnis dan Ibadah bisa dipadukan’’. Hal ini dapat dianalogikan bahwa kegiatan
duniawi dan ibadah adalah dua hal yang terpisah, sehingga terpikir oleh
penulisnya kedua hal tersebut masih dapat dipadukan atau disatukan.
Tentunya, penulis artikel tersebut tidaklah sendirian yang beranggapan
demikian, banyak kalangan muslim lainnya yang berpendapat seperti itu.
Terlebih-lebih lagi mereka yang telah
terkontaminasi oleh paham sekular liberal yang sejak masa penjajahan pun sudah
ditanamkan oleh Snouck Horgronye, yang pada saat itu berperan sebagai penasihat
pemerintah Hindia Belanda dalam masalah keislaman dan penasihat Menteri jajahan.
Salah satu kebijaksanaan yang disarankannya
adalah, pemerintah agar tidak terlalu optimis terhadap usaha pemurtadan umat
Islam. Usaha permurtadan itu tidak mungkin berhasil karena kenyataan menunjukan
bahwa semakin hari pengaruh kebudayaan santri semakin berkembang luas. Karena
itu, usaha kristenisasi yang dilakukan tidak terlalu besar manfaatnya. Untuk
itu dia lebih memilih memberikan kebebasan dalam bidang agama dalam arti
sempit, dimana pemerintahan Hindia Belanda diminta untuk melestarikan tradisi
nenek moyang orang Indonesia dan menempatkan hukum Islam kedalam hukum adat,
serta mengusahakan agar Islam hanya menjadi “Agama Masjid’’. Artinya agama
hanya dijadikan sekedar ibadah ritual semata.
Hingga memasuki masa kemerdekaan
pun upaya tersebut tetap berlanjut bahkan semakin meluas dan semakin mengakar
dan terlebih lagi, pengaruh Kemal Attaturk saat itu sangat dominan mewarnai
pola pikir pemimpin negeri kita dalam menyiasati nilai-nilai agamis yang
dianggap menghambat usaha menuju negara modern yang baru saja terlepas dari
tangan penjajah.
Dengan penggalan ayat 112, Surat Ali-Imran ‘hablim minallaahi wa hablim
minan-naasi’, para sekularis militan dan modernis berusaha keras menyakinkan
umat, bahwa pemisahan antara hubungan dengan Allah dan hubungan antara sesama
manusia (kemasyarakatan) adalah merupakan petunjuk dan perintah Allah yang
terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Lebih lanjut mereka menekankan bahwa
hubungan dengan Allah hanya terjadi manakala kita berada di Masjid, sedangkan
di luar Masjid terjadilah hubungan antara sesama manusia dengan media hukum / peraturan
ciptaan manusia, tanpa sedikitpun campur tangan Allah. Sedangkan ayat tersebut
sesuai dengan Asbabun nuzul adalah ayat yang ditujukan kepada kelompok Ahli
Kitab yang tidak beriman kepada Allah. Dan Allah akan menimpakan kehinaan,
kerendahan dan kemurkaan apabila mereka
tidak memperdulikan Perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan
Perlidungan yang diberikan oleh Pemerintah Islam atas mereka.
Ayat tersebutlah yang sengaja disalah-fahami
dan dimanfaatkan kalangan sekular untuk memisahkan antara kehidupan keagamaan
dengan kehidupan keduniawian bagi umat Islam. Sedangkan Islam yang kaffah,
menganggap setiap gerak manusia di muka bumi ini dan apa saja hal baik yang
dilakukan, adalah komitmennya terhadap perintah Allah yang terkandung di dalam
petunjuk Nya, yakni Al-Qur’an.
Demikianlah sekelumit sejarah perkembangan
kehidupan beragama di bumi Nusantara ini, sehingga terciptalah keberagaman cara
umatnya dalam menyikapi ajaran agamanya. Sampai-sampai para tokoh agama sendiri dan
para cendekiawan muslimnya bisa jadi berang dan murka begitu mendengar adanya
upaya penegakan Syariat Islam. Bahkan sampai tindakan memvonis bahwa upaya
syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi
masalah yang menghimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional.
Dengan perkataan lain bahwa orang-orang yang berusaha untuk beriman dan
bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, digolongkan sebagai orang-orang
yang tidak berdaya dan tidak rasional. Nauzubillah hi min zalik! Ya Allah,
ampunilah dosa besar hamba-hambaMu itu...!
Sosiolog Muslim Akbar S. Ahmed menegaskan dalam kajiannya tentang Citra
Muslim (1992) : “Munculnya citra Islam yang buruk di mata dunia sebagaian
karena gagalnya kaum Muslim untuk menjelaskan tentang diri mereka”. Apapun,
stigmatisasi negatif terhadap umat Islam itu telah dan sedang berlangsung, dan
itu sangat merugikan umat islam. Karena itu, harus ada upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam , khususnya pemahaman tentang
pengertian Ibadah menurut Al-Qur’an.
Mengapa harus menurut Al-Qur’an ?
Dengan meminjam pendapat dari
Prof. Dr. A Syafi’i Maarif dalam satu acara seminar Internasional di Jakarta
beberapa waktu lalu bahwa, terkait dengan respons terhadap dunia global, Islam
menjelma menjadi dua wajah yaitu Islam quranik dan historis. Islam quranik, merupakan
representasi pandangan dunia Islam berdasarkan interpretasi Al-Qur’an yang
otentik. Sedangkan Islam histori, merupakan pergumulan dan interaksi Islam
dengan sejarah yang tak jarang berdarah dan tak sesuai dengan misi yang dibawa
Nabi Muhammad. ”Keberadaan suniisme, syiisme maupun khawarijisme merupakan
bagian dari Islam histori’’. Pendek kata jelas beliau, semua teori politik
kultural buatan manusia terbatas oleh waktu dan harus diletakkan di bawah cahaya
Al-Qur’an jika seseorang ingin menyimpulkan tentang Islam sebagai bagian dari
kekuatan spritual dalam sejarah manusia.
Sebagai
contoh lain, lanjut beliau: Keterbukaan dunia, membuat Eropa menjadi bangsa
penakluk. Dan dunia Muslim yang jauh dari kerangka sain dan teknologi modern
dengan mudah menjadi korban dari imperialisme dan kolonialsme, karena telah
lama mengabaikan Al-Qur’an.
Makna Ibadah
Dengan memahami ajaran Islam secara benar,
kita bisa menyadari dengan sepenuhnya tujuan dan tugas hidup di permukaan bumi
ini. Tujuan hidup manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah,
sebagaimana FirmanNya: “Wa maa khalaqtul-jinna wal-‘insa ‘illaa
liya’-budunn”.-“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya
mereka menyebah / beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat :56)
Ibadah dalam ayat ini harus dipahami secara
luas, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan segala sesuatu yang
diridhai dan disukai oleh Allah Swt, baik amalan batin maupun lahir. Baik
perkataan maupun perbuatan.
Pada
hakikatnya Manusia itu diperintahkan supaya mengabdi kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah
kepadaNya. Maka dari itu, aspek ibadah yang menjadi alasan diciptakannya
manusia, harus dipahami dalam koridor yang benar.
Pada prinsipnya, ibadah merupakan sari ajaran
Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan
demikian, hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk
ibadah. Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab
tidak satu pun anjuran dan perintahNya yang tidak bernilai ibadah. Demikian
juga dengan larangan-laranganNya, jika manusia mematuhi nya, maka semuanya
mempunyai nilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai
dengan ketentuan Allah SWT bernilai ibadah.
Tujuan
ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang
campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas
(sebab-akibat). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan
dengan mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi ibadah
merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk
mendapatkan keridhaan Allah, karena Allah-lah yang telah menciptakan dan
memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
Secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, masing-masing
ibadah khassah atau ibadah mahdah, yakni ibadah yang ketentuan dan
pelaksanaanya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari ibadah kepada
Allah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ‘ammah’ (umum),
yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat
yang ikhlas karena Allah semata, seperti minum, makan, bekerja (QS. At-Taubah :
105), mencari nafkah (QS. An-naba: 11),
dan berbisnis (QS Al-Furqan:47), sampai dengan
kegiatan me-manage pun merupakan kegiatan dari ibadah kepada Allah Swt (QS.
Az-zukhruf: 32).
Jadi, jelaslah disini bahwa semua kegiatan manusia dalam menjalani hidup
dan kehidupan di dunia ini adalah bentuk dari pengabdian kepada Allah semata
yang diaplika- sikan melalui ’amal ibadah’
yang kelak akan dipertanggung-jawabkan di hari akhir.
Islam adalah agama yang dirahmati
Allah. Islam dikenal sebagai agama yang syaamil dan kaamil (lengkap dan
sempurna). Agama samawi ini tidak hanya memperdulikan kepentingan individu,
tapi juga memperhatikan kebutuhan masyarakat. Islam tidak hanya memfokuskan
diri pada kesalehan individu, tetapi juga pada kesalehan sosial. Bila kita
perhatikan ibadah-ibadah yang kita lakukan sehari-hari, maka kita akan memahami
bahwa seluruh ibadah itu mengandung unsur ibadah / kesalehan sosial dan ibadah
/ kesalehan individu. Kita tidak diperkenankan hanya melakukan ritual individu,
dan mengabaikan ritual sosial. Oleh sebab itu, kedua ibadah ini tidak dapat dipisah-pisah.
Kedua ibadah itu merupakan satu kesatuan yang terpadu, yang kesemuanya adalah
wujud dari pengabdian kepada Allah Swt dan telah diatur dalam Al-Qur’an al
karim.
Memang, bila kita berniat mengaplikasikan ajaran Islam haruslah
berangkat dari pemahaman yang benar terhadap Islam itu sendiri. Islam tidaklah dipahami sebagai agama dengan
sejumlah upacara ritual atau hanya sebagai sumber nilai luhur semata. Islam
harus dipahami sebagai agama yang menjadi ‘manhajul hayah’ yang mengatur segala
kehidupan manusia (ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, dan pendidikan).
Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur oleh Islam. Agama Islam
adalah sumber segala nilai yang abadi, universal dan komprehensif yang tidak
bisa ditandingi oleh nilai manapun di atas dunia ini.
Namun, kita sebagai pemeluk Islam
dituntut untuk dapat menerjemahkan nilai-nilai Islam itu dan mengaktualisasikannya
dalam kehidupan, sehingga keistimewaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam
betul-betul dapat dirasakan oleh umat manusia seluruhnya.
Manusia yang telah menyatakan
dirinya sebagai muslim, dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai
pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan
beribadah, berarti pengakuannya sebagai seorang muslim patut diragukan dan
dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti
ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syariat tentang kewajiban pengabdian
kepada Allah Swt sebagaimana kita berikrar lima kali dalam sehari-semalam: “Sesunguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”
(QS.Al-an’am: 162). Amien..!!!
==@==
Oleh : Chairullah Idris [08/12/2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar